https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Suami Sulit Menerima Anak Didiagnosis Autisme


“Bukan cuma keluarga besar kak. Suamiku sendiri kak. Kami sering berantam gak karuan karena aku minta si abang dibawa ke dokter tumbuh kembang anak. Suamiku gak terima kak kalo aku bilang si abang yang 3 tahun 9 bulan ini autis.”

“Sampai sekarang suamiku belum bisa menerima diagnosis dokter. Mba, aku izin SS percakapan kita ya mba, untuk kukirim ke suamiku. Suamiku masih gak percaya kalo anak kami autis. Dia bilang anak kami masih kecil, nanti juga bisa bicara.”

“Mba Mutia, terima kasih. Nanti saya coba komunikasi sama suami dan keluarga. Suami kayaknya denial karena dia mengira anak kami cuma gangguan tumbuh kembang karena alergi. Saya minta tolong ke mba tetap aktif di blognya. Mungkin di luar sana masih banyak ibu atau orang tua yang pengetahuannya minim mengenai ASD. Saya pun juga begitu.”

Membaca curhatan teman-teman baru saya via Instagram tentang suami yang sulit menerima anaknya didiagnosis autis membuat saya sedih. Di sisi lain saya bersyukur pada Allah dan berterima kasih pada suami saya yang mendukung penuh penyembuhan putra kami.

Dulu dari pihak saya justru saya sendiri yang menyangkal. Suami saya malah sudah menduga Rashif menunjukkan gejala autism spectrum disorder (ASD) sejak usia 1 tahun. Saya baru menerimanya ketika Rashif berusia 1,5 tahun. Jadi, enam bulan lamanya saya mengabaikan kekhawatiran suami saya.

kidaba

Banyak sekali suami gak percaya, gak nerima, malah ngamuk-ngamuk sama dokter ketika anaknya divonis autis. Menurut mereka diagnosis itu seperti menghancurkan masa depan anak kesayangannya, merasa bahwa selamanya anaknya akan dilabel autis oleh lingkungan sekitarnya.

Naluri Ibu tak Pernah Salah

Untuk para suami, jangan pernah mengabaikan naluri istri, terlebih perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Sejak zaman batu, yang namanya naluri, insting, intuisi, feeling, apapun lah sebutannya yang dimiliki ibu untuk anaknya nyaris tak pernah salah.

Naluri ibu sejak dulu bahkan menjadi kunci dalam pengambilan keputusan keluarga, dimulai sejak dia mengandung anak kalian, memutuskan ingin melahirkan anak kalian dengan cara apa, membesarkan anak kalian dengan cara apa, dan sebagainya.

Memang, gak semua ibu punya naluri kuat, tapi yang namanya ibu sudah pasti lebih sensitif. Ibu punya feeling good or feeling bad pada hal-hal kecil atau spesifik tentang anaknya. Nah, dalam kasus ASD ini, ibu bisa merasakan anaknya berbeda dari anak-anak lain seusianya, bahkan anak berbeda dari kakak atau adiknya.

Tugas suami adalah mendampingi istri, sama-sama mencari solusi, bukannya mengabaikan perasaan istri atau malah bilang istri lebay.

Sebagai orang tua dengan anak ASD, saya sadar pekerjaan dan hidup saya ke depannya sangat menantang, penuh onak duri, naik turun kayak roller coaster, muter-muter kayak pakaian di dalam mesin cuci. Banyak tahapan harus saya lalui dalam membersamai anak.

1. Menerima

Penerimaan atau acceptance itu penting. Punya anak autis bukan hal memalukan. Orang tua sedini mungkin perlu menyadari bahwa ASD di zaman modern seperti sekarang ini tidak lagi gelap seperti dahulu. Semakin dini usia anak autisi ditangani dengan metode tepat, semakin besar peluang kesembuhannya.

Sekarang ini dunia, termasuk Indonesia sudah punya tata laksana penyembuhan autisme yang baik. Autisme bisa disembuhkan. Autisme bisa diatasi dengan baik.

Saya heran masih banyak orang tua, tempat terapi, bahkan dokter sekali pun yang pikirannya sempit menyebut autisme tidak bisa disembuhkan. Rasanya saya pengen nyuruh mereka buka mata, banyak baca, main lebih jauh lagi buat ngumpulin informasi yang benar soal autisme.

