Anak autis perempuan
Anak autis perempuan

Pertama kali saya mengantarkan putra saya terapi di sebuah tempat sekitar Grand Wisata Bekasi tahun 2020, ada satu hal yang langsung membuat saya tertegun. Bukan ruang terapinya. Bukan mainan edukatifnya. Tapi anak-anak autis yang duduk di ruang tunggu itu.

Semuanya laki-laki. Saya ingat menoleh ke kanan dan kiri, memastikan penglihatan saya tidak salah. Tapi tidak. Dari anak balita sampai usia sekolah dasar, hampir semuanya laki-laki. Tidak ada anak perempuan. Atau kalaupun ada, mungkin hanya satu-dua. 

Di kepala saya langsung muncul pertanyaan yang terasa polos tapi mengganggu. “Apa memang cuma anak laki-laki yang bisa autis?” “Atau anak perempuan juga ada, tapi ke mana mereka?”

Pertanyaan ini ternyata bukan cuma dari saya saja. Banyak orang tua yang punya pengalaman serupa. Datang ke pusat terapi, ke klinik tumbuh kembang, ke sekolah inklusi, dan mendapati rasio anak autis laki-laki jauh lebih banyak daripada anak autis perempuan. Dan ya, secara statistik, itu memang benar.

Autisme dan Angka yang Terlihat Jomplang

Autisme, atau Autism Spectrum Disorder (ASD), secara global memang lebih sering terdiagnosis pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. 

Penelitian Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada tahun 2017 mencatat bahwa prevalensi autisme pada anak laki-laki dan perempuan adalah 4,2 : 1. Artinya, dari sekitar lima anak autis, empat di antaranya adalah laki-laki.

Angka ini sering langsung disimpulkan begini, “Berarti autisme memang lebih banyak menyerang anak laki-laki.” Tapi semakin saya membaca, semakin saya sadar, angka ini tidak sesederhana itu.

Karena pertanyaan pentingnya bukan hanya siapa yang lebih banyak, tapi juga siapa yang lebih cepat dikenali, dan siapa yang terlewatkan?

Mayoritas jawaban yang saya temukan mengarah pada satu hal, bias diagnostik. Sejak lama, autisme dilekatkan pada gambaran tertentu, yaitu anak yang sulit bicara, anak yang tantrum hebat, anak yang obsesif pada satu hal, anak yang tampak “aneh” secara sosial. Dan gambaran ini, entah mengapa, lebih sering diasosiasikan dengan anak laki-laki.

Akibatnya, ketika anak perempuan menunjukkan gejala yang tidak persis sama, banyak orang, termasuk tenaga profesional, tidak langsung berpikir tentang autisme.

Anak perempuan dengan ASD sering dibilang pemalu, dianggap pendiam, disebut terlalu sensitif, atau cuma “anak baik yang terlalu nurut.” Mereka tidak dianggap “bermasalah.” Dan karena itulah, mereka sering terlambat didiagnosis.

Dalam literatur internasional, anak-anak ini bahkan punya istilah sendiri, yaitu the lost girls, anak-anak perempuan yang autis, tapi tidak pernah benar-benar terlihat.

Selama ini kita sering memahami autisme lewat definisi umum:

Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan kesulitan komunikasi dan interaksi sosial, perilaku terbatas dan berulang, serta masalah sensorik.

Definisi ini benar. Tapi cara manifestasinya bisa sangat berbeda antara anak laki-laki dan perempuan.

Anak autis laki-laki sering menunjukkan minat yang sangat terbatas, melakukan perilaku repetitif yang mencolok, lebih mudah tantrum atau meledak. Sementara itu, banyak anak autis perempuan terlihat “baik-baik saja” di permukaan, bisa mengikuti aturan, bisa duduk manis di kelas, tidak terlalu mengganggu lingkungan. Tapi… itu bukan karena mereka tidak autis, tapi karena mereka belajar menutupinya.

Anak Autis Perempuan dan Seni Meniru

Salah satu temuan paling menarik dalam penelitian tentang autisme perempuan adalah kemampuan mereka dalam masking atau menyamarkan ciri autismenya.

