Kalau kamu lagi merasa hidupmu muter di situ-situ aja, kayak putar balik di bundaran tanpa pernah belok ke mana-mana, mungkin kamu perlu berhenti sebentar dan dengar kalimat dari Taeyang ini. “So jump… there’s nothing fascinating about going around in circles.”
Kalimat ini meluncur dari seorang anak pemalu bernama Dong Young-bae, yang sekarang lebih kita kenal sebagai Taeyang. Pada tulisan kali ini, yang aku sarikan dari buku Big Bang – Shout Out To The World! aku mau mengajakmu melihat Taeyang bukan sebagai idol, melainkan sebagai manusia yang memilih “wild road” dibanding jalan aman yang rapi dan familiar.
Ini cerita tentang mimpi dan perjuangan Taeyang, dan betapa tidak semua orang rela berhenti jadi “penonton” dan benar-benar turun ke medan sebenarnya.
“Sayang Banget Kalau Mimpimu Kecil”
Taeyang pernah cerita tentang salah satu teman sekelasnya di SMA yang gila games. Main game-nya itu bukan cuma sekadar hobi, tapi level hidup dan bernapasnya ya karena game. Pola hidup temannya kira-kira begini, malam begadang main game, pagi buta sudah nongkrong di warnet. Skill-nya setara pro player. Tiap game baru rilis, dia yang paling duluan tamat. Nemu bug? Dia yang bikin cheat dan dishare ke teman-teman.
Kalau kita lihat dari luar, kita mungkin mikir, “Wah, ini sih calon gamer dunia.” Makanya waktu Taeyang nanya, “Mimpimu apa?” Taeyang menunggu jawaban yang sepadan dengan passion dan kemampuan temannya itu. Minimal jawabannya adalah jadi pro player, game designer, atau pembuat game kelas dunia.
Tapi coba tebak, jawaban yang keluar dari temannya itu. “Mimpiku punya warnet sendiri. Biar bisa main game tanpa bayar.” Taeyang kaget dong. Bukan karena mimpi temannya “salah,” tapi karena begitu deket dan kecilnya mimpi itu dibanding potensi yang dimiliki temannya itu.
Dalam hati, Taeyang rasanya mau bilang ke temannya, “Mimpi itu kamu bisa wujudkan dengan cukup mudah. Kenapa nggak sekalian mimpi yang lebih jauh? Lebih tinggi?” Tapi tentu saja, dia tidak bilang itu. Setiap orang berhak punya pilihan hidup kan? Akhirnya, Taeyang hanya menyimpan pertanyaan itu di dalam hati.
Dari situ, muncul satu kegelisahan Taeyang. “Kenapa ada orang yang dikasih potensi besar, tapi puas dengan mimpi yang kecil?”
Bosan dengan “Jalan Aman”
Sejak mulai serius mengejar mimpinya jadi penyanyi, Taeyang jujur kalau dia kehilangan minat pada sekolah. Bukan karena dia benci guru. Bukan karena dia benci teman-temannya. Yang dia nggak tahan adalah ritme yang terasa lambat, repetitif, tidak efisien, dan seolah tanpa makna bagi arah hidup yang ia pilih.
Dia melihat teman-temannya makan enak, di kelas asal nggak dimarahi guru ya sudah, nilai naik sedikit saja sudah senang, mengerjakan pilihan ganda seperti memilih minuman di vending machine.
Buat banyak orang, itu hidup yang nyaman. Buat Taeyang, itu terasa seperti “muter di lingkaran” yang sama, tanpa keberanian keluar dari garis aman. Dia tahu, dia tidak bisa menikmati hidup yang terlalu aman. Bukan berarti jalan teman-temannya salah. Bukan. Hanya saja, hatinya tidak bisa lagi pura-pura cocok di sana.
Dan di titik itulah, Taeyang memutuskan untuk meninggalkan trotoar yang aman itu, kemudian memilih “wild road” atau jalan liar yang tidak jelas ujungnya. Jalan di mana dia tidak tahu akan berakhir di mana, tidak ada jaminan sukses, tidak ada yang menjanjikan apa-apa, tapi… di situlah mimpinya berada.
