Seungri, ex-member BIGBANG
Seungri, ex-member BIGBANG

Aku tahu, aku tahu… akan ada banyak pro kontra ketika kalian lihat foto Seungri nongol di thumbnail blog-ku kali ini. Udah kebayang banget komentar yang mungkin muncul.

“Ngapain sih bahas dia lagi?”

“BIGBANG itu OT3, titik!”

“OT4 masih mending lah, tapi OT5? No way.”

“Pelaku kejahatan kok masih di-up?”

Dan versi-versi pedas lainnya yang biasanya muncul dari timeline penuh debat. Tapi sebelum kalian menggulung lengan baju untuk berargumen, aku ingin tekankan satu hal, bahwa aku menulis ini bukan untuk minta Seungri balik ke BIGBANG. Bukan untuk glorifikasi. Bukan untuk membela. Bukan untuk menghapus kesalahannya.

Ini bukan tulisan nostalgia manis ala fanfic yang berharap “BIGBANG reunion OT5” ya. Nope. Tidak sama sekali.

Kalian tahu sejarah, kan? Zaman Perang Kemerdekaan saja, buku sejarah tetap mencatat nama jenderal VOC, gubernur kolonial, sampai tokoh-tokoh yang kelam sekalipun. Tokoh sejarah Jepang tetap mencatat nama-nama pemimpin selama masa romusha. Sejarah itu ditulis bukan karena kita mendukung tokohnya, tapi karena kita belajar dari perjalanan hidupnya.

Begitu juga tulisan ini. Aku menulis Seungri karena ada bagian dari kisah BIGBANG yang memang tidak bisa dihapus begitu saja. Suka atau tidak, munafik kalau kita bilang perjalanan BIGBANG dimulai dari tiga atau empat member saja. BIGBANG lahir dari lima kelopak bunga, lengkap dengan masa jatuh bangunnya. Apakah kita sepakat atau tidak dengan sosok-sosok di dalamnya, itu urusan lain.

Tulisan ini hadir dari sudut pandangku sebagai seseorang yang ingin melihat perjalanan seorang anak, bukan “Seungri si kontroversial” melainkan Lee Seung-hyun, si bocah Gwangju yang berkali-kali hampir gugur, tapi ngotot mengganti koma hidupnya dengan tanda seru.

Jadi, sebelum kalian mengira aku punya agenda tertentu, please yaa… Baca dulu. Resapi dulu. Dan kalau pun kalian masih tidak suka, itu hak kalian sepenuhnya. Aku hanya ingin menulis sejarah sebagaimana adanya. Tanpa fanatisme, tanpa romantisasi, tanpa membenarkan atau menutupi apa pun.

Dan dari situ, mungkin… kita semua bisa melihat bahwa perjalanan seseorang itu tidak pernah sesederhana headline berita online. Aku menyarikan tulisanku ini dari buku Big Bang – Shout Out To The World!

Anak yang Jatuh Cinta pada Panggung

Suatu hari, seorang anak Gwangju bernama Lee Seung-hyun, yang dunia kenal sebagai Seungri, pernah mengucapkan kalimat ini. “Please erase the comma inside your heart and replace it with an exclamation mark.” Artinya kurang lebih begini, “Hapus koma di dalam hatimu, ganti dengan tanda seru.”

Menariknya, sebelum dia berani mengucapkan kalimat seoptimistis itu, hidupnya sendiri dipenuhi koma. Mulai dari koma ragu, koma gagal, koma malu, koma hampir berhenti. Tapi entah bagaimana, di setiap tanda koma itu, dia selalu memilih mengubahnya jadi tanda seru.

Semuanya dimulai waktu kelas 7, Seung-hyun datang ke sebuah acara sekolah. Ada sekelompok orang naik ke panggung, pakai kostum seragam, dan mulai menari. Di kursi penonton, anak bernama Seung-hyun itu langsung yakin bahwa itu adalah hal yang ingin dia lakukan.

Mimpi yang bikin jantungnya berdebar sampai rasanya mau jebol. Esok harinya, tanpa banyak mikir, Seung-hyun datang ke Yangnim History and Culture Village (YMCA) di Gwangju, tempat para penari itu biasa latihan.

“Bisa nari?” tanya para senior di sana.

“Belum. Tapi aku akan berusaha sangat keras. Dan aku percaya aku bisa,” jawabnya.

