Kalau kamu lihat Danau Kerinci dari foto-foto wisata, semuanya tampak manis, ya. Airnya biru kehijauan, dikelilingi bukit-bukit hijau, ada perahu nelayan kecil di tengah danau, senja oranye, caption syahdu, selesai. Padahal, di balik tenangnya permukaan danau itu, sungai-sungai di hulu yang menjadikan danau ini sebagai hilirnya lagi rajin banget ngirimin… “cerita kotor.”
Apakah itu? Jawabannya adalah sedimen, limbah, sisa pupuk, sampai sampah rumah tangga yang pelan-pelan mengubah wajah Danau Kerinci sebagai danau kebanggaan Jambi https://dlhkerinci.org/struktur/.
Apa yang sebenarnya terjadi di hulu? Bagaimana “cerita kotor” itu sampai ke Danau Kerinci? Bagaimana dampaknya ke ekosistem dan kehidupan warga?
Sedikit pengenalan dulu biar kita kebayang skalanya. Danau Kerinci adalah danau terbesar di Provinsi Jambi, berada di ketinggian sekitar 783 mdpl, panjangnya kira-kira 15 km dengan lebar sampai 2,8 km, dan luas permukaan sekitar 4.200 hektare (ha).
Lokasinya strategis banget, di tengah Lembah Kerinci, diapit Pegunungan Bukit Barisan, dan jadi bagian penting dari sistem hidrologi yang terhubung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), salah satu kawasan konservasi paling berharga di Sumatra.
Untuk warga sekitar, Danau Kerinci bukan cuma tempat wisata. Danau ini jadi sumber air irigasi, jadi sumber perikanan tangkap dan budidaya (keramba jaring apung, jaring insang), penopang ekonomi (kuliner, penginapan, wisata perahu), dan tentu saja, bagian dari identitas Kerinci itu sendiri.
Masalahnya, segala aktivitas di sekeliling danau dan di sepanjang sungai-sungai di hulu tidak pernah datang tanpa jejak. Ada banyak sungai-sungai di Kerinci yang menjadikan Danau Kerinci sebagai hilirnya, seperti Batang atau Sungai Merao, Sungai Buai, Sungai Jujun, Sungai Lebo, Sungai Siulak, dan lainnya.
Di antara semua sungai ini, Batang Merao merupakan salah satu daerah aliran sungai (DAS) utama yang memasok air ke Danau Kerinci. Banyak anak sungai dan aliran air dari pegunungan mengalir ke Merao lalu ke danau.
Sungai Merao, Jalan Tol Semua “Kiriman” ke Danau Kerinci
Sungai Merao mengalir melewati permukiman, lahan pertanian, peternakan, aktivitas galian C (penambangan pasir & batuan), lalu bermuara ke Danau Kerinci. Beberapa penelitian kualitas air Sungai Merao menunjukkan bahwa status pencemarannya berada di kisaran “tidak tercemar” sampai “tercemar ringan.” Kalimat halus sih, “tidak parah, tapi jelas sudah mulai kotor.”
Sumber “kotornya” apa?
Tentu saja limbah rumah tangga, limbah peternakan, hingga limbah pertanian. Limbah rumah tangga contohnya air sabun, deterjen, sisa cucian, limbah kamar mandi.
Limbah peternakan, contohnya kotoran ternak yang dialirkan langsung atau hanyut saat hujan. Terakhir, limbah pertanian, contohnya sisa pupuk kimia dan pestisida dari kebun sayur, padi, dan komoditas lainnya.
Selain tiga limbah di atas, ada juga sedimen dari erosi. Tanah halus dari lereng-lereng yang gundul ikut masuk ke aliran sungai. Dan jangan lupa satu “pemain tambahan” berupa aktivitas galian C di sekitar Merao dan tepi Danau Kerinci yang mengubah struktur tebing dan bantaran sungai, membuat tanah lebih mudah longsor dan menambah beban sedimen yang akhirnya mengendap di danau.
