Daesung BIGBANG
Daesung BIGBANG

Kalau kamu hanya mengenal Daesung sebagai “smiling angel”-nya BIGBANG, mungkin dalam pikiran kamu hidupnya lurus, ringan, dan selalu penuh tawa. Padahal, di balik senyumnya itu, ada cerita panjang tentang anak pendeta yang “membelokkan cita-citanya,” perdebatan dengan sang ayah, mimpinya yang dianggap konyol, juga cerita tentang suaranya yang sempat hampir hilang tepat ketika kariernya baru saja dimulai.

Dalam rangka menyambut comeback single terbaru Daesung “Hando Chogua” atau “Over the Limit,” aku mau menulis tentang sejarahnya yang berkali-kali hampir runtuh, tapi selalu memilih untuk tersenyum dan melangkah lagi. Tulisan kali ini aku sarikan dari buku Big Bang – Shout Out To The World!

Trailer MV “Hando Chogua” – Kang Daesung

Sejak kecil, Daesung tumbuh sebagai anak yang penurut. Ayahnya punya dua kalimat andalan di rumah, “Sekali kata terucap, tidak bisa ditarik kembali,” dan “Kalau kamu ingin melakukan sesuatu, setidaknya cobalah dulu.” Dua prinsip yang terus menempel di kepalanya.

Lucunya, begitu Daesung menemukan apa yang sungguh-sungguh ingin ia lakukan, yaitu menjadi penyanyi, ayahnya justru berkata, kurang lebih begini, “Kamu boleh jadi apa saja, asal bukan itu (penyanyi).”

Sang ayah ingin Daesung menjadi pendeta. Nama “Dae-sung” sendiri dipilih karena berarti “suara besar yang menyampaikan pesan” yang kalau diartikan ke harapan sang ayah, yaitu suara lantang yang menyebarkan firman dari mimbar gereja, bukan dari panggung konser. 

Di kepala sang ayah, dunia musik hiburan adalah dunia licin yang penuh kegagalan. Ada teman-teman masa mudanya yang pernah mencoba jadi penyanyi, putus sekolah, lalu akhirnya tidak berhasil. Wajar kalau ayah Daesung alergi mendengar anaknya bilang, “Aku mau jadi penyanyi.”

Masalahnya, kalimat “setidaknya cobalah dulu” sudah terlanjur menetap di dada anak bungsunya ini. Daesung merasa, kalau ia tidak mencoba, bagaimana orangtuanya tahu apakah mimpinya benar-benar sia-sia atau justru memang jalannya?

Berawal dari Tempat Karaoke

Suatu hari, ketika duduk di bangku sekolah menengah, Daesung dan teman-teman sekelasnya pergi ke tempat karaoke bersama wali kelas pas pulang sekolah. Untuk teman-temannya, itu hal biasa. Nah, untuk Daesung, itu pertama kalinya. 

Di ruangan kecil dengan echo volume-up itu, ia mendengar suaranya sendiri keluar dari speaker. Bukan suara bocah asal nyanyi ya, tapi suara yang tiba-tiba terasa “besar” dan memenuhi ruang. Daesung menyukai suaranya.

Setelah ia selesai menyanyi, wali kelasnya berkomentar, “Wah, Daesung nyanyinya bagus sekali, kamu bisa jadi penyanyi.” Satu kalimat itulah, yang mungkin untuk sang guru hanya basa-basi, tapi bagi remaja pendiam ini, itu seperti surat panggilan dari masa depan. Kata “bisa jadi penyanyi” terus menggaung di kepalanya, bahkan ketika teman-teman lain bergantian bernyanyi.

Tak lama setelah itu, ada acara lomba menyanyi di sekolah, Daesung ikut serta dan menang juara pertama. Di situ ia mulai merasa, “Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin ini memang arah masa depanku.” Belakangan, ia baru tahu kalau gurunya dulu tidak benar-benar “menganjurkan” dia jadi penyanyi, hanya kagum sesaat sama suaranya. Tapi nasi sudah jadi impian. Daesung sudah telanjur jatuh cinta pada gagasan menjadi penyanyi.

