Air asin dan lumpur mangrove sudah akrab di ingatanku sejak kecil. Setiap kali aku menginjakkan kaki di sana, selalu saja terlintas bayangan kampung ibuku di Mandiangin, Pasaman Barat, Sumatra Barat. Pada era 1980-an hingga 1990-an, kampung itu masih indah, dikelilingi rimbun bakau. Di sanalah aku mengenal bagaimana akar-akar yang menjuntai di air payau ini bisa menjadi pelindung bagi kehidupan ikan, kepiting, burung, dan manusia.
Sejak 2011, aku sering mengunjungi berbagai kawasan mangrove di Indonesia. Setiap tempat punya rasa dan kesannya sendiri. Di Baluran, Jawa Timur, aku pertama kali melihat hutan mangrove tumbuh berdampingan dengan sabana kering.
Kontras sekali. Udara panas, tapi kalau kita berada di bawah kanopi bakau, suasananya berubah teduh dan tenang. Burung kuntul putih beterbangan di atas rawa, air payau memantulkan langit biru yang nyaris tanpa awan. Keren banget.
Berbeda dengan hutan mangrove di Bali, terutama di kawasan Benoa dan Suwung. Di sana, mangrove menjadi ruang spiritual dan ekonomi sekaligus. Ada jalur titian kayu, papan edukasi, dan kelompok masyarakat yang menjual hasil olahan mangrove seperti sirup dan sabun alami.
Aku sempat duduk di sebuah dermaga kayu sambil mendengar seorang ibu bercerita bahwa hutan bakau itu dulu nyaris hilang karena reklamasi. Kini, mereka menjaganya seperti menjaga nyawa sendiri.
Lain lagi dengan mangrove di Kepulauan Seribu. Rasanya aneh, menemukan hutan mangrove di wilayah yang hanya berjarak beberapa jam dari hiruk-pikuk Jakarta.
Di Pulau Pramuka misalnya, mangrove tumbuh berdampingan dengan kehidupan manusia yang sibuk. Anak-anak sekolah berjalan di atas jembatan kayu, menyapa wisatawan yang datang untuk menanam bibit. Mereka menyebutnya “kelas lapangan.”
Namun setiap kali pulang ke Sumatera, aku selalu merasakan sesuatu yang berbeda. Hutan mangrove di pesisir timur Sumatra punya aroma yang lebih tajam, lebih “laut.” Sayangnya, banyak yang sudah menipis. Garis pantai mulai mundur.
Mangrove dan Krisis Iklim
Mangrove bukanlah pohon-pohon aneh yang tumbuh di lumpur asin. Mangrove adalah benteng terakhir antara daratan dan laut. Akar-akar tunjangnya menahan agar lumpur tidak hanyut, menahan agar abrasi tidak sampai menggerus desa-desa pesisir.
Banyak orang lupa, bahwa setiap satu hektare hutan mangrove bisa menyimpan karbon hingga lima kali lipat lebih banyak dibanding hutan tropis dan dataran tinggi. Pada masa perubahan iklim seperti sekarang ini, mangrove sejatinya adalah sekutu senyap kita dalam menahan laju pemanasan global.
Ibuku dulu sering bilang, “Bakau itu bukan cuma rumah ikan, tapi rumah kita juga.” Kalimat itu terasa sekali maknanya ketika sekitar 2012, ombak besar memicu abrasi pantai di Pasaman Barat. Lantaran kawasan mangrove-nya sudah banyak berkurang dipicu meluasnya pemukiman dan perkebunan sawit, banyak rumah warga pesisir mengalami kerusakan.
Sama halnya dengan Sumatra Barat, Sumatra Utara pun memiliki kawasan mangrove yang luas. Sayangnya, pada beberapa tempat yang hutan bakaunya hilang, garis pantai justru mundur.
Itulah kenapa tahun 2025 ini, pemerintah Provinsi Sumatra Utara melalui Dinas Lingkungan Hidup Sumatra Utara atau https://dlhsumut.org/ kembali menggencarkan rehabilitasi mangrove di dua kabupaten utama, Langkat dan Batubara. Batubara adalah salah satu titik rawan abrasi parah di pesisir timur Sumatera Utara, sementara Langkat memiliki kawasan mangrove yang masih cukup luas tapi tertekan alih fungsi lahan.
Krisis iklim bukan istilah asing bagi masyarakat pesisir. Mereka melihatnya setiap hari. Air pasang makin tinggi, cuaca makin tak menentu, dan hasil laut makin sedikit. Garis pantau bergeser hingga puluhan meter dalam dua dekade terakhir.