Jadi, setiap kali hujan deras, Sungai Merao ini seperti kurir kilat yang mengantar paket ke Danau Kerinci. Paketnya bukan paket Shopee atau Tokopedia ya, tapi paket sedimen dan polutan.
5 “Cerita Kotor” yang Dibawa Sungai Merao ke Danau Kerinci
Selanjutnya, yuk kita jabarkan, ada lima hal utama yang dibawa sungai-sungai di hulu menuju hilir, yaitu Danau Kerinci.
1. Sedimen
Penelitian dan laporan pemerintah daerah menunjukkan bahwa Danau Kerinci mengalami sedimentasi yang cukup serius. Penyebab utamanya perubahan tutupan lahan di hulu dan sekitar danau lantaran hutan dan semak banyak dikonversi jadi lahan pertanian intensif dan permukiman.
Penyebab kedua, ada banyak vegetasi riparian (penyangga sungai/danau) hilang lantaran tepi danau dan sungai ditanami sayur sampai bibir air, atau dibiarkan terbuka. Penyebab ketiga, penambangan pasir/batuan (galian C) yang mengubah stabilitas tebing.
Akibatnya, setiap hujan besar, tanah tidak lagi dipegang akar pohon. Ia mudah longsor dan hanyut. Tanah itu kemudian masuk ke Sungai Merao, terbawa arus ke hilir, lalu mengendap pelan-pelan di dasar Danau Kerinci.
Dampaknya?
Danau jadi makin dangkal di beberapa titik. Daerah dangkal lebih cepat ditumbuhi gulma air (macem enceng gondok). Kapasitas tampung air menurun, risiko banjir di sekitar danau meningkat.
Logikanya, danau itu seperti baskom. Kamu terus-menerus menuang tanah ke dalamnya. Lama-lama, volumenya untuk air pasti berkurang.
2. Nutrien Berlebih
Limbah pertanian (pupuk nitrogen dan fosfor) plus limbah domestik kaya deterjen pelan-pelan mengubah komposisi kimia air Danau Kerinci. Sejumlah kajian menunjukkan indikasi eutrofikasi (danau yang makin kaya nutrien), yang memicu ledakan pertumbuhan gulma air dan fitoplankton.
Kita sudah lihat gejalanya, yaitu semakin banyak enceng gondok (Eichhornia crassipes) yang menutupi permukaan danau di beberapa area. Tanaman air lain seperti Hydrilla bahkan tumbuh padat di zona dangkal.
Kalau sesekali lihat enceng gondok hijau, mungkin kelihatan estetik. Tapi kalau sudah menutupi danau? Jelek dong.
Kapal/perahu susah lewat di Danau Kerinci. Kadar oksigen di air berkurang, ikan bisa mati massal. Proses pembusukan organik di dasar danau meningkat, menghasilkan gas dan bau, plus menambah beban sedimen organik lagi. Dan semua ini diawali dari “kiriman makanan berlebih” lewat Sungai Merao.
3. Limbah Keramba dan Perikanan Intensif
Danau Kerinci adalah sumber penghidupan banyak nelayan dan pembudidaya ikan. Keramba jaring apung (KJA) dan jaring insang menjadi tulang punggung ekonomi perikanan setempat.
Tapi penelitian tentang daya dukung danau menunjukkan, jumlah unit alat tangkap dan keramba yang ideal itu terbatas. Ada kajian yang menyebut kapasitas lestari hanya sekitar ratusan unit gillnet dan sekitar 2.480 unit keramba jaring apung, lebih dari itu, mulai bermasalah.
Kenapa?
Pakan ikan yang tidak termakan akan tenggelam ke dasar danau. Feses ikan menambah beban nutrien. Keramba terlalu padat menyebabkan oksigen terlarut turun, membuat ikan makin banyak sakit.
Dan ingat, nutrien dan bahan organik ini juga “dinyalakan” oleh kiriman dari Sungai Merao, gabungan dari pupuk dari hulu dan pakan dari danau, layaknya buffet all you can eat buat alga dan gulma.