Hampir Diusir dari Rumah

Sejak saat itu, rumah keluarga Kang tidak lagi setenang dulu. Ayah Daesung yang selama ini punya gambaran anaknya berdiri di mimbar dengan Alkitab di tangan, lupa bahwa kalimat “cobalah dulu” bisa berbalik arah. Begitu Daesung menyatakan lagi dia ingin jadi penyanyi, jawaban sang ayah tegas, “TIDAK!” bukan “tunggu dulu” atau “nanti kita bicarakan lagi.” Daesung langsung ditolak mentah-mentah.

Pertengkaran panjang pun dimulai. Untuk pertama kalinya, anak yang biasanya menurut ini membantah ayahnya. Bukan karena dia nakal, tapi untuk mempertahankan mimpinya. Kakak perempuannya yang selalu mendukung apa pun yang ia lakukan sampai heran, “Kenapa tiba-tiba kamu sekeras ini hanya demi jadi penyanyi?”

Di titik itu, buat Daesung, keinginannya ini sudah berubah jadi pertarungan martabat, antara anak yang ingin dipercaya, dan ayah yang ingin melindungi. Semakin keras penolakan datang, semakin kuat api di dadanya menyala. Ia merasa harus membuktikan bahwa kali ini, ia sungguh-sungguh.

Suatu pagi, ketika Daesung bersiap berangkat sekolah, sang ayah masuk ke kamarnya membawa sebuah kardus besar. Tanpa banyak kata, ia meletakkan kardus itu dan berkata, “Kalau kamu tetap mau jadi penyanyi, bereskan barangmu dan keluar dari rumah.”

Ini bukan ancaman kosong. Daesung masih menyimpan satu memori pahit ketika ia kelas tiga, pernah melempar sendok di meja makan, dan langsung disuruh keluar rumah dalam keadaan telanjang dada. Tetangga sampai iba dan mencoba menengahi, tapi ayahnya tetap tidak mau membuka pintu. Dari situ, ia tahu: kalau ayah sudah bilang sesuatu, itu sungguh-sungguh.

Di hadapan kardus kosong itu, logika dan ketakutan saling bertabrakan. Daesung ingin bertahan pada keinginannya, tapi ia juga tidak punya tempat lain untuk pulang. Akhirnya, ia memilih mundur sejenak. Pas ayahnya kasih kotak itu, Daesung mengalihkan pembicaraan. “Aku berangkat sekolah dulu, minggu depan ada ujian. Nanti kita bicarakan lagi,” lalu melangkah keluar kamar sambil membawa hati yang tetap ingin bernyanyi.

Daesung mengganti strategi, bukan lagi bersikeras dengan ayahnya, tapi pelan-pelan mencari jalan agar sang ayah bisa melihat kesungguhannya. Ia lalu mendaftar audisi di sebuah akademi milik stasiun TV. Ada seleksi, ada surat penerimaan, semacam bukti “resmi” yang bisa ia bawa pulang. Daesung berharap, kalau ayahnya melihat ini, tidak lagi menganggap cita-cita jadi penyanyi adalah mimpi buruk, melainkan ada jalur terstruktur. Mungkin sang ayah bisa sedikit luluh.

Eh, ternyata Daesung LULUS. Akademi musik tersebut mengirimkan pemberitahuan bahwa ia diterima. Dengan percaya diri, Daesung menunjukkan surat itu pada ayahnya. Akan tetapi, reaksi yang ia dapat justru mematahkan semangatnya.

“Apa ini? Tempat yang bisa dimasuki siapa saja selama punya uang?”

Gara-gara satu kalimat itu, kebanggaan di hati Daesung menguap. Surat kelulusan yang tadinya terasa seperti tiket ke masa depan, mendadak seperti brosur kursus biasa. Meski hatinya jatuh, keinginan dalam dirinya belum padam. Daesung merasa bersalah karena tidak sepenuhnya patuh pada orang tua, tapi ia juga tahu, jika ia menyerah sekarang, ia akan menyesal seumur hidup.

