Bicara soal hutan di Kalimantan, sering kali bayangan yang muncul adalah hamparan hijau tak berujung, sungai yang tenang, dan kehidupan yang menyatu dengan alam. Padahal di balik bayangan itu, ada cerita yang sering kali tidak terdengar, jauh lebih kompleks. Salah satunya datang dari Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Bertahun-tahun lalu, wilayah ini dikenal memiliki hutan adat yang luas, yang menjadi ruang hidup masyarakat setempat. Hutan adat di sana bukan sekadar latar belakang alam, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Tempat berburu, berladang, meramu bahan pangan, menjalankan ritual adat, hingga mewariskan nilai-nilai kepada generasi berikutnya.
Seiring waktu, wajah Seruyan https://dlhkabseruyan.org/struktur/ berubah. Banyak kawasan hutan adat kini telah berganti rupa menjadi perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini membawa dampak besar bukan hanya pada lanskap, tetapi juga pada mata pencaharian, relasi sosial, dan kebudayaan masyarakat adat.
Tulisanku kali ini tidak bermaksud menyulut emosi atau memperpanjang konflik. Sebaliknya, aku mau mengajakmu coba duduk sebentar, melihat persoalan ini dari sudut pandang penguatan masyarakat adat.
Hutan Adat bagi Masyarakat di Seruyan
Bagi masyarakat adat di Seruyan, hutan tidak pernah dipahami sebagai “aset” dalam pengertian ekonomi semata. Hutan adalah ruang hidup mereka.
Di sanalah mereka berburu rusa dan babi hutan, mengambil rotan untuk anyaman, mengumpulkan getah nyatu untuk kerajinan, dan memetik daun-daunan seperti daun bongkal yang digunakan sebagai bumbu masakan alami.
Bahkan nama desa pun lahir dari ingatan kolektif akan kekayaan hutan, seperti Desa Bangkal, yang konon dinamai dari banyaknya pohon bongkal di wilayah itu.
Hutan juga menyimpan makna spiritual bagi masyarakat Seruyan. Ada kawasan yang dijaga karena dianggap sakral, ada ritual yang hanya bisa dilakukan di tempat tertentu, dan ada nilai pantang larang yang diwariskan turun-temurun.
Semua itu membentuk identitas masyarakat adat, sesuatu yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Ketika hutan menyempit, yang hilang bukan hanya pepohonan, tetapi satu sistem kehidupan.
Perubahan di Seruyan tidak terjadi dalam semalam. Ia datang pelan-pelan, lewat berbagai proses yang panjang. Awalnya, banyak masyarakat adat menolak perubahan fungsi hutan.
Mereka memilih mengelola hutan sendiri, sebagaimana yang telah dilakukan leluhur mereka jauh sebelum negara ini berdiri. Namun seiring perjalanan waktu, tawaran pembangunan datang dengan janji-janji yang terdengar menjanjikan, seperti lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan, kebun plasma, dan masa depan yang lebih baik.
Sebagian warga akhirnya menerima. Bukan karena mereka tidak mencintai hutan, melainkan karena mereka berharap ada jalan tengah, bahwa perubahan bisa membawa manfaat tanpa harus menghilangkan segalanya.
Sayangnya, dalam banyak kasus, harapan tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Ketika hutan telah berubah menjadi kebun sawit, sebagian masyarakat justru merasa kehilangan ruang hidup, sementara janji-janji yang dinanti tak kunjung terwujud sepenuhnya. Di sinilah persoalan mulai terasa lebih dalam.
Ketika Mata Pencaharian Ikut Bergeser
Sebelum perkebunan masuk, kehidupan masyarakat adat di Seruyan relatif mandiri. Mereka menggantungkan hidup pada hutan dan ladang, entah itu berburu, berladang berpindah secara arif, menganyam rotan, dan membuat kerajinan tradisional.
Ketika hutan menyempit, pilihan hidup ikut menyempit. Akses terhadap bahan pangan alami berkurang. Ruang berburu hilang. Rotan dan getah nyatu makin sulit ditemukan. Bahkan bahan dapur tradisional seperti daun bongkal menjadi langka.