Saya melihat sendiri bagaimana banyak mantan autisi di KIDABA bisa bekerja, kuliah, bersekolah di sekolah reguler. They speak!

Ada yang bilang anak autis selamanya akan tetap autis, hanya saja bisa dimaksimalkan menjadi anak mandiri dan mampu bersosialisasi.

Sekarang saya tanya sama Anda yang bilang anak autis tidak bisa disembuhkan. Memangnya arti ‘sembuh’ buat Anda itu apa sih?

Kalo anak autis yang tadinya gak bisa bicara jadi bisa bicara, yang tadinya hiperaktif jadi bisa mengendalikan diri, yang tadinya susah fokus jadi bisa duduk tenang di kelas, yang tadinya gak noleh ketika namanya dipanggil jadi bisa diajak ngobrol, yang tadinya gak mungkin bisa sekolah di sekolah umum jadi bisa sekolah, kuliah, berprestasi di kampus, bahkan bisa jadi ahli tambang, asisten dosen, kuliah S2 di ITB, bahkan jadi dokter.

Saya saksi hidup yang menyaksikan itu semua. Lalu kalian, apakah tetap ingin melabeli mantan-mantan autisi ini dengan ‘anak autis’ selamanya? Picik sekali pemikiran kalian.

Tapi kan anak autis yang udah diterapi atau diobati sekali pun sesekali masih menunjukkan gejala autisnya.

Apa bedanya autis dengan penyakit flu, demam, sakit kepala, stres, dan penyakit menahun lainya? Hari ini kita flu, kemudian lusa kita sembuh, masak kita mau dibilang masih flu juga? Hari ini kita stres dan marah-marah karena kerjaan kantor menumpuk, kemudian besoknya hepi karena pekerjaan selesai, masak kita mau dibilang masih stres juga?

Apa bedanya dengan mantan autisi yang sesekali masih muncul stimmingnya, seperti cornering ketika melamun, atau memainkan tangan ketika lagi mikir ngerjain PR sekolah?

Hey, kita ini manusia. Gak ada manusia yang sempurna, bahkan manusia paling normal seperti Anda sekali pun pasti punya sisi autis.

  • Siapa yang suka goyang-goyangin kaki waktu lagi beresin kerjaan di depan laptop?
  • Siapa yang suka mondar-mandir kayak setrikaan di depan ruang ICU pas nunggu istri melahirkan?
  • Siapa yang suka ketawa-ketawa sendiri pas lagi ngelamun, mungkin lagi bayangin pacar atau ingat kejadian lucu sama teman?
  • Siapa yang suka mainin pulpen tiktok atau muter pensil di sekeliling ibu jari pas sedang jawab soal ujian di sekolah?

Kalian pikir itu semua apa kalo bukan stimming namanya? Kalian bilang anak autis itu suka stimming. Artinya, kita semua punya sisi autis yang sesekali muncul. Tuh, gak ada bedanya kan kita dengan mantan autisi yang sembuh di luar sana?

Makanya kalo mau menyampaikan pandangan itu mbok ya mikir dulu rada pinter, gitu loh. Sok sok-an bilang anak autis gak bisa sembuh. Kasihan banget orang tua kalo ‘termakan’ sama pemikiran kalian yang salah ini.

2. Selalu siap di bawah tekanan

Tuhan kasih kita anak autisi, itu sama kayak perusahaan yang dalam iklan lowongan kerja menyaratkan calon karyawan bisa bekerja di bawah tekanan. Rutinitas orang tua dengan anak ASD ini seperti air sungai yang terus mengalir tanpa henti.

Melakukan hal sama setiap hari sesekali bikin kita bosan, marah, ngerasa hancur, tapi kita selalu siap bangkit kembali. Saya percaya gak ada satupun bisa menggantikan pekerjaan mendampingi, mengasuh, dan membesarkan anak autisi selain orang tuanya sendiri.

3. Sabar tingkat dewa

Orang tua yang punya anak autis itu harus sabar tingkat dewa. Harus jadi separuh malaikat.

Orang-orang di luar sana pas lihat anak autisi tantrum kebanyakan cap orang tuanya gak becus ngurus anak. Anak terlalu dimanja lah, bahkan ada yang mikir orang tuanya tega sama anak.

You know what? I don’t care what people think.