Keputusan ini bukan keputusan yang bisa “di-undo.” Begitu memilih jalan liar itu, Taeyang tidak bisa lagi menikmati hidup “normal” seperti teman-temannya. Tapi teman-temannya juga tidak akan pernah punya apa yang dia lihat di jalan itu.
Kaset di Kamar Abang
Kalau ditarik lebih jauh, benih perjalanan musikal Taeyang ini bukan dimulai di studio, bukan di audisi, tapi di kamar abangnya. Waktu itu Taeyang masih sekitar enam tahun. Kakaknya lima tahun lebih tua, sudah SD kelas atas, dan punya satu benda yang jadi harta karun, pemutar kaset di meja belajarnya.
Bagi Taeyang kecil, itu seperti pintu ke dunia lain. Kakaknya sudah gandrung musik, selektif banget soal lagu. Tiap hari pakai earphone, mengangguk-angguk, mengentak-entakkan kaki. Taeyang kecil heran, “Sebenarnya dia lagi dengar apa sih?”
Sampai suatu malam, ketika kakaknya tertidur, dia nekat meminjam kaset, menyalakan tape, dan… dunianya berubah seketika. Di malam sunyi itu, Taeyang mendengarkan Michael Jackson, Seo Taiji and Boys, dan hitam-putih dunia musik yang belum pernah ia kenal.
Untuk anak yang “idealnya” masih dengar lagu anak-anak, apa yang dia dengar malam itu terlalu besar. Beat-nya masuk. Rasa-nya menular. Dia bukan sekadar menikmati, dia terbawa.
Sejak itu, Taeyang rutin “belajar musik secara rahasia” di malam hari. Dia suka mendengarkan lagu sampai matahari terbit, menulis lirik rap dengan tulisan fonetik Korea berdasarkan apa yang dia dengar, menyanyi diam-diam di bawah selimut, takut ada yang dengar, memeras telinga kecilnya untuk menangkap setiap detail.
Taeyang tidak paham bahasa Inggris, tapi tubuhnya paham feeling-nya. Ia tidak tahu arti liriknya, tapi jiwanya mengerti ritmenya. Belakangan, Taeyang sadar, “Waktu itu aku belum pernah mikir mau jadi penyanyi. Tapi aku merasa, musik itu mengisi setengah DNA-ku.”
Dari Anak Pemalu Jadi “Little Sean”
Taeyang kecil bukan tipe anak yang suka tampil di depan umum. Dia pemalu, introvert, tidak menonjol dalam apa pun. Hobinya ya dengar musik, main piano. Lalu orang tuanya sibuk, dan ia tinggal sementara dengan tantenya. Sepupunya ikut kelas akademi seni. Karena bosan di rumah dan tidak kenal lingkungan, Taeyang ikut saja.
Awalnya Taeyang cuma menemani sepupunya. Dia nggak ada minat jadi performer, nggak ada ambisi apa-apa. Sampai suatu hari, seorang teman dari akademi bilang, “Hyung, kamu nggak mau ikut audisi? Ini buat MV-nya Jinusean. Aku sudah kepilih jadi Little Jinu, mereka masih butuh Little Sean.”
Dari sanalah semua bermula. Taeyang, anak yang awalnya pemalu, pendiam, belum pernah mikir ingin tampil, tiba-tiba ditawari ikut audisi memerankan versi kecil dari salah satu artis yang ia suka. Dia sudah hafal lagu-lagu Jinusean, rap-nya, koreografinya.
Rasanya seperti peran itu sengaja dibuat khusus untuk Taeyang. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak mau lagi hanya berdiri di pinggir jalan. Taeyang memutuskan, “Kalau aku tetap pemalu, kesempatan ini nggak akan datang dua kali.”
Sejak itu, Taeyang latihan sepenuh hati. Dia menghafal rap, meniru ekspresi Sean, mempersiapkan diri seolah itu panggung solonya. Dan hasilnya? Dia lolos. Dia jadi Little Sean.
