Museum Pustaka Lontar di Karangasem, Bali
Museum Pustaka Lontar di Karangasem, Bali

Museum Pustaka Lontar adalah destinasi wajib kami saat berkunjung ke Karangasem, Bali akhir Desember 2025. Entah kenapa, sejak awal membaca sedikit tentang tempat ini, aku sudah merasa kami harus ke sana. Museum ini tidak viral, tidak terlalu ramai dibicarakan orang, tapi justru karena itu, aku sangat penasaran. 

Dari penginapan kami di Candidasa, perjalanan menuju Museum Pustaka Lontar relatif dekat. Sekitar 35 menit saja, melewati jalanan yang tidak ramai, berliku-liku, melalui hutan campuran juga hutan bambu, semakin lama semakin hijau. Anak-anak masih segar di mobil, belum sempat bosan karena itu tujuan pertama kami. 

Kami berangkat pagi, berharap bisa menikmati suasana tanpa tergesa-gesa. Tiba di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi. Hal pertama yang kami sadari, gerbang depan museum tampak sepi. Tidak ada penjaga. Tidak ada loket. Tidak ada antrean. Rupanya, museum sedang dalam tahap renovasi. Kalau saja kami tidak punya kontak sebelumnya, mungkin kami akan ragu, atau bahkan berbalik pulang. Tapi hari itu, semesta baik pada kami.

Dari area parkir, kami harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter menuju area utama museum. Jarak yang di kota mungkin agak melelahkan bagi anak-anak, tapi di sini sama sekali tidak. Udara segar, bersih, dingin tipis. Di kiri kanan jalan, hamparan sawah membentang, hijau dan hidup. Anak-anak berjalan sambil berceloteh, sesekali berhenti hanya untuk melihat capung atau burung kecil yang terbang.

Suasana hijau mengelilingi Museum Pustaka Lontar

Tak lama kemudian, di sebuah pondok, muncul dua sosok yang kemudian kami kenal bernama Bli Angga dan Mbok Rara, beserta tim museum. Sambutan mereka jauh dari kesan formal. Tidak kaku, ramah sekali. Rasanya seperti disambut teman yang sudah lama saling kenal. Walau museum sedang direnovasi, Bli Angga tetap mempersilakan kami masuk untuk belajar bersama.

Di beberapa titik, berdiri bangunan-bangunan yang bentuknya mengingatkanku pada padepokan seperti yang sering kulihat di film-film kolosal Jawa tempo dulu. Bangunan sederhana, terbuka, tapi terasa penuh wibawa. Awalnya aku hanya mengira itu semacam balai atau tempat latihan. 

Menyimak pelajaran dari Bli Angga

Rupanya, Bli Angga menjelaskan, itu adalah sekolah. Semacam pesantren, tapi versi Bali. Tempat anak-anak Bali, terutama yang beragama Hindu, belajar, tinggal, dan mendalami ilmu, adat, serta spiritualitas mereka. Mendengar itu, aku kagum sekali. Di tengah dunia yang serba cepat, masih ada ruang yang dengan sabar merawat pengetahuan lama.

Kami kemudian duduk di salah satu alun-alun kecil di area Museum Pustaka Lontar. Ruangnya terbuka, tidak tertutup dinding tinggi. Angin bebas masuk. Cahaya matahari jatuh lembut. Di sekitar kami, terpajang beberapa lukisan berbahan rontal, juga sejumlah penghargaan yang pernah diterima museum ini. Semuanya ditata sederhana, tanpa kesan pamer. 

Di sanalah, pelajaran kami dimulai.

Lima Jenis Lontar Bali

Di Museum Pustaka Lontar, aku baru benar-benar paham bahwa lontar bukan hanya satu jenis naskah kuno. Ia punya banyak wajah, banyak fungsi, dan hadir untuk menjawab kebutuhan hidup masyarakat Bali pada masanya. Bli Angga memperkenalkan kami pada lima jenis lontar utama. Lima-limanya terasa relevan, bahkan hingga hari ini.

1. Lontar Usada

Inilah jenis lontar yang paling banyak ditemui di Museum Pustaka Lontar. Lontar usada berisi pengetahuan tentang pengobatan tradisional Bali. Di dalamnya tercatat berbagai jenis penyakit, ramuan herbal, cara meracik obat, hingga peran balian sebagai penyembuh berbagai penyakit.

Bli Angga bercerita, di Bali sudah ada pendidikan formal yang mendekati pengajaran tentang Usada Bali (pengobatan tradisional Bali yang dilakukan oleh balian). Nama kampusnya Universitas Hindu Indonesia. Di sana ada Program Studi Kesehatan Ayurweda yang mempelajari pengobatan tradisional berbasis bahan alami serta prinsip pengobatan yang lebih holistik.