Mangrove di sini merupakan solusi ekologis dan adaptif. Riset global menunjukkan bahwa mangrove mampu menahan hingga 80% energi gelombang laut. Artinya, keberadaan mangrove bisa menekan kerusakan akibat badai, tsunami, dan kenaikan muka air laut. Selain itu, kemampuan mangrove menyerap karbon (carbon sink) menjadikannya bagian penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Sayangnya, menjaga mangrove tak semudah menanam bibitnya. Banyak program rehabilitasi yang gagal karena salah lokasi tanam, kurangnya perawatan, atau tidak melibatkan masyarakat. Karena itu, model yang kini dikembangkan pemerintah Provinsi Sumatara Utara menggabungkan pendekatan ekologis dan sosial.
Masyarakat diberi ruang, pendampingan, dan manfaat langsung. Dengan demikian, mangrove tidak lagi dianggap “milik pemerintah” tapi milik bersama yang harus dijaga.
Ekonomi Berbasis Mangrove
Mangrove bukan lagi sekadar pelindung pantai dari abrasi. Ia kini mulai dilihat sebagai sumber penghidupan berkelanjutan. Banyak kelompok masyarakat yang sudah memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari kawasan mangrove, tanpa harus menebang satu batang pun. Berikut beberapa contoh manfaat mangrove dari sisi ekonomi.
1. Sirup mangrove
Buah mangrove jenis Rhizophora dan Sonneratia dulu sering dibiarkan membusuk di tanah berlumpur karena dianggap tak berguna. Rasanya memang sepat dan getir di lidah. Tapi siapa sangka, di tangan-tangan kreatif ibu-ibu pesisir, buah yang dulu tak dipandang itu kini berubah menjadi produk bernilai tinggi, seperti sirup, dodol, hingga tepung mangrove.
Untuk membuat sirup mangrove, buah yang matang dipetik lalu direbus, disaring, dan dicampur dengan air gula serta sedikit jeruk nipis untuk menetralkan rasa sepat. Warnanya cokelat kemerahan alami, dengan rasa asam segar mirip campuran antara jambu dan salak. Kandungan antioksidan alaminya tinggi karena berasal dari tanin, vitamin C, dan senyawa fenolik yang baik bagi tubuh.
Selain menambah pendapatan, produk ini juga memberi kebanggaan tersendiri bagi perempuan pesisir. Pada beberapa desa di Langkat dan Batubara, kelompok ibu-ibu membentuk usaha bersama. Mereka menamai produknya sirup bakau atau nira laut.
Tak berhenti di situ, mereka juga mulai menjual dodol mangrove, manisan kering, dan tepung mangrove untuk bahan roti sehat. Produk ini mulai menarik perhatian wisatawan yang mencari oleh-oleh khas pesisir.
Dengan sedikit inovasi pada kemasan dan promosi digital melalui media sosial, produk olahan mangrove dari Sumatra Utara ini berpotensi menembus pasar wisata dan menjadi ikon kuliner hijau baru dari pesisir timur Sumatra.
2. Madu mangrove
Lebah jenis Apis dorsata (lebah hutan) dan Trigona (lebah kelulut) banyak bersarang di hutan mangrove, terutama di pohon Avicennia dan Sonneratia yang berbunga sepanjang tahun. Dari sarang-sarang alami inilah dihasilkan madu mangrove, berupa cairan kental berwarna cokelat tua hingga hampir hitam, dengan rasa khas yang tak dimiliki madu dari pegunungan.
Madu ini memiliki aroma lebih tajam dan rasa sedikit asin, pengaruh dari habitat mangrove yang berdekatan dengan laut. Saat dicicip, ada sensasi gurih yang khas di ujung lidah, berpadu dengan manis yang lembut. Ciri khas inilah yang membuat madu mangrove kian dicari, terutama di pasar herbal dan toko oleh-oleh alami.
Dari hasil uji laboratorium beberapa daerah pesisir Indonesia, madu mangrove terbukti mengandung antioksidan tinggi, antibakteri alami, dan senyawa fenolik yang baik untuk menjaga daya tahan tubuh. Karena itu, produk ini sering dijual sebagai madu kesehatan premium dengan harga lebih tinggi dari madu biasa.
Di Sumatra Utara, kawasan Pangkalan Susu dan Sei Lepan menjadi contoh sukses pengembangan budidaya lebah madu mangrove. Kelompok tani hutan di sana membuat stup kayu sederhana di pinggir hutan bakau agar lebah bisa bersarang dengan aman. Panen dilakukan secara tradisional, tanpa merusak sarang, agar koloni lebah tetap bertahan.
