Rafflesia arnoldii di Kepahiang, Bengkulu
Rafflesia arnoldii di Kepahiang, Bengkulu

Jujur ya, kalau kamu dengar kata Rafflesia, yang terbayang di kepala itu apa? Bunga bangkai, bau busuk, ikon wisata, pajangan foto Instagram. Selesai. Padahal ceritanya jauh lebih panjang dan jauh lebih penting dari itu.

Tidak banyak yang tahu, bahkan orang Bengkulu sendiri, bahwa Kabupaten Kepahiang https://dlhkepahiang.org/profile/tentang/ adalah salah satu habitat penting Rafflesia arnoldii, bunga raksasa yang jadi kebanggaan dunia. Di sinilah, jauh dari hiruk-pikuk kota, Rafflesia tumbuh, mekar, lalu mati dalam waktu singkat. Diam-diam, nyaris tanpa sorotan.

Dan ironisnya, justru karena bunga ini “diam,” kita sering lupa bahwa Rafflesia sedang berada di ujung tanduk.

Kalau selama ini Rafflesia identik dengan Bengkulu, itu benar. Tapi Bengkulu bukan cuma Kota Bengkulu. Di balik perbukitan dan hutan lindungnya, Kepahiang menyimpan cerita yang jarang dibicarakan.

Kepahiang, Rumah Sunyi Rafflesia

Pada 2021, sebuah berita yang aku baca di Kompas mencatat sebuah kejadian yang sangat langka, yaitu dalam satu bulan saja, empat bunga Rafflesia arnoldii mekar di Kepahiang. Rafflesia arnoldii loh ini. Lokasinya berada di Hutan Lindung Bukit Daun, tepatnya di Desa Tebat Monok, Kecamatan Kepahiang.

Empat kali mekar dalam sebulan. Untuk bunga yang siklus hidupnya bisa bertahun-tahun hanya untuk mekar beberapa hari, ini bukan hal biasa.

Artinya apa?

Artinya, Kepahiang bukan habitat biasa. Ia adalah rumah penting bagi Rafflesia. Bahkan dalam catatan setahun, tercatat 14 bunga Rafflesia mekar di kawasan yang sama. Angka inilah yang pada waktu itu membuat para pegiat lingkungan sekaligus bahagia dan cemas. Mereka bahagia karena alam masih bekerja. Mereka juga cemas karena tekanan manusia terus mendekat.

Rafflesia itu unik sekaligus tragis. Ia tumbuh bertahun-tahun, menumpang hidup pada tanaman inang, lalu mekar hanya 5–8 hari, sebelum akhirnya menghitam dan hancur.

Tidak ada daun. Tidak ada batang. Tidak ada akar. Rafflesia hidup sepenuhnya bergantung pada ekosistem sekitarnya. Sedikit saja habitatnya terganggu, entah itu pohon inangnya ditebang, tanah dirusak, hutan dibuka, rantai hidupnya langsung putus seketika. Tidak ada kompromi.

Di Kepahiang, ancaman itu nyata. Alih fungsi hutan menjadi kebun kopi, kebun sawit, dan ladang terus terjadi. Dari sembilan titik habitat yang pernah tercatat, kini hanya sebagian kecil yang masih bertahan.

Seberapa Penting Rafflesia untuk Manusia?

Pertanyaannya, kalau bunga ini tidak “berguna” buat manusia, kenapa harus repot-repot dilestarikan? Emangnya penting ya Rafflesia buat hidup kita?

Oke, pertanyaan ini wajar. Kita hidup di zaman serba praktis. Segala sesuatu diukur dari fungsi, manfaat langsung, dan nilai ekonomi.

Rafflesia tidak bisa dimakan. Tidak bisa dijadikan obat instan. Tidak bisa dipanen massal. Ia tidak memberi manfaat cepat seperti padi, kopi, atau sawit. Tapi justru di situlah letak nilainya. Nilai Rafflesia tidak berada pada apa yang bisa kita ambil darinya, melainkan pada apa yang ia jaga agar tetap ada.

Kali ini, aku mau mengajakmu menggali lebih dalam tentang kenapa Rafflesia layak dilestarikan.

1. Rafflesia sebagai Alarm Ekologis

Dalam ekologi, ada istilah spesies indikator (indicator species). Ini adalah organisme yang keberadaan, ketiadaan, atau kelimpahannya bisa memberi gambaran tentang kondisi lingkungan secara keseluruhan. Rafflesia masuk kategori ini, bahkan bisa dibilang salah satu indikator yang paling sensitif.

Rafflesia arnoldii memiliki siklus hidup yang sangat kompleks. Ia bukan tumbuhan mandiri. Ia adalah holoparasit, sepenuhnya bergantung pada tanaman inangnya, yaitu liana dari genus Tetrastigma. Artinya, untuk satu bunga Rafflesia bisa mekar, diperlukan tanaman inang yang sehat, struktur hutan yang utuh, kelembapan tanah yang stabil, mikroorganisme tanah yang masih aktif, dan kanopi hutan yang menjaga suhu dan cahaya.

Sedikit saja satu komponen terganggu, misalnya pembukaan lahan, pemadatan tanah, atau perubahan cahaya, siklus hidup Rafflesia bisa gagal total. Kuncupnya mati sebelum mekar, atau bahkan tidak pernah terbentuk. Karena itu, ketika Rafflesia masih bisa mekar di suatu kawasan, para ekolog langsung tahu, hutan ini belum runtuh.

Sebaliknya, hilangnya Rafflesia sering kali bukan sebab, tapi akibat. Ia menghilang setelah kerusakan terjadi lama, saat tanah sudah lelah, inang mati, dan struktur ekosistem berubah. Jadi, saat Rafflesia tak lagi ditemukan, itu artinya alarm sudah berbunyi lama, kita saja yang terlambat mendengarnya.