4. Anak kita tahu

Gak peduli anak kita yang autis masih setahun, dua tahun, tiga tahun, tujuh tahun, 12 tahun, 20 tahun atau lebih, jangan pernah kita mengucap sesuatu yang kesannya anak gak mungkin ngerti apa yang kita omongin.

Anak autis itu punya perasaan, punya feeling, meski mereka gak bisa menunjukkan. Ini karena ASD adalah gangguan neurobiologis berat yang bikin aspek reseptif dan ekspresif otak anak kita terganggu.

Saya menangis ketika pertama kalinya setelah empat bulan terapi dan diet Rashif menghampiri saya, kemudian mencium, memeluk, duduk di pangkuan saya dengan sendirinya. Inisiatif yang gak pernah dilakukannya sejak kecil, selain ingin mimik ASI atau minta gendong ketika merasa gak nyaman.

Ketika Rashif mendengar Rangin, saudara kembarnya menangis merengek di depan saya, Rashif sekarang sering menghampiri dan menunjukkan gelagat tidak suka. Mungkin dia mengira Rangin marah atau membuat saya gak nyaman, sehingga Rashif seperti ingin marah juga pada Rangin.

Supaya Suami Bisa Mengerti

Punya anak autisi membuat istri rentan stres, apalagi suami sendiri menyangkal keadaan anak dan tak mau bekerja sama. Kisah ini banyak dialami ibu-ibu di luar sana, satu di antaranya diceritakan langsung aktris cantik Dian Sastrowardoyo.

Putra sulung pemeran utama fim Ada Apa dengan Cinta ini didiagnosis autisme sejak berusia delapan bulan. Dian mengatakan suami tak setuju Dian memberikan terapi untuk anaknya. Alhasil Dian berjuang sendiri, menerima banyak job demi membiayai pengobatan anaknya yang terbilang mahal secara mandiri. Masya Allah.

Setidaknya ada tiga hal perlu kita pahami supaya suami pelan-pelan bisa menerima kondisi anak.

1. Beri dia waktu

Suami mungkin cuma punya waktu 2-4 jam sehari bersama anak. Itu pun gak maksimal. Faktor utama karena suami setiap hari mencari nafkah dan kita sebagai istri yang lebih intensif di samping anak.

Sangat wajar jika suami gak bisa langsung menerima anaknya didiagnosis ASD. Maka penting memberinya waktu untuk menerima.

Ajak suami ke dokter anak, bahkan kalo perlu bicara dengan psikiater supaya dia belajar menolerir perasaannya yang campur aduk soal anak. Bicaralah dengan orang yang bisa membantu kita berbicara pada suami kita, misalnya orang yang perkataannya sering didengarkan suami, entah itu ibu bapaknya, ibu bapak kita, sahabat, atau ustaz.

Istri perlu lebih sabar menerangkan kepada suami soal kondisi anak, terapi anak, bahkan dietnya. Bicara pelan-pelan dan terstruktur karena laki-laki umumnya perlu diberi alasan logis. Lakukan ini setiap hari, kapan pun ada waktu.

2. Berbagi tugas

Anak autisi membutuhkan special needs parenting. Contohnya dalam kasus tantrum. Penanganan tantrum pada anak autis jelas berbeda dengan anak normal.

Ketika Rashif tantrum, marah, atau mengamuk misalnya, saya menggunakan satu dari dua teknik, yaitu Teknik Extinction dan Correctional NO!

Saya mungkin pakai teknik kedua, yaitu mengucap TIDAK satu kali dengan suara tinggi. Mungkin orang awam mencap saya ibu galak dan suka bentak anak. Padahal saya melakukan ini gak sembarangan, ada latihannya di KIDABA, tempat terapi anak saya. Saya dilatih mengatakan TIDAK dengan berbagai cara, mulai dari suara netral datar, suara tinggi, latihan mimik muka, hingga gestur tubuh.

Kebanyakan suami gak bisa melakukan ini, gak tega sama anak. Atau kalo suami marah, caranya salah. Nah, di sini pentingnya berbagi tugas di rumah.

Saya selalu bilang sama suami saya, ketika saya berurusan dengan tantrum anak, mohon dia berkenan mengalihkan perhatian dua anak lainnya, yaitu Kakak Mae dan Rangin, sehingga saya bisa fokus mengatasi Rashif.

