Sore hari mulai pukul 15.00 WITA, arus lalu lintas sepanjang Jalan Ahmad Yani menuju Kampung Jawa Denpasar berubah padat dan macet. Orang beramai-ramai datang ke tempat ini mengendarai mobil dan motor untuk mencari kuliner khas Ramadhan, satai susu. Di antara mereka yang bermacet ria itu adalah aku. Membahas satai susu untuk halaman Kuliner Ramadhan di media tempatku bekerja rasanya sayang untuk dilewatkan
Satai susu hanya ditemukan sekali setahun, yaitu di bulan puasa. Menu ini disebut perekat persatuan dan toleransi antarwarga dan umat beragama di Bali. Kok bisa? Pemandangan yang kusaksikan di sore itu adalah semua orang dari berbagai suku, etnis, dan agama, terutama Muslim dan non-Muslim yang berdomisili di Denpasar dan sekitarnya rela mengantre demi membeli satai ini.
Bude Karni (52 tahun), demikian panggilannya adalah keturunan kedua yang merintis usaha satai susu di Kampung Jawa. Lebih dari setengah abad keluarganya sudah berjualan satai susu.
“Menu ini baru lima tahun terakhir populer dan banyak dijual di Kampung Jawa,” katanya kujumpai beberapa waktu lalu.
Wanita berdarah Jawa-Makassar ini bercerita dulu kantong susu sapi sering dibuang percuma. Orang hanya mengambil daging, iga, tulang, lidah, atau jeroan sapi. Keluarga Bude Karni terpikir untuk membuat menu baru memanfaatkan bagian dari kantong susu sapi ini.
“Muncul lah ide dibuat satai sebab orang-orang menyukai berbagai varian satai dan keuntungannya juga lumayan,” katanya.
Kulit dari kantong susu dipilih bagian bersih, tak ada lemak, juga kotoran, kemudian direbus sampai empuk selama dua jam. Daging satai kemudian dipotong, ditusuk, dibakar seperti satai pada umumnya.
Bumbu kuah yang digunakan, antara lain bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, kunyit, jahe, ketumbar, garam, gula pasir, dan sedikit terasi. Bumbu-bumbu tersebut dihaluskan, lalu digoreng, diberi tepung beras, dan santan. Sebagian pelanggan menyebut kuah satai susu hampir sama dengan kuah sate padang, hanya saja rempah-rempah satai padang lebih beraroma kuat.
Satu kilogram kantong susu sapi bisa diolah menjadi 100 tusuk satai. Setiap tusuknya dihargai dua ribu rupiah. Bude Karni setidaknya mengolah dua hingga tiga kilogram kantong sapi setiap hari.
Dulu ia hanya menjual satai susu Rp 500 per tusuk. Seiring meningkatkan permintaan dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, harga jual satai susu pun perlahan naik menjadi Rp 1.500 per tusuk di hari biasa, dan dua ribu rupiah khusus Ramadhan.
Kenaikan harga daging sapi juga tak berpengaruh pada ketersediaan satai susu sepanjang bulan suci ini. Pembelinya pun tetap ramai.
Satai susu sulit dijumpai di luar Ramadhan sebab stok kantong susu sapi terbatas. Pembeli satai susu Bude Karni berasal dari berbagai wilayah di Denpasar, seperti Monang-Maning, Dalung, Sesetan, Pemogan, hingga dari luar Denpasar, seperti Nusa Dua, dan Jimbaran. Warga Jakarta yang tengah berada di Bali juga pernah membeli satai susu Bude Karni hingga ratusan ribu.
Selain satai susu, Bude Karni juga menjual jenis satai dan menu lainnya, seperti satai babad, satai daging, satai usus sapi dan ayam, satai sumsum, sayur urap, kue ulo, lumpia, hingga soto babad. Penjual satai susu hanya ada di Kampung Jawa, tepatnya berdampingan dengan Masjid Baiturrahman, salah satu masjid terbesar di Kota Denpasar, atau sebelum Kompleks Pemakaman Wanasari, Denpasar Barat.
Pifzi (32 tahun) adalah salah satu pelanggan setia Bude Karni. Warga Monang-Maning ini selalu mencari satai susu di bulan puasa juga di hari biasa, sebab Bude Karni satu-satunya pedagang satai susu yang rutin berjualan setiap hari.
“Rasanya ‘nyanggel’ (enak atau legit) dan gampang dikunyah. Jadi, anak-anak sampai nenek-nenek pun suka,” katanya.
Gusti Ayu (26), warga Bali ini tak mau ketinggalan mencicipi satai susu Kampung Jawa. Meski tidak berpuasa, perempuan yang bekerja di salah satu hotel mewah daerah Sanur ini menyempatkan diri membeli dua porsi satai susu untuk dibawa pulang.
“Rasanya beda dari daging. Bumbunya juga beda,” kata Gusti Ayu.
Penduduk Bali menyebut Muslim pendatang atau warga Bali yang beragama Islam sebagai ‘Nyama Selam’ yang berarti Saudara Islam. Umat Muslim sebaliknya menyebut warga Hindu dengan ‘Nyama Bali’ atau ‘Semeton Bali’ yang berarti Saudara Bali. Hubungan kekerabatan antara leluhur ‘Nyama Slam’ dan ‘Nyama Bali’ di berbagai daerah di Pulau Dewata terjalin dalam silaturahmi nan erat.
Leave a Comment