Dia nggak punya koreografi. Nggak punya teknik. Yang dia punya cuma keberanian buat kelihatan konyol. Dia gerakin badan seadanya mengikuti musik. Mungkin senior-senior di sana pada bilang, “Ini anak ngapain, sih?”

Tapi justru dari kegigihan polos itu, para senior melihat ada kemauan dan kesungguhan dalam diri Seung-hyun. Dia diterima. Beginilah lahirnya Seungri si penari, jauh sebelum dunia mengenalnya sebagai idol.

Dari Bocah yang Cuma Numpang Nari Jadi Tulang Punggung Tim

Begitu masuk tim tari di YMCA, hidup Seung-hyun berubah total. Pulang sekolah dia nggak lagi main PS atau nongkrong di warnet, tapi latihan 4,5 jam di ruang latihan yang “serem.”

Pas di kelas, dia menghafal gerakan di luar kepala. Pas jam istirahat, dia latihan di belakang kelas, sampai guru-guru gemas karena murid yang satu ini lebih hafal koreografi daripada rumus matematika.

Tiga bulan berjalan, tim tarinya goyah. Hampir bubar. Nggak ada yang bisa buat koreografi. Semangat turun. Semua orang mulai berpencar. Seung-hyun, yang saat itu masih dianggap junior, tiba-tiba maju.

“Hyung-deul, percaya sama aku. Kasih aku beberapa hari, biar aku yang bikin koreografi.”

Reaksinya? Ditertawakan. “Loh, kamu baru belajar basic, mau bikin koreo?”

Tapi Seung-hyun nggak mundur. Dia nonton berbagai video musik di TV, mengamati gerakan grup-grup dance lain, nyatet ide, nyusun gerak demi gerak. Tekanan di pundaknya besar. Kalau gagal, bukan cuma koreografi yang hancur, tapi juga kepercayaan hyung-hyungnya.

Beberapa hari kemudian, dia tunjukkan hasilnya. Cukup untuk bikin teman-temannya bilang, “Bagus. Kita pakai gerakan ini.” Tim itu mereka beri nama Il Hwa. Mereka ikut sebuah acara, tampil di panggung besar, dilihat banyak tim dance lain yang reputasinya lebih tinggi. Seung-hyun nggak berani bermimpi menang. Targetnya cuma satu, jangan malu-maluin.

Rupanya keajaiban kecil suka datang ke orang yang nekat. Saat pengumuman pemenang, nama Il Hwa disebut sebagai juara pertama. Pas menerima hadiah di atas panggung, lutut Seung-hyun lemas. Dia senang, tapi mengingat semua perjuangannya, dari grup hampir bubar, diremehkan, memaksa diri sendiri jadi koreografer dadakan, tiba-tiba kemenangan kali itu terasa sangat nyata.

Sejak hari itu, Seung-hyun bukan lagi anak random di pojokan, tapi “Lee Seung-hyun, anak yang punya mimpi dan berani berjuang untuk itu.”

Mabuk Pujian, Tersadar Dia “Bukan Siapa-Siapa”

Setelah menang satu lomba, hidup Seung-hyun berubah lagi. Il Hwa mulai punya fans. Di jalan, orang mengenali mereka. Undangan tampil mengalir. Fan cafe punya ribuan anggota. Mereka bahkan dapat kontrak, dengan penghasilan tetap setiap bulan.

Untuk ukuran anak yang baru masuk SMA, uang itu gede banget. Seung-hyun bisa traktir teman, makan enak, main tanpa mikir. Dalam hati, pelan-pelan muncul ilusi, “Apa hidup bakal begini terus ya? Santai, tampil di sana-sini, uang masuk, terkenal…”

Tapi yang namanya hidup jelas nggak gampang. Suatu hari, Seung-hyun dapat telepon dari Seoul. Manajer yang melihat performanya mengajaknya ikut program TV “Battle Shinhwa.” Bukan cuma hadiahnya yang besar, tapi exposure-nya juga besar. Masuk TV nasional loh.

Seung-hyun terbang ke Seoul. Begitu mendarat di sana, barulah dia merasa tertampar. Di Seoul, dia ternyata bukan “anak hebat dari Gwangju,” Dia cuma bocah kampung yang baru nyentuh panggung besar. Tariannya yang dulu dipuji, di kota ini terasa standar banget. Suaranya, yang jarang dia pikirkan, ternyata lemah banget.