3. Ini bukan soal pernikahan kita, tapi anak kita.

Pasti ada masanya (bahkan sering) istri terlampau sibuk dan kelabakan mengurus anak yang autisi, sehingga pada satu titik suami merasa istri terlalu memprioritaskan anak dan lupa kehadiran suami. Jangan sampai perasaan seperti ini sering hadir dalam pernikahan.

Ujian ini bukan soal pernikahan kita, tapi soal anak kita. Percayalah, kita sebagai suami istri bisa duduk bersama, melalui hari-hari sulit ini bersama, membersamai anak kita yang sedang berproses, mau saling memaafkan, dan berjuang bersama sampai akhir.

kidaba

Pesan saya untuk semua orang tua dengan anak istimewa, BERTAHANLAH. Kita bisa melakukannya, demi mengantar anak kita ke kota kesembuhan. Fokus pada semua momen baik, jangan berlama-lama memikirkan kejadian buruk bersama anak.

Percayalah mukjizat itu ada bagi mereka yang tak putus berusaha dan berdoa. Jangan menyerah pada penolakan suami terhadap diagnosis anak yang membuat kita sebagai istri harus berhenti memperjuangkan kesembuhan anak kita. JANGAN.


21 responses to “Suami Sulit Menerima Anak Didiagnosis Autisme”

  1. Betul sekali kak, tak semua ayah mau tahu dengan perkembangan anaknya, jadinya anak seperti disembunyikan, yang harusnya bisa therapy malah hanya di rumah, its real story kak. Makanya aku suka lihat updatenya kak mutia, bahagia banget dengan kekompakan keluarga begini.

    Like

  2. Memang tidak mudah menerima kondisi tidak baik yang dialami anak kita. Butuh penerimaan dari kedua belah pihak baik istri maupun suami. Sehingga nantinya bisa bersama-sama berusaha untuk memberikan pengobatan yang terbaik untuk anak.

    Like

  3. Bener banget kalo kadang suami ngga (belum) bisa nerima kondisi anak karena waktu suami membersamai anak tidak sebanyak waktu ibu membersamai anak. Jadi memang feeling ibu yang bisa diandalkan. Masalah anak bukan lagi persoalan aku atau kamu saja, ini harus diselesaikan bersama. Support suami memang nomer satu untuk istri. Dan orang tua yang dikaruniai anak spesial memang orang tua pilihan dengan kesabaran luar bisa. Rashif, sehat selalu ya Nak, kamu anak hebat!

    Like

  4. Menginspirasi banget mbak. Seneng rasanya baca dan liat postingan mbak mutia di IG dan blog yang mau berbagi tentang kondisi Rashif. Ternyata seringkali perjuangan yang sedang kita lakukan dan kita share bisa bermanfaat untuk orang lain ya mbak. Baik bagi orang yang mengalami masalah sejenis ataupun gak. Seperti saya mendapatkan ilmu banyak dari postingan-postingan mbak. Tetap berjuang ya mbak. ^^

    Like

  5. Tulisannya menginspirasi sekali, terutama buat kami kami yang masih belajar tentang pasutri. Dari yang saya lihat di sekitar lingkungan tinggal saya, memang kebanyakan suami kurang peka terhadap pertumbuhan anaknya, kebanyakan diserahkan semuanya ke istri.

    Like

  6. Ada satu cuplikan yang bikin saya miris mengenai sikap suami di tulisan Kakak. Kondisi di mana suami masih menganggap pernikahan di atas segalanya. Padahal pernikahan akan bercabang juga tanggungjawab nya terhadap anak-anak.

    Ini mengingatkan saya pada seorang penceramah yang mengungkapkan bahwa suami harus mendapatkan pelayanan terus. Sampai pada saatnya istri terlalu memperhatikan anak, dan suami menjadi nomor dua, membuat ini jadi alasan wajar untuk poligami. Miris bgt sih, karena tugas merawat anak bukan hanya pada perempuan tapi juga pada seorang ayah.