2. Penjaga Keanekaragaman Hayati

Bau Rafflesia sering jadi bahan olok-olok. Disebut bau bangkai, bau busuk. Tapi dalam ekologi, bau itu adalah strategi. Rafflesia mengeluarkan senyawa volatil seperti putresin dan kadaverin, senyawa kimia yang juga dihasilkan oleh daging membusuk. Senyawa ini berfungsi untuk menarik serangga penyerbuk, terutama lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae.

Kenapa lalat? Karena di hutan, lalat bukan hama. Mereka adalah bagian penting dari siklus dekomposisi dan penyerbukan. Ketika lalat tertarik, mereka membawa serbuk sari dari satu bunga ke bunga lain, meskipun peluang penyerbukan Rafflesia sangat kecil dan acak.

Ini menunjukkan ekosistem bekerja lewat kerja sama, bukan lewat estetika manusia. Lebih jauh, keberadaan Rafflesia ikut menjaga keseimbangan mikrofauna dan serangga di lantai hutan. Lalat, semut, kumbang, dan mikroorganisme tanah saling terhubung dalam jaringan yang kompleks. Ketika satu spesies ekstrem seperti Rafflesia masih bisa hidup, itu menandakan jaringan tersebut masih utuh.

Ekosistem bukan cuma tentang satwa karismatik seperti harimau atau gajah. Ia adalah sistem besar yang disangga oleh makhluk-makhluk yang jarang kita perhatikan. Putus satu mata rantai, efeknya bisa menjalar ke mana-mana.

3. Warisan Ilmu Pengetahuan Dunia

Secara ilmiah, Rafflesia adalah anomali. Ia menantang definisi dasar tentang tumbuhan. Contohnya, Rafflesia tidak punya daun untuk fotosintesis, tidak punya batang, tidak punya akar, dan tidak menghasilkan klorofil. Namun ia tetap hidup, tumbuh, dan bereproduksi.

Bagaimana caranya? Jawabannya belum sepenuhnya kita pahami.

Penelitian genetika menunjukkan bahwa Rafflesia mengalami reduksi genom ekstrem. Banyak gen yang biasanya dimiliki tumbuhan lain “hilang” karena tidak lagi dibutuhkan. Sebaliknya, beberapa gen penting justru menunjukkan kemiripan dengan gen tanaman inangnya, menandakan adanya transfer gen horizontal, fenomena langka di dunia tumbuhan.

Dari sudut pandang evolusi, ini mindblowing banget. Rafflesia memberi petunjuk tentang bagaimana organisme bisa bertahan dengan cara hidup ekstrem, bagaimana simbiosis dan parasitisme berevolusi, bagaimana genetika bisa beradaptasi di luar pola umum.

Ilmu pengetahuan berkembang lewat keunikan, bukan lewat hal yang biasa. Kalau Rafflesia punah, kita kehilangan satu laboratorium alami yang tidak bisa digantikan oleh teknologi mana pun.

4. Nilai Ekonomi Jangka Panjang

Di Kepahiang https://dlhkepahiang.org/profile/tentang/ Rafflesia tidak dijual sebagai komoditas. Tidak ada tiket mahal. Tidak ada pagar besi. Tidak ada panggung wisata massal. Pengunjung boleh datang, dengan satu syarat utama, tidak merusak.

Ini sejalan dengan konsep ekowisata berkelanjutan, di mana nilai ekonomi muncul dari pelestarian, bukan eksploitasi. Model ini mungkin tidak menghasilkan uang cepat, tapi ia membangun identitas daerah, kesadaran lingkungan, penghasilan alternatif bagi masyarakat lokal, dan insentif untuk menjaga hutan.

Dalam ekonomi lingkungan, ini disebut nilai non-ekstraktif. Alam menghasilkan manfaat bukan karena diambil, tapi karena dibiarkan hidup.

Hutan yang lestari menjaga air bersih, mengurangi risiko longsor, menstabilkan iklim mikro, dan mendukung pertanian di sekitarnya. Semua itu punya nilai ekonomi nyata, meski sering tidak masuk hitungan di atas kertas.

Generasi hari ini sering dituduh tidak peduli lingkungan. Tapi sebenarnya bukan tidak peduli, kita hanya jarang diberi cerita yang utuh.

Pelestarian Rafflesia bukan soal menyelamatkan bunga cantik saja. Peran kita di sini ikut menjaga hutan agar tetap hidup. Kita ikut menjaga air, tanah, dan udara. Kita ikut menjaga masa depan yang masih bisa dinegosiasikan

Kalau kita kehilangan Rafflesia, kita kehilangan lebih dari sekadar bunga. Kita kehilangan penanda bahwa alam masih memberi kita kesempatan.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak semua orang harus turun ke hutan, tapi semua orang bisa berperan. Mulai dari tidak merusak habitat Rafflesia saat berkunjung, menyebarkan informasi yang benar, mendukung pelestarian berbasis komunitas, dan tidak memandang alam hanya dari sisi untung dan rugi saja.

Karena alam tidak pernah berisik saat rusak. Ia hanya diam… sampai benar-benar hilang. Dan saat Rafflesia tak lagi mekar di Kepahiang, yang punah bukan cuma bunga, tapi kesempatan kita untuk hidup lebih selaras dengan alam.

Kalau kamu setuju, mungkin sudah waktunya kita berhenti bertanya, “Apa gunanya Rafflesia buat manusia? Dan mulai bertanya, “Apa jadinya manusia tanpa alam?”

Share:

Leave a Comment