Program ini mencakup pembelajaran tentang tanaman obat, diagnosa tradisional, pelayanan kesehatan preventif sampai rehabilitatif, dan lain-lain. Bahkan materi selanjutnya juga menyentuh pengobatan tradisional Bali (Usada), yang menjadi bagian dari ilmu yang diajarkan dalam kelas lanjutan.

Membaca penjelasan tentang lontar satu ini membuatku sadar bahwa pengetahuan medis tradisional di Bali tidak diwariskan secara lisan semata, tapi ditulis dengan sangat serius. Lontar usada adalah bukti bahwa masyarakat Bali sejak lama memiliki sistem pengetahuan tentang tubuh dan alam yang terstruktur.

2. Lontar Satua

Lontar satua berisi cerita rakyat, dongeng, dan kisah-kisah pengantar nilai moral. Ceritanya sering sederhana, misalnya berlatar belakang dunia hewan. Lontar ini biasanya digunakan sebagai media pendidikan, terutama untuk anak-anak. 

Lewat cerita, nilai tentang kebaikan, keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan ditanamkan. Rasanya mirip dengan dongeng sebelum tidur, hanya saja ditulis di atas daun dan diwariskan lintas generasi.

3. Lontar Geguritan

Lontar geguritan berisi puisi atau nyanyian yang disebut “mocopan.” Teksnya tidak sekadar dibaca, tapi dilagukan. Ada irama, ada rasa. Lontar ini memperlihatkan bagaimana sastra Bali tidak bisa dipisahkan dari musik dan seni suara. 

Geguritan sering dibacakan dalam upacara atau momen tertentu, menjadikannya bagian hidup dari tradisi, bukan hanya arsip biasa.

4. Lontar Kuisesan

Lontar kuisesan berisi ilmu kanuragan, tentang kekuatan fisik, ketahanan tubuh, dan kemampuan bela diri. Bukan sekadar soal adu tenaga, di dalamnya juga tersimpan ajaran tentang pengendalian diri, disiplin, dan keseimbangan batin. Ilmu raga dan jiwa berjalan beriringan.

5. Lontar Babad

Lontar babad adalah catatan sejarah, legenda, dan asal-usul. Di sinilah kisah-kisah besar tentang kerajaan, tokoh, dan perjalanan masyarakat Bali ditulis. 

Ia menjadi pengingat bahwa sejarah tidak selalu hadir dalam buku tebal, tapi bisa hidup di lembaran daun yang dirawat dengan penuh hormat.

Cara Membuat Lontar

Di bagian lain, Bli Angga mengajak kami meluruskan satu kekeliruan yang selama ini sering terjadi, termasuk olehku. Ternyata, daun yang selama ini kita sebut sebagai daun lontar, sebenarnya bukan lontar. Namanya daun ental. 

Lalu, bagaimana cara membuat lontar?

Proses dimulai dari pemilihan daun ental atau enau yang tepat. Tidak semua daun bisa dipakai. Daun harus cukup tua, seratnya kuat, dan tidak mudah sobek. Jika daunnya terlalu muda, ia akan rapuh. Jika terlalu tua, seratnya terlalu keras dan sulit diproses. Dari awal saja sudah dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman.

Daun ental yang sudah dipilih kemudian dijemur di bawah matahari. Penjemuran ini bertujuan mengurangi kadar air alami dalam daun. Tapi ini belum tahap akhir. Daun belum siap ditulis. Ia masih terlalu mentah.

Setelah dijemur, daun ental direbus dengan bumbu-bumbu tertentu. Bumbu ini, selain tradisi, juga berfungsi sebagai pengawet alami, yaitu untuk mencegah jamur, serangga, dan pembusukan. Proses perebusan dilakukan sampai airnya benar-benar habis, artinya sari bumbu sudah meresap ke dalam serat daun.

Setelah direbus, daun tidak langsung dipakai. Ia harus didiamkan dan dikeringkan secara alami, tanpa bantuan alat modern. Daun dibiarkan “matang” dengan sendirinya. Di tahap ini, kesabaran kembali diuji. Tidak boleh tergesa-gesa, karena pengeringan yang tidak sempurna akan membuat daun mudah rusak di kemudian hari.

Ketika daun sudah kering, barulah ia masuk ke tahap yang sangat panjang, yaitu penjepitan. Daun-daun ental dijepit, bisa seratus hingga seribu lembar sekaligus, dan dibiarkan dalam kondisi tertekan selama sekitar enam bulan. Tujuannya agar daun menjadi rata, stabil, dan tidak melengkung. Enam bulan hanya untuk menunggu.