Hati Ayah Melunak, Daesung Ikut Audisi YG

Suatu hari pas liburan sekolah, Daesung akhirnya nekat “kabur” bersama teman-teman musiknya. Ia menelepon rumah, bilang, “Ayah, aku bersama teman-teman musik. Mungkin beberapa hari tidak pulang.” Di seberang, hanya terdengar jawaban pendek sang ayah, “Terserah kamu.” Telepon ditutup, dan perasaan di dadanya justru makin campur aduk.

Teman-temannya bercanda, “Ini mah bukan kabur dari rumah, cuma main lebih lama.” Tapi beberapa hari kemudian, badai di rumah perlahan reda. Ayahnya mulai melunak. Mungkin karena memang tidak ada orang tua yang betul-betul bisa memenangkan perang melawan tekad anaknya sendiri.

Akhirnya, sang ayah berkata, “Baiklah. Mau itu akademi TV atau apa, kalau ingin mencoba, coba saja. Kamu baru akan mengerti setelah mengalami sendiri susahnya.” Di situ, mimpi Daesung seolah mendapat lampu hijau untuk pertama kalinya, walaupun masih redup dan penuh syarat.

Tak lama kemudian, ada kesempatan audisi di YG Entertainment, agensi yang selama ini hanya bisa Daesung lihat dari layar kaca. Remaja yang lebih familiar dengan lagu-lagu tradisional ini tiba-tiba harus menyanyikan lagu pop bahasa Inggris di depan produser besar. Ia memilih “I Believe I Can Fly” milik R. Kelly. Disiapkan pas waktu mepet, dibawakan dengan gugup, tapi Daesung tetap bernyanyi dengan hati.

Di depan Yang Hyun-suk, suara Daesung mungkin jauh dari sempurna. Namun takdir punya selera humor sendiri. Daesung diterima sebagai trainee. Belakangan, sang CEO YHS mengaku salah satu alasan ia memilih Daesung malah bukan karena suaranya, tapi senyum cerahnya. Itulah awal mula Daesung dijuluki the Smiling Angel.

Ayah Daesung, yang mengenal Se7en sebagai penyanyi YG, sedikit lebih tenang. Namun tetap ada dua syarat keras yang ditancapkan untuk putra bungsunya itu, yaitu Daesung tidak boleh bolos sekolah, dan ia harus pulang ke rumah sebelum jam 11 malam setiap hari apa pun yang terjadi.

Begitulah, lahir satu-satunya trainee YG yang tetap sekolah penuh waktu. Pagi sampai siang, Daesung duduk di kelas, sore hingga malam ia latihan di Studio YG. Sementara trainee lain bisa fokus sepenuhnya di studio, Daesung harus membagi tenaga antara pelajaran dan mimpi.

Latihan Keras Hingga Debut dan Pita Suara Rusak

Di ruang latihan basement YG, Daesung seperti anak yang baru menemukan surga. Ia pertama kali belajar dance, pertama kali melihat koreografi yang rumit, pertama kali menyadari betapa jauhnya jarak kemampuan dirinya dengan senior-seniornya, seperti G-Dragon dan Taeyang yang sudah berlatih enam tahun lebih dulu. 

Di depan mereka, Daesung merasa seperti balita yang baru belajar jalan. Tapi justru karena itu, semangat belajarnya meledak. Ia menyerap semuanya seperti spons menyerap air.

Ruang latihan itu juga menjadi tempat di mana ia boleh bernyanyi sekeras mungkin tanpa tetangga yang protes. “Betapa menyenangkannya tempat ini,” pikirnya waktu itu.

Begitu syuting “BIGBANG Documentary” dimulai, suasana trainee berubah total. Para trainee yang tadinya seperti keluarga, mendadak terasa seperti peserta survival show. Setiap minggu ada penilaian, setiap minggu ada kemungkinan dieliminasi. Dan suatu hari, kabar itu datang, bahwa CEO YHS berencana akan mengeluarkan beberapa trainee dan menyisakan setidaknya empat orang. Itu berarti dari 6 trainee yang ikut, akan ada dua orang yang dieliminasi.

Aku tidak akan mengisahkan cerita survival mereka. Kamu bisa baca terpisah di link berikut ini.