Seung-hyun menonton video Rain, mengamati penyanyi-penyanyi favoritnya, meniru gaya mereka, nyatat detail, berharap bisa menyerap sesuatu. Tapi hasilnya nggak secepat itu. Komentar juri dingin banget pas awal-awal battle. Beberapa penilaian terasa tidak adil.

Satu episode bahkan menampilkan Seung-hyun tertidur dalam perjalanan, dan itu kena devil’s cut, seolah-olah dia anak malas. Seung-hyun protes, bilang itu cuma selingan biar lucu. Tapi di TV Korea, bahkan sampai sekarang pun, framing adalah segalanya.

Lalu datang babak paling menyakitkan, yaitu eliminasi. Pulang ke Gwangju, bukannya disambut pelukan, Seung-hyun malah disambut ejekan.

“Eh, ini dia anak yang nggak bisa nyanyi itu.”

“Kayaknya kamu nggak bakat jadi penyanyi deh.”

Di jalan pulang, Seung-hyun nangis seperti anak kecil. Meski begitu, dia berjanji ke dirinya sendiri. “Aku akan tunjukkan suatu hari nanti. Aku bukan orang gagal seperti yang kalian bilang.” Kalimat itu yang nanti akan mengantarnya ke audisi YG Entertainment.

Dari Anak “Biasa Saja” Jadi Trainee di YG

Begitu masuk YG, Seung-hyun tersadar bahwa dunia yang tadinya ia anggap “keras” ternyata baru pintu depannya saja. Di dalam, sudah ada empat trainee keren, macam G-Dragon dan Taeyang, yang latihan selama enam tahun. Ada Daesung dengan vokal cerahnya. Ada T.O.P dengan rap dan suara rendahnya. Mereka bukan cuma jago, tapi punya aura. Di mata CEO YG, nilai awal Seungri adalah menyanyi 50 persen, menari 50 persen. 

“Besok jadikan dua-duanya 100,” kata Yang Hyun-suk.

Kedengarannya keren, padahal mah artinya, “Kamu belum cukup bagus.” Dalam program “BIGBANG Debut Documentary,” semua latihan mereka direkam, dievaluasi, dan ditempel di pintu ruang latihan berisi skor tiap trainee. Skor Seungri sering kali paling rendah. Pernah sekali dia dapat 7 dari 100.

Bayangkan, anak muda yang sudah punya reputasi “anak yang gagal di Battle Shinhwa” lalu sekarang tertempel rapor merah YG di depan semua orang. Pada titik itu, Seung-hyun mulai lebih sering bicara ke diri sendiri untuk membangun mental bajanya.

“Seung-hyun ah, nggak apa-apa. Coba lagi.”

“Aku maknae. Masih muda. Kalian tunggu aja, aku bakal bikin kalian kaget.”

Seung-hyun belajar bahwa kalau kamu sendiri nggak suka dirimu, orang lain makin nggak punya alasan buat percaya kamu. Jadilah sejak saat itu, di depan banyak orang, dia suka bercanda, berusaha akrab dengan semua orang. Di belakang, dia latihan sebelum fajar, menyanyi di setiap kesempatan, menambah jam terbang diam-diam. Hingga suatu hari datanglah hari yang benar-benar memutus semua mimpinya.

Hari di Mana Namanya Tidak Dipanggil

Musim panas 2006, setelah setahun masa survival BIGBANG tibalah saat pengumuman nama-nama anggota. Nama demi nama dipanggil, mulai dari Kwon Ji-yong (G-Dragon), Dong Young-bae (Taeyang), Kang Dae-sung, dan Choi Seung-hyun (T.O.P). Lalu… selesai.

Nama “Lee Seung-hyun” tidak disebut. Detik itu, Seungri bukan cuma kecewa. Dia kosong. Semua yang sudah ia rakit dari Gwangju, Battle Shinhwa, hingga ke YG, seolah runtuh. Dia tidak menangis, bahkan air mata pun seperti bingung harus keluar atau tidak.

Yang tersisa hanya satu kalimat pedas dari Yang Hyun-suk, “Aku tahu kamu berbakat, kamu penari yang sangat baik. Tapi aku sedang memilih penyanyi, bukan penari. Vokalmu belum cukup.”

