Pernah dengar sanitary landfill? Kalau belum, pasti kamu pernah dengar open dumping. Kalau kamu tinggal di kota mana pun di Indonesia, seperti saya di Bekasi nih, pasti tahu pemandangan klasik ini. Truk-truk sampah lewat menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kemudian sampai di sana menumpahkan muatan.
Trus, di sana sampah langsung menumpuk, tanpa batas, tanpa urutan, dan sepertinya tanpa “akhir” ya. Tak lama setelah itu, bau tak sedap menyeruak. Lalat beterbangan, mungkin ada asap tipis dari pembakaran, sementara anak-anak bermain tak jauh dari gunungan sampah itu.
Nah, itulah yang disebut sistem open dumping atau pembuangan sampah ke tempat terbuka. Dan sistem ini, meski sudah jadi kebiasaan lama di Indonesia, sesungguhnya sudah usang di dunia.
Dari Open Dumping ke Sanitary Landfill
Sebagaimana kita ketahui, Kementerian Lingkungan Hidup menargetkan tidak ada lagi open dumping di TPA mana pun di Indonesia pada 2026. Khusus Pulau Sumatra, agaknya Provinsi Sumatra Utara sudah mulai bergerak ke arah itu.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pronvinsi Sumatra Utara atau https://dlhsumaterautara.id/ saat ini sedang mendorong semua kabupaten/ kota untuk beralih ke sistem sanitary landfill atau pengelolaan sampah tertutup.
Dikutip dari laman Diskominfo Sumut, Kepala DLH Sumut menegaskan bahwa targetnya tahun 2026 tidak boleh ada lagi TPA terbuka di Sumut. Semua daerah harus menerapkan sistem tertutup.
Pertanyaan bagi orang awam sekarang, apa sih bedanya open dumping dengan sanitary landfill ini? Dan kenapa itu penting banget buat kita bahas?
Open Dumping Lebih Murah tapi Dampaknya Mahal
Sistem open dumping itu simpel banget. Sampah diangkut, dibuang ke satu tempat, dan dibiarkan begitu saja. Kadang dibaakr, kadang dibiarkan menumpuk.
Kalau hujan turun, air lindi atau cairan hitam dari tumpukan sampah itu meresap ke dalam tanah atau mengalir ke sungai. Kalau kering, debu dan baunya menyebar ke pemukiman.
Open dumping kelihatannya murah lantaran tidak butuh banyak alat, tidak butuh sistem khusus. Tapi kalau dihitung dampaknya, mahalnya luar biasa.
Air tanah tercemar, udara jadi kotor, dan masyarakat sekitar TPA sering menderita penyakit kulit dan pernapasan. Belum lagi risiko kebakaran akibat gas metana yang keluar dari tumpukan sampah.
Bisa dibilang, open dumping itu seperti “menyapu kotoran ke bawah karpet.” Kelihatannya beres, padahal tinggal tunggu waktu sampai masalahnya membesar.
Sanitary Landfill Lebih Aman dan Modern
Nah, di sinilah sistem sanitary landfill jadi solusi. Sistem ini sederhanya adalah sampah tidak dibiarkan terbuka, tapi ditimbun, dipadatkan, dan ditutup lapisan tanah secara berkala.
Mirip seperti kita membuat lapisan kue lapis. Setiap lapisan sampah tadi akan ditutup rapat oleh tanah sehingga bau tidak menyebar, air hujan tidak menembus dan mencemari tanah, gas metana dari pembusukan bisa dikumpulkan dan dimanfaatkan sebagai energi, lingkungan pun jauh lebih bersih.
Biasanya, lokasi sanitary landfill dilengkapi sistem drainase, pengolahan air lindi, serta pipa penyalur gas. Bahkan di beberapa negara, gas ini diubah jadi listrik atau bahan bakar rumah tangga.
Jadi, meski di permukaan terlihat seperti “gunung tertutup,” di bawahnya ada sistem teknologi dan rekayasa lingkungan yang bekerja dengan rapi.
Contoh Nyata dari Negara Tetangga
Biar lebih mudah membayangkannya, mari kita lihat bagaimana negara-negara tetangga di Asia Tenggara sudah melangkah duluan.
1. Bukit Tagar Landfill di Malaysia
Malaysia sudah meninggalkan sistem pembuangan terbuka sejak awal 2000-an. Salah satu contoh terbaik adalah Bukit Tagar Landfill di Selangor. Luasnya mencapai 700 hektare, dan setiap harinya menampung sekitar 2.000 ton sampah dari wilayah Kuala Lumpur dan sekitarnya.
Menariknya, gas metana di sana tidak dilepaskan begitu saja ke udara. Mereka punya fasilitas yang mengubahnya jadi pembangkit listrik tenaga biogas. Listrik ini kemudian disalurkan ke jaringan nasional dan mampu menerangi ribuan rumah. Jadi, dari tumpukan sampah, mereka menciptakan energi bersih.
Kawasan sekitar lokasi dijaga ketat. Tidak ada bau menyengat, tidak banyak lalat, dan air lindi diolah sebelum keluar dari lokasi.
2. Sanitary Landfill di Chiang Mai, Thailand
Thailand juga sudah lama meninggalkan sistem terbuka. Di Chiang Mai, misalnya, mereka menerapkan sistem semi-sanitary landfill, di mana sebagian gas metana dikumpulkan, dan lapisan tanah diberi geomembran untuk mencegah kebocoran.
Thailand di sini melibatkan komunitas lokal. Sebelum membangun landfill, pemerintah mengadakan edukasi besar-besaran: warga diajak memilah sampah organik dan anorganik dari rumah, supaya yang masuk ke landfill sudah lebih bersih dan mudah dikelola.
Pendekatan ini efektif. Selain mengurangi volume sampah, masyarakat juga merasa memiliki sistem pengelolaan itu.
3. Tragedi Payatas Landfill
Kamu mungkin masih ingat tragedi Payatas Landfill di Filipina tahun 2000, ketika longsoran sampah menewaskan lebih dari 200 orang. Tragedi itu jadi titik balik besar bagi negara tersebut.
Pemerintah Filipina langsung mereformasi sistem pengelolaan sampah, melarang open dumping dan beralih ke controlled landfill lalu sanitary landfill. Kini, di beberapa kota seperti Quezon City, sistem tertutup sudah jadi standar. Gas metana dikumpulkan untuk energi, dan area bekas landfill bahkan diubah jadi taman kota.
Sepenting Apa Sanitary Landfill?
Sekarang kita kembali ke Sumut. Provinsi ini punya 33 kabupaten/kota, dan sebagian besar masih memakai sistem open dumping.
Akibatnya, saat musim hujan, banyak titik rawan banjir akibat saluran air tersumbat sampah. Di beberapa tempat, tumpukan sampah juga sudah “menyentuh” permukiman warga.
Dengan sanitary landfill, air tanah jadi lebih aman, risiko longsor dan kebakaran berkurang, kualitas udara membaik. Lebih jauh lagi, sistem tertutup ini membuka peluang ekonomi.
Gas metana bisa jadi sumber energi. Sampah organik bisa diolah jadi kompos. Dan yang anorganik bisa didaur ulang di fasilitas terpisah.
Kalau semua misi https://dlhsumaterautara.id/ ini berjalan, Sumatra Utara bisa jadi contoh provinsi pertama di Sumatra yang benar-benar meninggalkan open dumping.
Mungkin 2026 akan menjadi titik bali Sumut, dari provinsi yang bergulat dengan sampah, menjadi provinsi yang mengubahnya menjadi sumber energi dan kehidupan.

Leave a Comment