Orangutan Tapanuli di ambang kepunahan
Orangutan Tapanuli di ambang kepunahan

Kalau ada satu tempat di Indonesia yang menyimpan paradoks antara megahnya kehidupan dan rapuhnya masa depan, maka Tapanuli Tengah https://dlhtapanulitengah.org/program/ adalah salah satunya. Wilayah ini di permukaan tampak seperti daerah tropis biasa. Bukitnya hijau, sungai berkelok, dan kampung-kampung yang hidup dengan ritme alam.

Semakin kamu mendekat, semakin jelas satu kenyataan pahit bahwa kawasan yang penuh kehidupan ini sebenarnya sedang berdiri di bibir krisis ekologis. Dan di tengah semua itu, berdirilah Ekosistem Batang Toru, sebuah bentang hutan yang tidak hanya menjadi hulu bagi sungai-sungai besar, tetapi juga menjadi rumah bagi makhluk yang keberadaannya lebih langka daripada unicorn, lebih rapuh dari telur burung di pinggir tebing.

Makhluk itu adalah orangutan Tapanuli, si “kera besar paling langka di dunia,” satu-satunya spesies orangutan yang masih bertahan hanya di satu titik bumi ini, bernama Sumatera Utara.

Dalam dunia konservasi, kita mengenal istilah Key Biodiversity Area (KBA), wilayah yang kalau hilang, maka hilang pula sebagian besar kekayaan hayati yang tidak bisa digantikan. Batang Toru adalah salah satunya. Dan Tapanuli Tengah adalah salah satu gerbang terpentingnya.

Namun, seperti banyak kisah ekologis di negeri ini, Batang Toru dan Tapanuli Tengah bukan hanya tentang keindahan. Ini adalah kisah perlawanan terhadap erosi, pembukaan lahan, fragmentasi habitat, ekspansi sawit, dan kepentingan ekonomi yang kerap menggerus masa depan spesies yang tidak punya suara. Dan di sinilah kita harus mulai bicara.

Batang Toru, Rumah yang tidak Boleh Hilang

Coba bayangkan sebuah hutan hujan tropis yang berdiri di tiga kabupaten, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan tentu saja Tapanuli Tengah. Ini bukan hutan sembarangan, tetapi hutan terakhir di dunia yang menjadi rumah bagi sekitar 577–760 orangutan Tapanuli.

Angka kurang dari 1000 ekor itu bukan angka populasi harian, melainkan total jumlah total spesies, seluruh dunia, satu-satunya yang tersisa. Laporan Population and Habitat Viability Assessment (Penilaian Kelangsungan Hidup Populasi dan Habitat) 2016 menyebut bahwa populasi ini tersebar dalam dua metapopulasi besar, yaitu Blok Batang Toru Barat (400–600 individu) dan Blok Batang Toru Timur (150–160 individu).

Ditambah titik-titik kecil seperti Cagar Alam Sipirok, Lubuk Raya, dan Sibualbuali yang masing-masing hanya menyisakan kurang dari 50 individu. Dengan kata lain, bila satu bukit rusak, satu lembah dibuka, satu perusahaan masuk, sebagian besar genetik spesies ini bisa punah tanpa perlu menunggu kiamat.

Ketika Tapanuli Tengah Beri Kejutan

Akhir 2024, ada kabar yang membuat dunia konservasi tercengang. Tim Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL–OIC) menemukan habitat baru orangutan Tapanuli di hutan rawa gambut Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut, Tapanuli Tengah. Lokasinya sekitar 32 kilometer (km) barat Batang Toru, di areal hutan gambut yang sebelumnya tidak pernah tercatat dalam PHVA 2016.

Dan yang ditemukan bukan hanya sarang. Dalam survei lanjutan 2025, mereka melihat langsung induk dan anak orangutan Tapanuli bergerak di antara kanopi gambut yang makin menyempit.

Temuan ini punya dua sisi. Di satu sisi adalah kabar baik bahwa populasi orangutan Tapanuli tidak sesempit yang kita kira. Di sisi lain adalah kabar buruk karena hutan ini hanya sekitar 1.200 hektare (ha), dan kini tinggal kurang dari 1.000 har karena ekspansi sawit yang ganas seperti api menyambar ladang kering.

Hutan yang seharusnya jadi benteng terakhir sebuah spesies malah diberi status APL (Areal Penggunaan Lain), istilah manis yang biasanya berarti “bisa dibuka kapan saja kalau izinnya keluar.”

Ketika YOSL–OIC meminta pemerintah menghentikan pembukaan lahan sementara, itu karena fragmentasi sekecil apa pun bisa memutus jalur genetik yang vital untuk kelangsungan spesies ini. Bayangkan kalau satu jalur pergerakan hilang, anak orangutan tidak bisa berpindah, kelompok terisolasi, inbreeding meningkat, kelangsungan spesies runtuh. Semuanya bisa terjadi hanya karena satu keputusan tata ruang.

Hutan Tapanuli Tengah Diperas dari Tiga Arah

Kerusakan habitat orangutan Tapanuli bukan satu sebab satu akibat. Ini seperti simpul kusut yang ditarik dari tiga arah.