Singkat cerita, saat satu trainee benar-benar harus pergi, Daesung merasakan dinginnya dunia profesional secara langsung. Di usia 18 tahun, ia melihat sendiri bagaimana mimpi bisa terhenti, bukan karena kurang kerja keras, tapi karena kesempatan yang terbatas. 

Teman yang sebelumnya tertawa bersama di ruang latihan, mendadak harus berkemas dan pulang. Perasaan bersalah dan sedih bercampur dengan ketakutan di hati Daesung.

Di tengah tekanan itu, BIGBANG akhirnya debut. Seharusnya ini jadi babak paling bahagia. Namun buat Daesung, masa-masa awal itu justru diwarnai ketakutan terbesarnya sebagai penyanyi. Ya, tepat kala debut, pita suara Daesung RUSAK dan suaranya jadi bermasalah.

Karena terlalu keras memaksa diri latihan, Daesung melukai pita suaranya tepat sebelum rekaman single ketiga. Debut dengan grup yang dikenal punya kemampuan vokal kuat, Daesung ketakutan setengah mati. Ia merasa bukan hanya menghambat dirinya sendiri, tapi juga bisa merugikan nama BIGBANG.

Saat rekaman solo “Try Smiling” untuk mini album BIGBANG Vol. 1, Daesung berhadapan dengan mikrofon lebih dari 12 jam. Ada momen ketika hanya tersisa dua nada terakhir untuk diselesaikan, tapi suaranya sama sekali tidak mau keluar. Ia minum air, menarik napas, mencoba lagi. Gagal lagi. Jam demi jam berlalu, dan ia mulai merasa seolah dunia merapat menekan pundaknya. “Bagaimana kalau aku tidak bisa bernyanyi lagi setelah ini?”

Gummy noona, senior satu agensi Daesung, datang menenangkan. Ia bercerita bahwa ia pun pernah mengalami masa ketika suaranya rusak dan harus belajar memakai teknik yang berbeda. Tapi kata-kata penghiburan kadang kalah oleh rasa bersalah pada diri sendiri. Di kepala Daesung, hanya berputar kalimat, “Ini kesalahanku. Aku tidak menjaga suaraku. Semua orang sudah bekerja keras demi lagu ini, dan aku malah merusaknya.”

Ketika akhirnya dua nada terakhir itu keluar juga, Daesung langsung menangis. Dia lega, juga merasa sangat berutang pada produser, staf, dan Gummy noona yang sudah menemaninya melewati 14 jam yang berat.

Selama berbulan-bulan setelah itu, Daesung menjaga suaranya seperti barang rapuh. Dia sungguh berhati-hati, bahkan menjawab telepon pun dengan suara selembut mungkin. Daesung lebih banyak tersenyum daripada berbicara, melakukan apa pun yang bisa melindungi pita suaranya.

Mungkin kamu sering melihat member impersonate Daesung kalau sedang bicara, dengan nada suara super lembut, halus, kecil. Ternyata, itu salah satu cara Daesung untuk melindungi pita suaranya.

Sampai akhirnya, “Lies” meledak. Di tengah kesibukan promosi, suara Daesung pelan-pelan kembali stabil, seolah semua yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi buruk yang perlahan memudar.

Nyanyi Trot Ngerusak Image BIGBANG?

Di tengah naik-turun awal kariernya itu, ada satu suara lain yang terus hidup di kepala Daesung, yaitu suara ibunya. Sejak kecil, sang ibu selalu menanamkan prinsip “berpikir positif” pada Daesung. Apa pun masalahnya, entah itu nilai turun, bertengkar dengan teman, perang dingin dengan sang ayah, ibu Daesung selalu bilang, “Hadapi sungguh-sungguh. Kalau kamu sudah melakukan yang terbaik, kamu tidak akan menyesal.” 

Kata-kata “positif” itu begitu sering diulang sampai-sampai Daesung merasa seolah itu berarti “jangan mengeluh.” Lama-lama ia sadar, justru cara berpikir itulah yang membuatnya tidak benar-benar tenggelam di saat paling gelap.

Pola pikir positif ini diuji lagi ketika Daesung memutuskan untuk membawakan lagu trot “Look At Me, Gwisoon.” Trot identik dengan musik orang tua, jauh dari citra boyband modern. Bahkan sebelum naik panggung, sudah banyak komentar miring beredar untuk Daesung, bahkan dari K-VIP juga. 