Di lokasi syuting MV itu, Taeyang merasakan perbedaan besar antara menonton musik, dan ikut menciptakan momen musik itu, walau hanya lewat akting. Ia tidak menyanyi di sana, suara yang dipakai tetap suara Jinusean. Tapi dia menggerakkan bibir seperti rapper, menggerakkan tangan dan kaki seperti penyanyi, dan di momen itu, menurutnya, “sebuah jiwa bernama ‘penyanyi’ masuk ke dalam tubuhku lewat bibir dan gerakanku.”
Itu titik balik Taeyang. Dari anak yang selalu menjalani hidup sesuai buku teks, ia mulai melihat bahwa ada alternatif: menciptakan dunianya sendiri.
“President Yang, Saya Mau Jadi Penyanyi.”
Syuting MV Jinusean membuka jalur Taeyang ke YG. Satu hari, CEO YG, Yang Hyun-suk, datang ke lokasi syuting. Buat Taeyang kecil, itu seperti melihat orang dari dunia lain. Jantungnya mau copot.
Dan di situ, dia bergulat dengan satu hal. “Kalau aku diam saja, hubungan ini selesai setelah syuting beres.” “Kalau aku berani, mungkin pintu baru akan terbuka.”
Dengan kaki gemetar, dia mendekati CEO Yang. Dengan suara bergetar, dia bilang, “Presiden Yang, saya mau jadi penyanyi.” Bayangin, seorang anak SD berani ngomong begitu ke bos besar industri musik. Dari sisi bos, mungkin Taeyang terdengar lucu, naif, dan terlalu berani.
Jawaban yang ia dapat waktu itu diplomatis banget. “Nanti kami hubungi. Pulang dulu dan tunggu kabar.” Buat orang dewasa, kalimat itu bisa berarti “ya” bisa berarti “tidak” atau bisa saja cuma basa-basi. Tapi buat Taeyang kecil, itu jadi seutas harapan.
Dia menunggu kabar selanjutnya. Seminggu lewat. Sebulan lewat. Tidak ada kabar. Sebulan terasa seperti 10 tahun. Sampai suatu hari, dia memutuskan datang langsung ke kantor YG, tanpa janji, tanpa undangan.
Dia masuk ke ruang CEO dan bertanya, “Presiden Yang, kenapa Bapak bilang akan menghubungi saya, tapi tidak menelepon?”
Kalau kita bayangkan dari sisi bos, ada bocah nongol tiba-tiba, protes, seperti penagih utang kecil. Yang Hyun-suk kaget, minta maaf karena benar-benar lupa, dan akhirnya, mungkin lebih karena terkesan keberaniannya, dia jawab, “Baiklah, kamu mulai saja sebagai trainee.”
Dan dari situ, dimulailah enam tahun hidupnya sebagai trainee YG. Taeyang tidak ditemukan, tapi dia yang menampakkan dirinya sendiri supaya terus dilihat YG.
Orang Tua, Mimpi, dan Syarat yang Mengikat
Seperti banyak orang tua Asia lainnya, orang tua Taeyang punya harapan klasik untuk anaknya menjadi pengacara, dokter, profesor. Mereka masih bisa menerima kalau anaknya jadi guru musik atau pianis. Itu cukup “aman” karena jalurnya jelas. Ada sekolahnya, ada gelar akademiknya, ada jalur karier yang “rata-rata orang bisa mengerti.”
Tapi, bisa bayangin nggak, ada orang tua tahun 1999, anaknya datang bilang, “Aku mau jadi trainee YG.” Wajarlah orang tua Taeyang syok, mencoba mencegah, menyarankan jalur lain yang lebih stabil, seperti aktor.
Taeyang sendiri bukan tipe anak pemberontak. Dia terbiasa nurut sama orang tua, suka membantu, membersihkan rumah tanpa disuruh, bikin orangtuanya senang lewat hal-hal kecil.
Maka, untuk pertama kalinya dalam hidup, dia bersikap “melawan” tapi bukan dengan kabur dari rumah, bukan mogok makan, bukan menghilang. Dia memilih jalan yang lebih susah, yaitu meyakinkan kedua orang tuanya perlahan dengan tenang.