1. Deforestasi dan Fragmentasi Habitat

Hutan primer dipreteli menjadi petak-petak kecil, seolah sedang dipotong menjadi puzzle yang tidak lagi dapat disatukan. Serge A. Wich, peneliti orangutan sejak 1993, pernah melihat hutan Lumut pada 2001 saat masih hijau dalam citra satelit. Ketika ia tiba, sebagian besar hutan sudah lenyap dan diganti kebun sawit.

Sarang-sarang orangutan yang ditemukan saat itu? Kini sudah menjadi perkebunan, hilang tanpa bekas.

2. Ekspansi Sawit yang Tidak Kenal Rem

Di Lumut Maju, pembukaan lahan berlangsung cepat, bahkan terlalu cepat. Hutan 1.200 ha berkurang hanya dalam hitungan tahun.

Ketika tekanan ekonomi tinggi, sawit sering menjadi solusi paling “menguntungkan,” tapi juga paling merusak untuk ekosistem kecil seperti hutan Lumut.

3. Status Lahan yang Tidak Melindungi

Tidak ada satu pun payung hukum konservasi yang cukup kuat. Batang Toru sendiri bukan taman nasional, bukan cagar alam, bukan suaka margasatwa. Ia adalah ekosistem penting atau key biodiversity area, tetapi tidak ditetapkan sebagai kawasan konservasi formal. Ini seperti memiliki sebuah museum penuh artefak emas… tetapi pintunya tidak punya kunci. Bisa-bisa nasibnya nanti seperti Tongkonan Ka’pun, rumah adat yang sudah berdiri tiga abad, diratakan paksa bersama 10 bangunan lain. Tiga ratus tahun sejarah luluh lantak hanya dalam beberapa jam di Tana Toraja. Semua karena kawasan itu tak memiliki payung hukum sebagai cagar budaya.

Kenapa Kita Harus Mempertahankan Hutan Ini?

Ada tiga alasan yang tidak bisa dibantah. Pertama, orangutan Tapanuli tidak punya plan B. Tidak ada populasi cadangan. Tidak ada habitat alternatif. Tidak ada “translokasi massal” yang benar-benar aman. Jika hutan Tapanuli Tengah dan Batang Toru hancur, maka hilanglah spesies ini.

Kedua, hutan ini adalah mesin hidrologi. Batang Toru adalah hulu dari berbagai sungai yang memberi kehidupan bagi ribuan keluarga di tiga kabupaten. Hutan ini mengatur air, mencegah banjir bandang, memelihara debit sungai di kemarau, dan menjaga tanah dari longsor. Kita sering lupa Air itu bukan turun dari langit, tapi keluar dari hutan.

Ketiga, identitas dan keberlanjutan Tapanuli Tengah. Sama seperti Kerinci dengan danaunya, Papua dengan hutannya, Bali dengan lautnya, Tapanuli Tengah punya ciri khas ekologis, berupa hutan dan orangutan Tapanuli. Jika ekosistem inti hilang, identitas wilayah pun hilang.

Hutan Lumut Masih Bisa Diselamatkan

Seribu hektare luas hutan Lumut memang kecil, tapi masih bisa diselamatkan asal dikoneksikan dengan hutan lain. Artinya, upaya pelestarian harus seperti merajut kembali kain yang robek.

Yang bisa dilakukan pemerintah apa?

  • Membuat koridor habitat ke blok hutan Batang Toru Barat
  • Melakukan restorasi kawasan gambut yang rusak
  • Menghentikan sementara seluruh pembukaan lahan baru
  • Mengubah status APL menjadi kawasan bernilai konservasi tinggi (HCVF) atau Essential Ecosystem Area (KEE)
  • Melibatkan masyarakat Lumut dalam skema restorasi berbasis desa

Karena percuma bicara pelestarian tanpa memberi ruang hidup pada warga lokal yang menjaga hutan sehari-hari.

Apa jadinya kalau kita diam?

  • Populasi orangutan Tapanuli akan turun drastis hingga titik tidak bisa pulih
  • Risiko banjir bandang meningkat, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini
  • Kekeringan bisa lebih parah
  • Spesies lain seperti tapir, kucing hutan, dan burung endemik ikut terancam
  • Tapanuli Tengah kehilangan potensi ekowisata alam yang sangat besar.
  • Indonesia kehilangan bagian penting dari identitas ekologisnya.

Dan yang paling menyakitkan, kita menjadi generasi yang menyaksikan kepunahan spesies kera besar ketiga Indonesia. Tidak ada kata maaf untuk itu.

Banyak orang mengira upaya pelestarian hanya urusan LSM, ilmuwan, dan pemerintah. Padahal tidak. Pelestarian adalah kerja multilevel, mulai dari dapur rumah hingga meja kementerian.

Kalau Indonesia ingin membuktikan bahwa ia negara megabiodiversitas yang serius menjaga warisannya, maka Batang Toru dan Tapanuli Tengah https://dlhtapanulitengah.org/program/  adalah ujiannya.

Di hutan ini hidup makhluk terakhir dari garis evolusi jutaan tahun. Di sinilah air untuk ribuan keluarga bersumber. Di sinilah identitas ekologis Sumatera Utara bertumpu. Mempertahankan hutan ini bukan beban, melainkan kehormatan.

Dan kalau kita berhasil menjaga hutan Tapanuli Tengah, dunia akan tahu bahwa Indonesia bukan hanya negeri yang kaya ragam hayati, tetapi juga negeri yang bertanggung jawab menjaganya.

Share:

Leave a Comment