“Member BIGBANG nyanyi trot? Merusak imej saja.”

“Sebagai fans, aku nggak bisa nerima.”

Sebagai orang yang sangat menjaga nama grupnya, komentar itu menusuk dalam ke lubuk hati Daesung. Apalagi trot itu adalah hadiah dari G-Dragon. Ia ingin tampil membawakan hadiah itu dengan bangga, tapi justru merasa seolah-olah akan menjadi beban.

Saat rasa ragu hampir mengambil alih, “virus positif” yang ditanam ibunya muncul lagi. Daesung mengubah sudut pandangnya. “Aku belum naik panggung saja mereka sudah khawatir. Kalau begitu tugasku adalah menunjukkan panggung yang membuat mereka bangga.”

Sejak hari itu, ia berlatih tanpa henti. Daesung memikirkan ekspresi apa yang tepat, gerakan seperti apa yang cocok, sampai detail kostum. Jadwalnya bertabrakan dengan aktivitas BIGBANG, tapi ia menyusupkan latihan di sela-sela waktu istirahat.

Ketika akhirnya tiba panggung pertama, dan ia menyapa, “Halo semuanya, aku Daesung!” suasana langsung memanas. Penonton tertawa, berteriak, ikut bergoyang. Panggung dan penonton menyatu. Di momen itu, Daesung merasa seperti superhero kecil di tengah lautan dukungan. 

Setelah hari itu, nada kritik lebih banyak yang berubah jadi tepuk tangan. Trot bukan lagi dianggap beban untuk BIGBANG, tapi justru warna baru yang mereka kuasai.

Dukungan Sang Kakak

Hubungan Daesung dengan kakaknya dulu jauh dari manis. Waktu kecil, setiap kali mata bertemu, hampir pasti berakhir bertengkar. Sampai suatu hari, mereka berkelahi hebat. Terlalu terbawa emosi, Daesung lupa bahwa lawannya perempuan. Ia memukul terlalu keras sang kakak. 

Melihat kakaknya menangis kesakitan, rasa bersalah langsung muncul. Daesung berhenti melawan dan malah membiarkan kakaknya memukul balik. Mereka berdua akhirnya menangis bersama, satu karena sakit fisik, satu karena menyesal.

Sejak hari itu, orang yang tadinya paling ia “benci” perlahan berubah jadi orang yang paling mengerti dirinya. Di saat rumah memanas karena konflik dengan ayah soal impian jadi penyanyi, kakaknya justru menjadi orang yang paling paham bahwa adiknya tidak mengejar kejayaan, hanya ingin melakukan sesuatu yang ia cintai. 

Ada hari-hari ketika Daesung kelelahan atau kehilangan harapan, kakaknya akan masuk kamar dan bilang, “Kamu akan baik-baik saja.” Kalimat sederhana yang menjadi semacam mantra penyembuh. Sampai sekarang, setiap kali rasa lelah datang, kalimat itu masih terngiang.

Sementara senyum, awalnya hanyalah bagian dari kepribadiannya. Lama-lama, senyum itu berubah menjadi semacam komitmen. Di mata penggemar, Daesung selalu terlihat ceria. Padahal, ada masa ketika di balik senyuman itu ia merasa seperti diselimuti awan gelap, lebih mirip “malaikat neraka” daripada “smiling angel”.

Ada hari-hari ketika ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku terlalu palsu? Kenapa aku tertawa ketika sebenarnya aku tidak bahagia?” Namun seiring waktu, ketika makin banyak orang berkata, “Kalau bicara soal positif, pasti ingat Daesung,” ia mulai memilih untuk benar-benar menjadi orang yang mereka lihat. Daesung tidak lagi mau pura-pura karena ia merasa kebahagiaan yang keluar darinya bisa menular.