Setelah enam bulan, daun masih belum siap. Ia masih harus dipress kembali selama kurang lebih satu setengah tahun. Pada tahap inilah daun tersebut akhirnya disebut rontal. Rontal adalah media tulis yang sudah stabil secara fisik, kuat, dan layak menerima aksara. Jadi, kini aku juga anak-anak sudah bisa membedakan bahwa “rontal” adalah bahan, sedangkan “lontar” adalah karya.

Di titik ini aku benar-benar takjub. Hampir dua tahun hanya untuk menyiapkan “kertas.” Pada zaman kita yang serba instan, proses ini hampir tak masuk akal. Barulah setelah rontal itu ditulisi aksara Bali, ia berubah nama menjadi lontar.

Bli Angga juga memperlihatkan kepada kami lukisan yang dibuat di atas rontal. Lukisan ini disebut perasi. Halus, detail, dan penuh simbol. Aku membayangkan betapa sabarnya tangan-tangan yang mengerjakannya, betapa tenangnya pikiran mereka yang menulis dan melukis, tanpa gangguan notifikasi, tanpa target cepat selesai.

Belajar Aksara Bali

Bli Angga lanjut memperkenalkan kami pada dasar-dasar aksara Bali. Caranya kok mudah dipahami ya. Semuanya mengalir. Kadang diselingi bercanda, kadang bertanya langsung ke anak-anak, kadang tertawa bersama saat ada yang salah menulis atau terbalik membaca.

Ketiga anakku benar-benar hadir. Mereka duduk bersila, memperhatikan kertas panduan aksara Bali seperti harta karun kecil. Tidak gelisah. Tidak menoleh mencari gawai. Tidak bertanya “kapan selesai”. Mereka mendengarkan, meniru, mencoba, lalu tertawa ketika hasilnya tidak sempurna. Di zaman serba digital ini, melihat anak-anak tenggelam dalam aksara kuno adalah pemandangan yang sangat langka, dan sangat berharga.

Bli Angga menjelaskan bahwa aksara Bali memiliki 18 aksara dasar, yang sering disebut sebagai hanacaraka versi Bali. Di sini aku baru sadar, ada kemiripan yang cukup kuat antara aksara Bali dan aksara Jawa. Jawa mengenal 20 aksara dasar dengan urutan honocoroko, sementara Bali menggunakan versi yang lebih ringkas. Mirip, tapi tidak sama.

Kami mulai dari hal paling dasar, yaitu aksara wreestra, yaitu aksara utama yang mewakili bunyi konsonan, seperti ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Anak-anak diminta menuliskan satu per satu, mengikuti bentuk lengkungannya. Tidak boleh tergesa-gesa. Bli Angga menekankan bahwa menulis aksara Bali bukan soal cepat, tapi soal sabar dan rapi. Setiap lengkungan punya makna. Setiap garis harus diniatkan.

Salah satu contoh lontar di Museum Pustaka Lontar

Setelah itu, kami dikenalkan pada gantungan dan gempelan, yaitu bentuk aksara yang digunakan ketika satu huruf bertemu dengan huruf lain dalam satu suku kata. Di sinilah anak-anakku mulai bingung, dan gantian suamiku yang paling semangat belajar. Tapi lagi-lagi, Bli Angga menjelaskannya dengan contoh sederhana. 

Ia meminta kami membaca pelan-pelan, lalu menunjuk bentuk kecil yang “menempel” di bawah atau di samping aksara utama. Anak-anakku mengangguk-angguk, sesekali bertanya, sesekali menebak sendiri.

Tahap berikutnya adalah pangangge, yaitu tanda-tanda bunyi vokal dan tambahan suara. Di sinilah aksara Bali terasa hidup. Ada tanda untuk bunyi a, i, u, e, o, juga bunyi panjang dan pendek. Ada tanda yang diletakkan di atas huruf, ada yang di bawah, ada yang di samping. 

Satu aksara bisa berubah bunyinya hanya karena satu tanda kecil. Anak-anakku sempat tertawa karena merasa “ribet” tapi justru di situlah tantangannya. Seperti puzzle kecil yang harus disusun dengan teliti.

Bli Angga tidak menuntut mereka langsung bisa. Ia justru berulang kali berkata, “Tidak apa-apa salah.” Dan mungkin itu kunci dari semua ini. Anak-anak jadi berani mencoba. Mereka tidak takut salah. Mereka menikmati prosesnya. Aku memperhatikan dari samping sambil merekam video. Aku haru dan bersyukur, anak-anakku tertarik dengan materi ini. 