Sebagian warga beralih menjadi buruh kebun. Ini bukan pilihan yang salah, tetapi sering kali tidak sebanding dengan kehidupan yang dulu mereka miliki: jam kerja panjang, pendapatan terbatas, dan ketergantungan pada sistem di luar kendali mereka.
Perubahan ini juga memengaruhi struktur sosial. Relasi antarwarga berubah, ketergantungan ekonomi meningkat, dan konflik kepentingan mulai muncul, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi dalam komunitas adat yang hidup komunal.
Hutan Adat dan Martabat Manusia
Dalam banyak diskusi lingkungan hari ini, kita sering bicara soal karbon, emisi, atau keanekaragaman hayati. Semua itu penting. Tapi bagi masyarakat adat, isu yang paling mendasar adalah martabat.
Hutan adat adalah ruang di mana mereka merasa berdaulat. Di sanalah mereka bisa menentukan cara hidup, mengatur sumber daya, dan menjaga keseimbangan dengan alam. Ketika ruang itu hilang atau dibatasi, yang terganggu bukan hanya ekonomi, tetapi juga rasa memiliki dan harga diri sebagai komunitas.
Inilah sebabnya pengakuan dan perlindungan hutan adat menjadi isu penting di tingkat nasional. Bukan untuk menolak pembangunan, melainkan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak menghapus identitas dan hak hidup masyarakat adat.
Apa yang terjadi di Seruyan https://dlhkabseruyan.org/struktur/ bukan kasus tunggal. Pola serupa juga terlihat di wilayah lain di Kalimantan Tengah, seperti Desa Kinipan di Kabupaten Lamandau.
Di sana, masyarakat adat juga memperjuangkan pengakuan hutan adat sebagai wilayah kelola mereka. Prosesnya panjang, melelahkan, dan penuh tantangan. Keinginan masyarakatnya untuk menjaga hutan bukan karena romantisme, melainkan karena kebutuhan hidup nyata.
Hutan bagi mereka adalah sumber pangan, obat, budaya, dan pendidikan informal bagi anak-anak mereka. Kehilangannya berarti kehilangan banyak lapisan kehidupan sekaligus.
Kenapa cerita Seruyan penting untuk kita yang mungkin tinggal jauh dari Kalimantan?
Karena hari ini, kita hidup di masa ketika krisis iklim makin nyata, konflik agraria masih terjadi, ketimpangan pembangunan menjadi sorotan, masyarakat adat mulai menuntut ruang bicara yang setara.
Cerita Seruyan mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak bisa hanya diukur dari angka investasi atau luas lahan produksi. Ada manusia dan kebudayaan di dalamnya.
Penguatan masyarakat adat dan hutan adat bukan agenda masa lalu. Ia adalah bagian dari solusi masa depan, tentang bagaimana kita membangun tanpa menghilangkan akar.
Banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, telah menyampaikan pentingnya dialog dan musyawarah agar konflik tidak terus berulang dan masyarakat bisa merasakan manfaat pembangunan.
Yang perlu terus diperkuat adalah pengakuan hutan adat sebagai ruang hidup, dialog yang setara dan berkelanjutan, skema pembangunan yang menghormati kearifan lokal, pendampingan masyarakat agar tidak kehilangan kemandirian
Investasi dan pembangunan bisa berjalan, tanpa harus mengorbankan ruang hidup masyarakat adat. Ini bukan pilihan hitam-putih, melainkan soal keberanian mencari keseimbangan.
Hutan adat di Seruyan mungkin telah banyak berubah. Tapi ingatan tentangnya masih hidup dalam cerita para orang tua, di nama desa, di ritual yang tersisa, dan di harapan generasi muda.
Penguatan masyarakat adat bukan berarti menolak perubahan. Ia adalah upaya memastikan bahwa perubahan tidak memutus ingatan kolektif dan identitas.
Karena ketika hutan adat hilang, yang terancam bukan hanya ekosistem, tetapi juga cara hidup yang telah terbukti menjaga alam selama ratusan tahun. Dan di tengah dunia yang makin bising oleh krisis lingkungan, mungkin justru kearifan inilah yang paling kita butuhkan.

Leave a Comment