Setiap satu stup lebah Trigona bisa menghasilkan 0,8 hingga 1 liter madu per bulan, dengan harga jual di kisaran Rp200.000–Rp300.000 per liter di pasar lokal. Selain menambah pendapatan keluarga, kegiatan ini juga memperkuat ekosistem lantaran lebah membantu penyerbukan alami tanaman mangrove, sehingga regenerasi hutan berjalan lebih cepat.
Apalagi kalau diberi kemasan yang menarik dan dukungan pemasaran digital, pastilah madu mangrove berpotensi besar menjadi produk unggulan khas pesisir Sumatra Utara.
3. Nursery ground
Dari sisi perikanan, mangrove berperan sebagai “nursery ground” atau tempat asuhan alami bagi ikan, udang, dan kepiting untuk bertelur, tumbuh, dan berlindung dari predator. Siapa sangka, di bawah rimbun akar-akar bakau yang terendam air pasang, jutaan larva dan benih ikan hidup dan berkembang, menjadikan kawasan ini seperti “panti asuhan laut” yang sangat produktif.
Artinya apa? Ketika hutan mangrove terjaga, stok ikan di laut meningkat, dan hasil tangkapan nelayan pun ikut naik. Sebaliknya, ketika mangrove rusak, rantai makanan laut terganggu, populasi ikan menurun, dan nelayan kehilangan sumber penghidupan.
Di pesisir Langkat dan Batubara, masyarakat sudah lama hidup berdampingan dengan hutan bakau. Namun dalam beberapa tahun terakhir, mereka mulai menyadari bahwa menjaga mangrove berarti menjaga dapur mereka tetap mengepul. Dari kawasan ini, lahir berbagai produk perikanan bernilai jual tinggi.
Pertama, ikan belanak, kakap putih, dan kerapu bakau, yang tumbuh besar di perairan sekitar akar mangrove. Dagingnya lebih gurih karena habitatnya kaya nutrisi alami.
Kedua, udang windu dan udang putih, yang menjadikan akar mangrove sebagai tempat berlindung dari arus kuat dan predator. Udang hasil tangkap di kawasan bakau biasanya lebih sehat, bebas pakan kimia, dan berukuran besar.
Ketiga, kepiting bakau (Scylla serrata), yang kini menjadi primadona ekspor. Harga kepiting bakau hidup bisa mencapai Rp80.000–120.000 per kilogram di pasar lokal, dan jauh lebih tinggi jika dikirim ke luar negeri.
Keempat, kerang darah dan tiram, yang menempel di akar-akar mangrove dan membantu menyaring air laut, menjadikannya lebih bersih.
Di beberapa desa pesisir, nelayan kini tidak hanya menjual hasil tangkapan segar. Mereka juga mulai mengolah hasil laut menjadi produk siap saji seperti abon ikan, keripik kulit ikan, atau sambal udang mangrove yang dikemas modern. Dengan pelatihan kewirausahaan dan dukungan untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM), hasil laut dari kawasan bakau bisa menjadi sumber ekonomi kreatif baru.
4. Ekowisata mangrove
Potensi lainnya datang dari ekowisata edukatif. Kawasan seperti Tanjung Rejo di Kabupaten Deli Serdang dan Tapak Kuda di Langkat punya panorama mangrove yang indah dan mudah dijangkau dari Medan, hanya sekitar satu hingga dua jam perjalanan darat.
Dua kawasan ini kini mulai dikenal sebagai destinasi wisata alam berbasis konservasi, tempat wisatawan bisa menikmati keindahan hutan bakau sekaligus belajar tentang pentingnya menjaga ekosistem pesisir. Dengan sedikit investasi seperti pembangunan titian kayu sepanjang beberapa ratus meter, gazebo sederhana, dan papan informasi edukatif, hutan mangrove bisa disulap menjadi ruang wisata yang menarik.
Jalur titian kayu ini memungkinkan pengunjung berjalan di tengah rimbunnya mangrove tanpa merusak akar-akar di bawahnya. Setiap beberapa meter, dipasang papan nama spesies, mulai dari Rhizophora mucronata, Avicennia marina, hingga Sonneratia alba, lengkap dengan keterangan manfaat ekologisnya.
Selain menikmati pemandangan, pengunjung juga bisa mengikuti berbagai produk wisata unggulan, seperti:
Wisata Sambil Menanam
Pengunjung menanam bibit mangrove dengan panduan kelompok tani hutan, lalu diberi sertifikat digital yang mencatat lokasi tanam. Banyak komunitas anak muda dan perusahaan swasta mengikuti kegiatan ini sebagai bagian dari program tanggung jawab lingkungan (CSR).
Tur Perahu di Jalur Sungai Mangrove
Nelayan lokal mengantar wisatawan menyusuri hutan mangrove sambil menjelaskan fungsi ekologisnya. Di beberapa titik, wisatawan bisa melihat burung bangau, biawak, atau monyet ekor panjang yang mencari makan di antara akar bakau.