Dia mencoba melihat dari sudut pandang orang tuanya bahwa pasti mereka takut dia gagal, mereka takut hidup seni itu keras, mereka ingin anaknya punya kepastian. Pelan-pelan Taeyang bicara, dan akhirnya, orang tuanya setuju… tapi dengan syarat.
“Kalau ini jalan yang kamu pilih, kamu harus tanggung jawab. Tidak boleh setengah-setengah. Apa pun gagal dan jatuhnya, kamu tidak boleh lempar alasan.
Dan satu lagi, “sekolah tidak boleh berantakan.” Dari situ, Taeyang resmi berjalan di wild road dengan dua beban di pundak, yaitu menjadi siswa sekolah dan menjadi trainee YG. Plus, jadi anak yang tetap ingin membanggakan orang tuanya.
Jadi Trainee tanpa Blueprint
Selama empat tahun, dari akhir SD sampai akhir SMA, hidup Taeyang hanya berputar di sekolah, rumah, studio latihan. Dari luar mungkin terlihat keren, “Wah, trainee agensi terkenal, punya eks-SeoTaiji & Boys.” Tapi dari dalam, rasanya sepi, tanpa kepastian, tanpa tanggal “lulus” yang jelas.
Tidak ada yang bisa bilang di YG, “Kalau kamu sudah sekian tahun, kamu pasti debut” atau “Kalau kemampuanmu sudah level ini, kamu pasti jadi penyanyi.”
So, hari-hari Taeyang seperti latihan, menunggu, diperhatikan sedikit, diabaikan lagi, dikritik tanpa belas kasihan. Bahkan senior-senior vokal pernah bilang, “Apa pun yang terjadi ke kamu sebagai trainee, rasanya nggak enak.”
Karena kalau dipuji, takutnya habis sampai di situ. Kalau dikritik, rasanya ambruk. Tidak ada orang yang berdiri di depan, bawa papan timeline, lalu nulis, “Tahun ini kamu begini, tahun depan kamu begitu, tahun depannya lagi kamu debut.” Yang ada hanya terus latihan dan bertahan.
Supaya tetap waras, Taeyang bikin tiga janji pada dirinya sendiri, yaitu jangan putus asa, jangan menyerah, dan jangan membiarkan pikiran melayang ke hal-hal yang menjauhkannya dari tujuan.
Ada satu episode kecil tapi menggambarkan kerasnya dunia trainee. Suatu hari, Taeyang mendapat telepon, “Youngbae, ada jadwal mendadak. Kamu mungkin harus gantiin senior tampil. Cepat ke stasiun XX.”
Ini kesempatan emas. Tampil di panggung, meski hanya sebagai pengganti, bukan hal yang datang tiap hari. Hari itu Taeyang seharusnya belajar untuk ujian akhir, tapi ia memilih panggung dulu, ujian nanti.
Dia lari ke stasiun. Telepon tidak diangkat lagi. Dia menunggu. Satu jam. Dua jam. Tiga sampai empat jam. Akhirnya telepon masuk, “Hah? Kamu masih di sana? Acaranya sudah selesai. Karena kamu belum datang, bagiannya dibatalkan. Balik ke ruang latihan saja.”
Kamu bisa bayangin gimana perasaan Taeyang remaja kala itu? Dia mungkin kedinginan menunggu di stasiun, lapar, kecewa, dan merasa seperti “barang cadangan” yang tidak begitu dipikirkan.
Di titik ini, Taeyang seperti besi yang dipanaskan, ditempa, dimasukkan air dingin, dipanaskan lagi. Sakit, tapi itulah cara dia mengeraskan tekad.
Saat Namanya Dipakai sebagai Contoh Buruk
Puncak ujian mental datang menjelang BigBang Documentary. Waktu itu, para trainee diawasi ketat. Tiap hari ada penilaian. Di suatu sesi, Yang Hyun-suk mengumpulkan semua trainee dan bicara langsung.
Dia menunjuk dua nama, Youngbae dan Jiyong. Durasi trainee mereka kurang lebih sama. Tapi Yang Hyun-suk bertanya ke Taeyang, “Kenapa sekarang Jiyong bisa menyanyi hampir selevel denganmu, padahal dulu aku pikir kamu yang akan lebih unggul?”