4. Limbah Rumah Tangga
Di bantaran Sungai Merao dan tepi Danau Kerinci, masih banyak aktivitas mencuci pakaian, mandi, buang air, buang sampah langsung ke badan air. Ini dapat memicu peningkatan beban polutan organik dan bahan kimia rumah tangga.
Deterjen dan sabun membawa fosfat dan surfaktan. Kotoran organik membawa bakteri dan patogen. Semua ikut mengalir ke danau. Bagi ekosistem, air menjadi keruh, perubahan komposisi mikroorganisme, potensi penyakit berbasis air, dan lagi-lagi, tambahan nutrien untuk pertumbuhan alga.
5. Galian C dan “Luka” di Ruang Sungai
Aktivitas penambangan pasir dan batu (galian C) di sekitar Sungai Merao dan Danau Kerinci sering disebut dalam berbagai laporan sebagai salah satu faktor yang mempercepat erosi dan sedimentasi.
Logika sederhananya, tebing sungai yang digali jadi tidak stabil. Struktur dasar sungai berubah, aliran air makin agresif menggerus sisi-sisinya. Setiap kali debit meningkat (musim hujan), material lepas ini ikut hanyut.
Sedimen-sedimen inilah yang akhirnya terparkir di Danau Kerinci. Jadi, bukan cuma kebun di lereng yang salah urus, tapi juga cara kita memperlakukan tubuh sungai itu sendiri.
Dampak ke Danau dan Warga
Oke, sekarang kita tarik benang merahnya. Apa saja yang sudah dan akan terjadi kalau “cerita kotor” di Danau Kerinci ini dibiarkan?
1. Danau Makin Dangkal, Banjir Makin Gampang
Sedimentasi berarti kedalaman danau berkurang. Beberapa laporan lokal menyebut pendangkalan di zona-zona tepi danau yang dulu bisa dilayari, kini sudah dipenuhi tanaman air dan lumpur.
Kalau wadah air makin dangkal, konsekuensinya ketika hujan deras, danau lebih cepat meluap, daerah sekitarnya lebih sering tergenang, infrastruktur (jalan, rumah, kebun) di sempadan danau makin rentan.
2. Kualitas Air Turun, Biota Lokal Tertekan
Eutrofikasi bercampur limbah mengurangi kualitas air. Ini bisa terlihat dari meningkatnya kekeruhan, perubahan bau danau, perubahan komposisi spesies ikan (ikan-ikan yang butuh air jernih mulai kalah).
Ikan lokal yang sensitif bisa tergeser oleh spesies yang lebih toleran terhadap kondisi buruk. Nelayan pun merasakannya, jenis ikan bernilai tinggi makin sulit ditangkap, digantikan jenis yang nilai ekonominya lebih rendah.
3. Wisata Bisa Kalah oleh “Pemandangan Enceng Gondok”
Danau hijau oleh gulma mungkin tampak cantik sekilas, tapi untuk jangka panjang ini bisa membuat perahu wisata susah melintas, foto-foto “danau biru” makin jarang karena tertutup karpet hijau, wisatawan enggan datang kalau danau terlihat kumuh dan bau.
Pariwisata adalah salah satu tulang punggung ekonomi Kerinci. Kalau Danau Kerinci turun kelas, efek ekonominya berantai.
Jadi, ini salah siapa? Alam, warga, atau kebijakan?
Jawabannya adalah kombinasi. Warga yang membuang limbah sembarangan, iya. Petani yang pakai pupuk berlebih tanpa penyangga vegetasi, iya. Galian C yang semaunya menggaruk tebing sungai, iya.
Pengelolaan DAS yang lemah harus diperkuat. Penetapan sempadan sungai dan danau wajib ditegakkan. Izin galian C di wilayah yang semestinya jadi “ruang aman” sungai perlu ditinjau ulang. Fasilitas pengolahan limbah perlu ditingkatkan.