Kuliner Pesisir
Warga membuka warung sederhana yang menjual hasil laut segar seperti kepiting bakau, ikan bakar, atau sambal udang mangrove. Menu khas ini menambah daya tarik wisata dan memberi pemasukan langsung bagi masyarakat.
Pendidikan Lapangan
Sekolah-sekolah dari Medan dan Binjai sering membawa siswa untuk belajar langsung tentang ekosistem mangrove, daur hidup ikan, dan manfaat konservasi. Konsep ekowisata berbasis masyarakat ini membuka lapangan kerja baru, mulai dari pemandu wisata, pengelola perahu, penjual suvenir, hingga pengrajin olahan mangrove. Bahkan beberapa desa sudah mulai menjual produk cendera mata seperti gantungan kunci dari biji mangrove kering dan sabun alami dari ekstrak daunnya.
5. Batok arang mangrove
Pernah mendengar produk ini? Lebih dikenal sebagai briket kayu atau charcoal, batok arang mangrove kini mulai dilirik sebagai komoditas potensial dari kawasan pesisir. Produk ini dibuat dari kayu mangrove yang sudah mati alami atau tumbang, bukan dari penebangan hutan hidup.
Kayu tersebut dikeringkan, lalu dibakar perlahan dengan teknik pirolisis, proses pembakaran tertutup tanpa oksigen, hingga berubah menjadi arang padat berkarbon tinggi. Hasil akhirnya adalah briket hitam pekat dengan kepadatan tinggi, daya bakar stabil, dan sedikit asap.
Inilah yang membuat arang mangrove dikenal lebih tahan lama dan menghasilkan panas besar dibanding arang biasa. Banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, kuliner, restoran barbeku, hingga industri peleburan logam skala kecil.
Menariknya, arang mangrove dari Indonesia sudah menembus pasar ekspor. Di sejumlah desa pesisir di Sumatra, hasil arang ini dikirim ke Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan, digunakan sebagai bahan penyerap karbon (carbon absorber) dan bahan baku filter air alami.
Selain nilai ekspor yang tinggi, bisnis arang mangrove juga membuka lapangan kerja baru. Masyarakat bisa mengelola limbah kayu mangrove secara ramah lingkungan, sambil menjaga agar pohon hidup tetap dilindungi. Dengan pengelolaan yang bijak, produk sederhana ini bisa menjadi contoh nyata ekonomi hijau dari akar-akar bakau.
6. Bahan kosmetik alami
Tidak banyak yang tahu bahwa daun dan kulit batang mangrove sebenarnya menyimpan kekayaan biokimia yang luar biasa.
Dari hasil penelitian di beberapa perguruan tinggi kehutanan dan kelautan di Indonesia, ekstrak mangrove, terutama dari jenis Rhizophora apiculata, Avicennia marina, dan Bruguiera gymnorrhiza, terbukti kaya akan tanin, flavonoid, dan antioksidan alami. Senyawa ini memiliki kemampuan tinggi untuk menangkal radikal bebas, mengencangkan kulit, serta mempercepat regenerasi sel.
Beberapa kelompok perempuan di Sumatra sudah memulai usaha kecil berbasis bahan ini. Mereka mengekstrak daun dan kulit mangrove dengan cara sederhana, melalui perebusan dan penyaringan. lalu mencampurnya dengan minyak kelapa murni dan bahan alami lain seperti madu dan lidah buaya.
Hasilnya adalah sabun herbal alami beraroma khas laut, masker wajah antioksidan, serta lotion pelembap alami yang mulai dipasarkan di toko oleh-oleh dan e-commerce lokal.
Produk kosmetik berbasis mangrove ini bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga memiliki nilai jual tinggi karena tren konsumen kini bergeser ke produk hijau dan berkelanjutan (eco-beauty). Dengan dukungan pemerintah daerah, universitas, dan pelatihan teknologi sederhana, potensi serupa sangat bisa dikembangkan di Sumatera Utara, khususnya di daerah pesisir seperti Langkat, Batubara, dan Deli Serdang. Informasi selengkapnya bisa kamu baca di https://dlhsumut.org/
Menariknya, pengembangan ekonomi berbasis mangrove ini juga selaras dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Semakin banyak mangrove ditanam dan dijaga, semakin besar pula serapan karbon yang dihasilkan. Artinya, selain mendapatkan manfaat ekonomi, masyarakat juga ikut berkontribusi pada kelestarian bumi.
Kalau dikelola dengan bijak, hutan mangrove bisa menjadi “ATM alam” atau tempat kita mengambil manfaat tanpa harus merusaknya.

Leave a Comment