Menulis dan Menggantung Lontar di Bale Daja

Setelah belajar dasar-dasar aksara Bali, anak-anakku langsung diajak praktik. Mereka duduk berjejer, masing-masing memegang selembar rontal, media tulis yang sejak tadi hanya kami dengar ceritanya. Kali ini, mereka benar-benar menyentuhnya. Menuliskan nama panggilan mereka sendiri dengan pensil di atas rontal.

Bagian paling menantang adalah ketika anak-anak mulai memahat lontar tadi. Bukan dengan pulpen, tentu saja. Mereka menggunakan bantalan tangan sebagai alas menulis, yang disebut lungka-lungka. Bantalan ini membuat rontal tidak bergeser dan memberi tekanan yang pas, agar pahatan tidak terlalu dalam, tapi juga tidak terlalu dangkal.

Setelah itu, mereka memegang pahat kecil, alat utama untuk menulis aksara Bali di atas rontal. Di sinilah kesabaran diuji. Tidak ada tinta. Tidak ada penghapus. Setiap huruf harus dipahat perlahan, satu goresan demi satu goresan. Tangannya harus stabil.

Aku bisa melihat wajah anak-anakku, bahkan suamiku sangat serius, fokus. Sesekali berhenti, menoleh ke Bli Angga atau Mbok Rara untuk meminta bantuan atau memastikan arah goresan sudah benar.

Begitu nama mereka selesai dipahat, rontal itu belum langsung terbaca. Pahatan masih samar, nyaris tak terlihat. Lalu masuklah tahap berikutnya yang membuat anak-anak takjub. Permukaan rontal diolesi kemiri yang sudah dihaluskan. Kemiri ini masuk ke celah pahatan, menghitamkan garis-garis aksara. 

Setelah itu, permukaan rontal dibersihkan dengan tisu sampai permukaannya mengilap dan aksara yang semula samar perlahan muncul dengan jelas. Di titik itu, anak-anakku baru tersenyum lebar. Nama mereka akhirnya terlihat. Terukir dan tidak bisa dihapus sampai kapanpun.

Museum Pustaka Lontar tidak menerapkan tarif masuk khusus. Pengunjung dipersilakan berdonasi seikhlasnya. Namun, bagi yang ingin mencoba praktik menulis di atas rontal, dikenakan biaya Rp30 ribu per lembar. Nominal yang terasa sangat masuk akal, bahkan murah, jika mengingat proses panjang pembuatan rontal yang bisa memakan waktu lebih dari dua tahun.

Mengikat lontar di Bale Daja

Setelah nama-nama mereka tertulis, satu lembar kami bawa pulang sebagai kenang-kenangan, satu lagi digantung di Bale Daja, salah satu bangunan penting di area Museum Pustaka Lontar. Di sinilah maknanya terasa lebih dalam. Dalam kepercayaan Hindu Bali, nama bukan sekadar identitas, melainkan doa. Ketika nama ditulis dan digantung, ia menjadi harapan, niat baik, dan permohonan yang diserahkan pada waktu.

Sejak tahun 2017, sudah ada ribuan lontar berisi nama yang digantung di Bale Daja. Setiap lontar mewakili seseorang, sebuah keluarga, sebuah cerita.

Pada April 2017, masyarakat Desa Dukuh Penaban mulai mendeklarasikan diri sebagai desa wisata, dengan Museum Pustaka Lontar sebagai ikon utama. Beberapa bulan kemudian, pada Agustus 2017, penataan bangunan mulai dilakukan. 

Seluruh proses pembangunan museum ini dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat adat setempat, dengan pendanaan yang sepenuhnya berasal dari sistem donasi berbagai pihak. Tidak ada investor besar.

Sampai jumpa lagi di Museum Pustaka Lontar

Museum ini memiliki keterikatan yang kuat dengan konsep desa wisata yang menjunjung tinggi warisan budaya dan kearifan lokal. Tidak hanya lontar, tetapi juga tradisi lain seperti tarian sakral, ritual adat, hingga kuliner khas seperti lawar daun jepun, turut dilestarikan. 

Semua kekayaan budaya itu dijadikan modal utama untuk membangun desa wisata yang berakar pada identitasnya sendiri. Saat ini, Museum Pustaka Lontar dikelola sepenuhnya oleh masyarakat Desa Dukuh Penaban, dengan memberdayakan sumber daya manusia lokal.

Semoga Museum Pustaka Lontar terus hidup, tumbuh, dan dijaga. Semoga semakin banyak keluarga yang datang ke sini, duduk bersila, belajar tanpa tergesa, dan pulang dengan hati gembira. Dan semoga anak-anakku kelak, ketika mengingat Bali, tidak hanya ingat pantainya, tetapi juga ingat aksara, daun ental, dan nama mereka yang pernah terukir pelan di sana. Sekali lagi, terima kasih, Baliku.

Share:

Leave a Comment