Logis, tapi menyakitkan. Kemudian, datang satu “pintu kecil” yang mungkin, buat orang lain, dianggap sama saja dengan pintu tertutup. “Kalau kamu masih mau mencoba, kamu boleh latihan sendiri setelah para member BIGBANG selesai. Tapi kemungkinanmu terpilih kembali… kurang dari 10%.”

Kurang dari 10%. Alias secara manusiawi ya itu hampir mustahil. Tapi buat Seung-hyun, angka itu bukan ancaman, melainkan tantangan. “Berarti belum nol. Selama belum nol, aku gas.”

Masalahnya, setelah “gugur” dari line-up, Seung-hyun sudah tidak bisa tinggal di dorm YG lagi. Dia terlalu muda untuk sewa kamar sendiri, tidak mau merepotkan orang tua. Jadi, Seung-hyun minta izin tidur di apartemen manajer. Dia memohon, “Kasih aku tempat buat pulang dan bangun lagi keesokan harinya.”

Biar Cuma 10 Persen, Seung-hyun Terus Berlari

Seung-hyun cuma punya waktu seminggu untuk meyakinkan CEO YG. Selama seminggu itu pula, dia hampir tidak punya waktu buat mengasihani diri sendiri. Dia pilih satu lagu, mendengarkannya ratusan kali. Dia menyanyi di mana pun, entah itu di ruang latihan, setelah semua hyung selesai, di jalan, meski orang melirik aneh dan menyuruhnya diam. Di rumah manajer, tanpa peduli dianggap berisik.

Partitur lagunya penuh coretan, catatan kecil, ide-ide cara menyampaikan emosi. Tidak ada lagi ruang kosong di kertas. “Di mata orang mungkin aku terlihat seperti orang gila. Tapi suatu hari, tepuk tangan akan datang ke ‘orang gila’ yang percaya pada apa yang ia lakukan.”

Akhirnya, seminggu berlalu.

Hari penentuan tiba. Seung-hyun masuk ke ruangan Yang Hyun-suk dengan pakaian yang dipilih khusus oleh para hyung. Tapi begitu berhadapan dengan CEO, semua kata-kata yang sudah dia rangkai lenyap. Tubuh kaku. Otak blank.

Sampai Yang Hyun-suk menatapnya dan bilang, “Tunjukkan energimu, Lee Seung-hyun. Kamu mau kerja kerasmu hilang begitu saja?”

Seung-hyun memaksa dirinya maju, menarik napas, dan mengeluarkan “kartu misteri” berupa lima alasan kenapa dia harus dipilih. Dia bilang begini.

“Alasan pertama, aku adalah orang yang paling cocok jadi maknae grup.”

“Kedua, aku punya pengalaman panggung dan koreografi, bisa bantu di sisi performance.”

“Ketiga, hyung-hyung pakai wajah ganteng dan kuat buat menahan fans. Aku bisa menahan fans dengan wajahku yang imut dan lugu.”

“Keempat, aku punya kepercayaan diri. Di mana pun aku berada, aku percaya diri dengan cara bicara dan penampilanku.”

Lalu Seung-hyun berhenti sejenak.

“Alasan kelima… aku tidak punya.”

Hening.

“Tapi kalau hyung kasih aku kesempatan, aku tidak akan membuatmu menyesal. Aku akan menunjukkan potensi yang belum sempat kamu lihat dan mengejutkan semuanya.”

Setelah itu, Seung-hyun menyanyi. Selama beberapa menit, dia memeras hasil tiga tahun latihan ke dalam satu penampilan. Bajunya basah oleh keringat. Tapi begitu keluar ruangan, dia merasa lega. “Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Selebihnya bukan bagianku.”

Seminggu kemudian, hal yang nyaris mustahil itu terjadi, Seung-hyun diterima kembali sebagai anggota BIGBANG. Itulah awal mula dia diberikan nama Seungri yang artinya “merdeka” atau “orang yang meraih kemenangan” meski di detik-detik terakhir.

Fear Is Nothing

Ada dua gambar yang menempel di kepala Seungri. Pertama, kaki Park Ji-sung, pesepakbola Korea, yang penuh memar dan luka. Kedua, seekor ayam di TV… yang bisa terbang dari satu pohon ke pohon lain.