Lalu, di hadapan semua orang, CEO Yang berkata pada Seungri, “Masalahmu adalah dasar yang kurang. Kalau tidak diperbaiki, nanti kamu akan seperti Youngbae.”
“Seperti Youngbae.” Itu dipakai sebagai contoh peringatan. Bayangkan. Enam tahun latihan, lalu di depan adik-adik trainee, namamu dijadikan “contoh jangan sampai kayak begini.” Rasanya? Malu. Ingin menghilang. Ingin masuk lubang tikus dan tutup dari dalam.
Malam itu, alih-alih hancur, Taeyang memilih latihan semalaman. Makanya belakangan, Jiyong bercanda, “Kalau ada yang bilang satu hal di mana Youngbae kurang, dia akan latihan hal itu seratus kali lebih lama di asrama.” Dia bukan sekadar pekerja keras, tapi perfectionist yang mau membongkar kesalahan dirinya sendiri.
Saat dikritik, dia sedih, iya, tersinggung, iya, tapi setelah itu dia mulai menganalisis, “Kenapa aku sakit hati?” “Ada bagian mana yang memang benar?” “Apa yang bisa kubenahi?”
Dia melihat masalah dari sudut pandang orang ketiga, sampai masalah yang tadinya abstrak bisa dipetakan. Setelah itu, baru ia susun cara untuk mengatasinya.
Tidak Lagi Berputar dalam Lingkaran Sama
Kalau kita satukan semua potongan cerita ini, ada satu benang merah bahwa Taeyang selalu memilih melompat, bukan berputar di lingkaran sama. Dia meninggalkan jalan aman sekolah yang berulang-ulang. Dia memberanikan diri melangkah ke dunia yang tidak menjanjikan apa pun.
Dia mengetuk pintu YG sendiri, dua kali. Dia memaksa dirinya bangun dari rasa malu dan menjadikannya bensin pembakar semangat.
“Orang akan tumbuh sesuai jalan yang ia pilih.”
Kalau Taeyang dulu memilih jalan seperti temannya yang cuma ingin punya warnet supaya bisa main game gratis, mungkin hidupnya akan biasa saja. Nyaman, mungkin. Tapi hatinya tidak akan pernah tahu rasanya menunggu telepon yang tak kunjung datang, berdiri di stasiun selama empat jam, dijadikan contoh buruk di depan adik-adik trainee, dan bangkit lagi, lagi, lagi.
“As much as possible, set your dreams higher. Because dreams give every person equal opportunities.”
Itu bukan motivasi kosong bagi Taeyang. Kalimat itu datang dari anak yang pernah menulis lirik rap dengan nyontek bunyi di telinga. Anak yang pernah sembunyi di bawah selimut supaya tidak ketahuan mendengarkan musik semalaman. Anak yang pernah berjalan sendirian ke kantor agensi karena tidak tahan menunggu lama.
Taeyang pernah berdiri di persimpangan, mau muter di lingkaran sama terus, atau lompat dan ke jalan liar? Kalau kamu, kamu mau jalan yang mana?
Tulisan ini bukan untuk bilang semua orang harus jadi artis, trainee, atau penyanyi. Bukan. Ini tentang cara kita memperlakukan mimpi. Apakah kita puas dengan mimpi yang kecil padahal potensi kita besar? Apakah kita nyaman berputar di lingkaran yang aman, walau hati terus gelisah?
Apakah kita berani mengetuk pintu yang tidak menjanjikan, hanya karena di belakangnya ada sesuatu yang betul-betul kita inginkan? Kamu mungkin punya versi lain dari Taeyang. Entah itu jalan menjadi peneliti, jalan menjadi penulis, jalan menjadi aktivis, jalan membuka usaha kecil, atau jalan lain yang belum ada contohnya di keluarga.
Apapun itu, pelajaran dari perjalanan Taeyang adalah jangan takut bermimpi lebih tinggi, jangan gampang puas dengan “yang penting aman” dan jangan berhenti di lingkaran yang sama kalau hatimu mengarah ke tempat lain. Kalaupun kamu memilih jalan liar, pilih dengan penuh tanggung jawab.

Leave a Comment