Anak autis perempuan cenderung meniru perilaku teman-temannya, menyalin cara bicara, intonasi, bahkan ekspresi wajah. Anak autis perempuan bisa menghafal skrip sosial tanpa benar-benar memahaminya. Mereka seperti sedang bermain peran setiap hari.

Penelitian di Stanford University (2005) menemukan bahwa anak perempuan dengan ASD lebih mampu mengontrol perilaku di depan umum. Guru sering tidak melihat perbedaan signifikan antara mereka dan anak-anak neurotipikal. Masalahnya, meniru terus-menerus itu melelahkan.

Ketika anak masih kecil, kemampuan meniru ini sering “menyelamatkan” mereka dari sorotan. Tapi seiring bertambahnya usia, terutama saat memasuki masa remaja, tuntutan sosial menjadi jauh lebih kompleks.

Di sinilah banyak anak autis perempuan mulai kewalahan. Mereka mungkin terlihat canggung dalam pergaulan, terlalu meniru sampai terkesan aneh, tidak paham dinamika pertemanan remaja, mudah disalahpahami. Dan yang paling menyedihkan, anak autis perempuan mudah menjadi sasaran perundungan.

Anak autis perempuan sering sangat polos dan berhati baik. Mereka cenderung selalu melihat kebaikan orang lain, bahkan ketika diperlakukan tidak adil. Mereka jarang melawan. Jarang membalas. Sebaliknya, mereka menyimpan semuanya sendiri.

Alih-alih meluapkan emosi ke luar, banyak anak autis perempuan justru menyalahkan diri sendiri, menarik diri, mengalami kecemasan dan depresi, bahkan menyakiti diri sendiri secara diam-diam.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa aku berbeda?” “Apa yang salah denganku?” pelan-pelan mengisi kepala mereka. Dan semua ini sering terjadi sebelum mereka tahu bahwa mereka berada dalam spektrum autisme. Bayangkan betapa beratnya tumbuh besar dengan perasaan “aneh” tanpa tahu alasannya.

Banyak perempuan baru mendapatkan diagnosis autisme saat usia remaja akhir, dewasa muda, atau bahkan setelah punya anak sendiri. Bukan karena mereka baru “menjadi autis” tapi karena selama ini tidak ada yang cukup peka melihat tanda-tandanya.

Diagnosis yang terlambat berarti terlambat terapi, terlambat pemahaman diri, terlambat mendapatkan dukungan yang tepat. Dan sayangnya, di Indonesia, kesadaran tentang autisme pada anak perempuan masih sangat minim.

Peran Orang Tua, Guru, dan Tenaga Medis

Mendiagnosis autisme pada anak perempuan memang membutuhkan kepekaan lebih, wawasan lebih luas, kesadaran bahwa autisme tidak selalu tampak “keras.” Orang tua perlu berani bertanya. Guru perlu peka pada anak yang “terlalu diam.” Dokter perlu melihat lebih dari sekadar checklist gejala klasik.

Semakin banyak kita memahami perbedaan manifestasi autisme pada laki-laki dan perempuan, semakin besar peluang anak-anak ini mendapatkan bantuan lebih awal.

Membahas autisme pada anak perempuan bukan berarti mengecilkan fakta bahwa autisme memang lebih banyak terdiagnosis pada anak laki-laki. Keduanya sama-sama penting.

Yang kita butuhkan adalah pendekatan yang lebih adil dan menyeluruh agar tidak ada anak yang terlewat hanya karena ia tidak sesuai dengan gambaran umum.

Saya sering kembali teringat ruang tunggu terapi itu. Anak-anak laki-laki yang ramai. Kursi-kursi yang penuh. Dan bayangan anak-anak perempuan yang mungkin ada di luar sana diam, patuh, berusaha menyesuaikan diri, tapi tidak pernah benar-benar dipahami.

Semoga, dengan semakin banyak tulisan, percakapan, dan kesadaran, kita bisa menciptakan sistem yang lebih peka. Bukan hanya untuk anak autis laki-laki, tapi juga untuk anak autis perempuan yang selama ini terlalu sering tidak terlihat. Karena setiap anak, apa pun spektrumnya, berhak dikenali, dipahami, dan didukung.

Share:

Leave a Comment