Danau Kerinci berada dalam lanskap penting di sekitar TNKS, seharusnya menjadi kawasan dengan pengaturan ketat soal tata guna lahan. Kalau kawasan sepenting ini saja dibiarkan setengah hati, kebayang tidak kondisi danau-danau yang lain?
Kalau Kita Mau Jujur, Apa yang Harus Dilakukan?
Jangan cuma mengeluh, tapi mari kita bahas apa yang semestinya bisa dilakukan, bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh kita sebagai warga.
1. Perlakukan Hulu Sungai Merao sebagai “Area Perawatan Khusus”
DAS Merao bukan sembarang sungai. Ini “leher botol” yang menentukan kesehatan Danau Kerinci. Hal yang semestinya dilakukan, anatra lain:
- Rehabilitasi lahan kritis di hulu dan sepanjang bantaran (penanaman kembali dengan vegetasi lokal).
- Zona sempadan sungai dan danau (misalnya 50–100 meter dari tepi air) harus bebas dari penambangan dan budidaya intensif.
- Pengawasan ketat terhadap aktivitas galian C di sepanjang Merao.
Kalau hulu tetap botak, kita cuma seperti orang yang mengelap lantai tapi membiarkan kran bocor di atasnya.
2. Atur Ulang Keramba dan Perikanan di Danau Kerinci
Daya dukung Danau Kerinci itu ada batasnya. Pemerintah daerah https://dlhkerinci.org/struktur/ semestinya:
- Menghitung dengan jelas kapasitas keramba dan alat tangkap yang aman untuk ekosistem.
- Membatasi izin keramba baru.
- Mendorong pakan yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
- Menyusun zonasi budidaya, area konservasi, dan area wisata.
Kasarnya, jangan sampai danau diperlakukan seperti kolam buangan pakan.
3. Bangun Sistem Pengelolaan Limbah Rumah Tangga
Ini mungkin terdengar membosankan dan “nggak Instagramable”, tapi justru di sinilah kuncinya.
- Sistem septic tank yang baik di permukiman sekitar danau & sungai.
- Fasilitas pengolahan air limbah komunal sederhana.
- Edukasi warga untuk tidak mencuci/deterjen langsung di badan air.
Kalau kita masih santai cuci motor, cuci karpet, buang oli dan deterjen ke sungai, jangan kaget kalau danau jadi tempat semua itu berkumpul.
4. Jadikan Danau Kerinci Lebih dari Sekadar “Spot Instagram”
Danau Kerinci harus dilihat sebagai:
- Laboratorium hidup tentang perubahan iklim, hidrologi, dan ekologi,
- Aset ekonomi jangka panjang,
- Ruang hidup yang sehat untuk generasi berikutnya.
Artinya, kerja bareng peneliti, komunitas lokal, dan pemerintah untuk monitoring kualitas air dan biodiversitas, melibatkan masyarakat dalam kegiatan bersih-bersih danau, mengembangkan wisata berbasis konservasi, bukan hanya “foto lalu pulang.”
Sungai Merao dan Danau Kerinci sebenarnya sudah “jujur” banget pada kita. Mereka menunjukkan gejala air yang makin keruh, tepian danau yang makin dangkal, gulma air yang makin liar, ikan yang komposisinya berubah, banjir yang makin sering. Itu semua adalah cara alam bilang, “Eh, ada yang salah dari cara kalian memperlakukan aku.”
Kita bisa saja terus menyebut ini “bencana alam” setiap kali banjir bandang atau longsor terjadi di sekitar Kerinci. Padahal, banyak bagiannya adalah bencana tata kelola.
Danau Kerinci punya potensi luar biasa sebagai jantung ekologis dan ekonomi Kerinci–Jambi. Tapi jantung ini lagi kerja lembur karena terlalu banyak “kolesterol” dari hulu.
Kalau kita sayang danau ini, kita perlu berhenti melihatnya hanya sebagai objek wisata di kalender meja, dan mulai melihatnya sebagai makhluk hidup. Perlakukan Danau Kerinci dengan baik.

Leave a Comment