Kaki Park Ji-sung mengingatkan dia bahwa prestasi besar selalu meninggalkan bekas sakit. Lukanya sendiri sewaktu latihan dan jatuh, ia bayangkan sebagai “darah baru di kakinya” bukti bahwa dia sedang tumbuh.

Lalu ada ayam yang hidup di hutan, kehilangan keluarganya karena diserang hewan lain. Karena tuntutan bertahan hidup, ayam itu memaksa dirinya belajar terbang. Gagal berkali-kali. Jelaslah, ayam kan sejatinya jarang terbang. Tapi pelan-pelan, dia berhasil. Sampai akhirnya, anak-cucunya menganggap terbang itu normal, karena dari kecil sudah melihat “nenek ayam” terbang.

Dari situ, Seungri menyimpulkan dirinya. “Aku dulunya cuma ayam biasa yang punya sayap tapi nggak tahu cara terbang. Sekarang, aku lagi belajar terbang setinggi mungkin, meski peluangnya cuma 0,01%.”

Dan lahirlah jargon pribadinya, “Fear is NOTHING.” Takut itu tetap ada. Dia bukan robot. Tapi buat dia, yang lebih menakutkan adalah menyesal karena tidak mencoba.

Anak Orang Biasa dengan Luka Tak Biasa

Kalau kamu pikir Seungri lahir dari keluarga yang selalu susah, salah. Waktu kecil, hidup keluarga Seungri cukup mapan. Ayahnya pemain golf profesional, penghasilan dua kali lipat pekerja biasa. Ibunya juga bekerja. Rumahnya ramai tawa. Apa yang dia mau, hampir selalu bisa didapat.

Lalu krisis datang. Ayahnya ditipu partner bisnis soal perlengkapan golf. Tabungan seumur hidup ayahnya lenyap. Rumah dijual, utang menumpuk. Telepon rumah dipenuhi suara penagih utang.

Seungri kecil menyaksikan ayahnya yang dulu gagah berubah jadi pria yang mabuk hampir tiap malam. Pagi hari, ia melihat ibunya membersihkan puntung rokok dan botol-botol kosong, diam-diam menahan lelah. Di tengah kehancuran itu, satu hal tidak berubah, yaitu cara orang tuanya memperlakukannya.

“Lakukan apa pun yang kamu mau. Kami akan mendukung. Yang penting, kalau sudah mulai, jangan berhenti di tengah jalan.”

Mereka tetap mengusahakan seragam terbaik untuk Seungri, bekal terbaik untuk Seungri, alat belajar terbaik untuk Seungri. Di balik mata yang sembab mereka, ayah dan ibu Seungri selalu menyambut putranya dengan senyum.

Seungri melihat itu, dan dalam hati diam-diam berjanji, “Aku harus membuat mereka bahagia lagi. Suatu hari, aku yang akan membalik keadaan.”

Mimpinya bukan jadi presiden atau ilmuwan, tetapi “jadi anak yang bisa membayar kembali kepercayaan orang tuanya”.

Fisik Ambruk, Hati Tetap Nggak Menyerah

Setelah debut dengan BIGBANG, perjuangan tidak selesai. Justru baru mulai. Akhir 2007, Seungri cedera cukup parah dua kali. Pertama, keseleo cukup berat saat latihan untuk acara penghargaan musik. Konser besar sudah di depan mata. Dia minum obat pereda sakit, memaksa tetap tampil panggung demi panggung.

Kedua, saat konser, kembang api panggung menyambar wajahnya. Dia kaget, tapi bertahan. Setelah turun panggung, dia bilang ke semua orang, “Aku nggak apa-apa. Jangan khawatir.”

Padahal, tubuhnya sudah di ambang batas. Di belakang panggung, Seungri pingsan dan tersadar di rumah sakit, ditemani orang tua dan staf. Pertanyaan pertamanya bukan soal dirinya, tapi “Konsernya gimana? Jalan terus?”

Waktu tahu konser tetap berlanjut tanpa dirinya, Seungri menangis. Dia merasa gagal berada di panggung yang ia cintai dan merasa menyusahkan keempat saudaranya.

Dari situ, Seungri belajar. “Kalau aku benar-benar mencintai diriku, aku juga harus bertanggung jawab menjaga tubuhku supaya bisa bertahan di panggung lebih lama.”