    Like

  7. Kak Mutiaaaaaa. Aku salutt dan bangga punya temen seperti kak Mutia.
    Happy banget baca ini. Suatu waktu aku jg khawatir dengan kondisi anakku skrg. Kayaknya memang aku harus buka mata, lebih banyak baca lagi, dan mulai menerima. Setiap anak memang terlahir dengan keistimewaannya masing-masing.
    Mudah-mudahan kak Mutia sekeluarga sehat selalu. Aamiin

    Like

  8. Lagi2 mau bilang makasih sama mba Mutia. Saat baca artikel ini jujur hatiku lagi kecewa mba. Setelah baca artikel mba Mutia, mendadak jadi lebih optimis. Sehat selalu buat mba Mutia sekeluarga ❤

    Like

  9. Memang perlu kerja sama yang kuat suami istri dalam membesarkan anak autis ya. Saya juga punya tetangga autis, usianya 7 tahun. Awalnya saya nggak tahu kalau dia autis, dan kaget saat pertama kali lihat ibunya mengatakan “Masuk!” dengan suara keras ke anak itu sambil tangan menunjuk ke arah pintu. Lama-lama jadi terbiasa dan mengerti, memang menghadapi anak autis itu caranya berbeda dengan anak normal.

    Like

  10. Salut sih sama suami yang tetap ngedukung istri dan tetap berada disamping untuk menguatkan saat tau anaknya ternyata autis. Karena, namanya seorang istri butuh dikuatkan gimana pun kalau cuma sendiri ngadepinnya ya bakal sedih juga.

    Like

  11. Agak susah ya kalau suami masih tidak bisa menerima kenyataan, malah menambah beban pikiran si istri. Semoga saja semakin banyak bapak-bapak dan suami yang tercerahkan dan bisa bersepakat memeikirkan yang terbaik demi anak-anak.

    Like

  12. Senangnya main ke sini lagi, seperti biasa artikeknya mencerahkan ya, Mutia…jd kl suami menolak gitu masih di tahap denial ya. Trus emang bener tuh kita semua pasti punya sisi autislah. kalau saya semua contoh stimming yg dituliskan di atas tanpa sadar sering dilakukan. Tfs yaa

    Like

  13. Masya Allah. Jadi kadang gantian ya antara suami atau istri yang tidak menerima. Dan saya yakin beban terbesar ada di sang istri. Jadi kudu dikuatin banget2 nih istri yang punya anak ASD. Kebayang kudu sabarnya. semoga terus dilimpahi kesabaran. aamiin

    Like

  14. Faktor ego saja sih kayaknya yang bikin suami begitu. Mungkin sentuhannya kurang rasional. Coba masukannya lewat teman tongkrongan atau teman akrabnya, kali aja bisa membantu.

    Like

  15. Mbak Muthia,
    tetap semangat ya Mbak. Semoga dalam perjalanannya mengasuh Rashif diberikan hadiah yang luar biasa dari Allah SWT.

    Saya juga tidak sependapat dengan pendapat umum yang mengatakan negaif tentang anak autis. Banyak anak autis juga yang highly intelligent. Autis juga punya spektrum yang berbeda-beda.Dengan terapi dan kesabaran, InsyaAllah pasti membuahkan hasil.

    Like

  16. Tiap kali dateng ke blognya mba Mutia, selalu dapet ilmu soal parenting. Gimana ya saya nanti kalau dihadapkan pada anak yang autis? Komunikasi dengan pasangan tetap yang utama ya. Sepakat memang harus menerima dan bergerak, jangan diacuhkan.

    Like

  17. Memang berat ya mbak menerima keadaan yg tak biasa sebelumnya apalagi ditambah dgn suami yg tdk menerima kondisi anak. Untuk tugas ibu bener2 mulia dan apalagi dikaruniai anak autis yg bener2 ekstra sabar dan ekstra2 lainnya. Allah tak akan membebani hambanya diluar kemampuannya ya mbak. Mbak ibu yg kuat, tangguh semoga anak mbak dan sekeluarga dlm lindungan Allah selalu Aamiin

    Like

  18. “Sejak zaman batu, yang namanya naluri, insting, intuisi, feeling, apapun lah sebutannya yang dimiliki ibu untuk anaknya nyaris tak pernah salah.” Bener banget kak, jadi ingat emak saya, makanya kalau beliau ngomong ini dan itu aku nurut saja.

    Btw, ceritanya inspiratif banget kak, terharu :’)

    Like

  19. Tulisannya mengandung bawang, Mbak.
    Huhuhu kenapa para suami tuh sering bersikap kaya anak juga. Masa cemburu ama anaknya sendiri. Kadang kalo lagi ga bagus mood kita rasanya ganggu banget dengan sikapnya yang gitu.

    Like

Leave a reply to J i n g g a Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.