Di kantor agensinya, suatu hari ia melihat kertas ditempel di pintu, berjudul “10 inspirasi dari senyum.” Dari, “tertawa satu menit bisa memperpanjang umur,” sampai “kalau kamu tidak tersenyum seharian, hari itu sia-sia.” Awalnya Daesung hanya melirik saja. Tapi di hari-hari ketika ia malas tersenyum, ia kembali membaca satu per satu, dan pelan-pelan belajar tersenyum dari hati. Bukan lagi sekadar kewajiban, tapi pilihan.

Merambah Dunia Variety Show dan Musikal

Banyak orang di luar BIGBANG mengenal Daesung lewat variety show seperti “Family Outing.” Di layar, ia terlihat spontan dan penuh tawa. Tapi malam sebelum syuting pertama, ia gelisah bukan main. Ia harus tinggal di tempat asing bersama orang-orang yang sudah saling dekat, sementara ia sendiri sebenarnya introvert dan takut perubahan.

Para member BIGBANG mencoba menenangkannya lewat pesan, “Kamu kan sudah terbiasa hidup bareng kami, kamu pasti bisa.” Namun kecemasan tetap ada. Setelah syuting perdana, ia mengirim pesan pada mereka, “Karena hatiku hilang, tadi aku tidak banyak bicara.”

Balasan yang datang hangat dan kocak, “Daesung, fighting!” “Siapa yang bikin kamu nggak bisa ngomong, bilang ke hyung!” Kehangatan seperti itu, ditambah nasihat dari HaHa yang berkata, “Kamu hanya perlu menyesuaikan diri dan mengamati suasana di depan kamera,” membuat Daesung kembali tenang. Ia sadar, ia tidak berjalan sendirian.

Sepanjang perjalanan kariernya, Daesung berkali-kali “bertransformasi” meminjam istilah sebuah tulisan yang pernah ia baca tentang dirinya. Ia menyanyi trot, tampil di variety show, mencoba jadi MC acara musik, sampai menerima tawaran bermain di musikal “Cats”.

Ketika undangan “Cats” datang, ia merasa seperti diminta masuk ke dunia lain. Meski sudah menonton musikal itu beberapa kali, setiap kali menonton, perasaannya selalu baru. Melihat para aktor menari dan bernyanyi di panggung, tubuhnya ikut bergetar di kursi. “Masa aku benar-benar bisa berdiri di sana?” pikirnya.

Waktu latihan sangat terbatas. Jadwal BIGBANG padat, sementara musikal membutuhkan latihan intens. Ia harus memangkas waktu makan dan tidur untuk berlatih. Sampai suatu saat, karena terlalu lelah, ia sempat meledak pada manajernya, “Kalau aku tidak latihan sama sekali, bagaimana aku bisa tampil?” Begitu kalimat itu keluar, rasa bersalah langsung menyusul. Toh yang menerima tawaran itu dirinya sendiri. Yang harus menarik garis antara mimpi dan realitas juga dirinya sendiri.

Meski kelelahan, selalu ada antusiasme yang menyala. Setiap kali berjalan ke ruang latihan “Cats,” Daesung menyapa semua orang dengan ceria, “Halo semuanya, aku Daesung!” seolah sedang menyemangati dirinya sendiri. Ia mau memakai baju latihan ketat yang awalnya bikin malu, demi membiasakan tubuhnya untuk panggung sesungguhnya. Hari-hari itu berat, tapi juga membahagiakan, karena artinya ia sedang melangkah ke versi dirinya yang baru.

Ketika akhirnya berdiri di panggung sebagai aktor musikal, Daesung merasakan jenis tepuk tangan yang berbeda dari dirinya sebagai idol. Penonton, banyak di antaranya seusia orang tuanya, duduk tenang sepanjang pertunjukan, lalu memberikan tepuk tangan panjang di akhir. Di momen itu, Daesung merasa tepuk tangan itu bukan hanya untuk “Daesung BIGBANG” tapi untuk dirinya sendiri, sebagai orang yang berani mencoba.

Kalau benang merah hidup Daesung dirangkum, mungkin jatuhnya begini, tidak ada tantangan yang benar-benar sia-sia kalau ia memilih untuk tetap tersenyum dan maju. Aku pribadi pun sering kali menyerap virus positif itu dari Daesung dulu, bahkan sampai hari ini. Apakah kamu juga?

Share:

Tags:

Leave a Comment