Self love buat Seungri bukan “self reward jalan-jalan,” tapi disiplin diri untuk memperkuat fisik, sama seriusnya seperti melatih vokal dan tarian.

Belajar Menikmati Kritik

Seungri punya satu prinsip menarik. “Kesalahan sekali masih wajar, dua kali berarti kegagalan.” Saat awal debut, dia pernah tampil di sebuah talkshow. Mood-nya lagi jelek, wajahnya datar, jarang bicara. Setelah tayang, netizen langsung memprotesnya.

“Ajari Seungri sikap yang benar!”

Yang Hyun-suk memanggilnya dan bilang, “Kalau kamu saja nggak bisa mengendalikan ekspresimu, bagaimana kamu bisa menyentuh hati orang lewat suara? Di panggung, kamu bukan ‘manusia biasa yang lagi bad mood,’ kamu adalah penyanyi.”

Jleb.

Sejak hari itu, Seungri memutuskan untuk tidak defensif terhadap kritik. Dia anggap kritik sebagai cermin. Sakit, iya. Tapi tanpa cermin, kamu nggak tahu di mana letak noda di wajahmu, ya kan?

Makanya, Seungri tidak pernah menutup telinga dari komentar pedas. Dia terima semua kritik juga masukan dari hyung-hyungnya. Dia baca, dia olah, dia pakai sebagai bahan bakar. Dia menyebut dirinya seperti “monster kecil” yang justru makin kuat setiap kali dikritik.

Ditawari Berkarier Solo

Suatu malam, di sebuah acara makan malam, Yang Hyun-suk tiba-tiba bilang, “Seungri, bikin koreografi satu tarian. Setelah BIGBANG mulai aktivitas di Januari, kamu akan punya kegiatan solo.”

Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Seungri kaget, senang, takut, dan nggak percaya dalam satu waktu. Untuk pertama kalinya, namanya akan berdiri sendiri di panggung, bukan sebagai “maknae BIGBANG” tapi “Seungri” saja.

Bersamaan dengan itu, Seungri juga dapat peringatan, “Kamu cuma punya satu kesempatan. Kalau gagal, belum tentu ada yang kedua.”

Jadi selain euforia, ada beban besar. Kalau ia tampil buruk, bukan cuma dirinya yang jatuh, tapi bisa menyeret nama BIGBANG.

Seungri menerima tantangan itu. Di luar solo musik, dia juga masuk ke dunia musikal “Sonagi,” main film, dan menjadi MC. Alasannya mencoba itu semua adalah dia ingin menguji kapasitas dirinya. 

Seungri mau lihat di mana batas dirinya? Apa yang sebenarnya paling cocok buatnya? Sejauh apa ia bisa menyentuh berbagai jenis penonton?

Ketika melihat kakek-nenek berdiri memberi tepuk tangan setelah “Sonagi,” Seungri merasa sesuatu yang beda dari konser idol biasa. Capek? Jelas. Waktu tidur minim, kadang makan pertama jam 3 pagi. Tapi anehnya, dia merasa bahagia di tengah capek itu.

“Rasa sakit itu tanda aku lagi berusaha.”

Bilang ke Diri Sendiri, “Seungri, Aku Suka Kamu.”

Ada satu kebiasaan yang agak lucu tapi justru jadi kunci happiness Seungri. Dia sering bicara ke dirinya sendiri.

“Seung-hyun ah, kamu bisa.”

“Seungri ah, aku suka kamu.”

Mungkin ini terdengar aneh buat sebagian orang. Tapi buat dia, ini mantra realistis. Cara untuk mengingatkan diri bahwa sebelum menuntut pengakuan orang lain, dia harus dulu berdamai dan percaya pada dirinya sendiri.

Dia tahu, talent orang lain mungkin bawaan lahir. Jalan mereka mungkin berupa lari cepat, sementara dia lebih seperti ayam yang baru belajar terbang pelan-pelan. Tapi selama sayap itu terus digerakkan, setiap hari sedikit lebih kuat, dia percaya akan ada titik di mana dia tidak lagi hanya melompat, tapi benar-benar terangkat dari tanah.

Kadang, bedanya orang yang “biasa-biasa saja” dan orang yang “mengejutkan dunia” itu cuma satu, yaitu berapa kali dia memilih mengganti koma dalam hidupnya dengan tanda seru.

Share:

Leave a Comment