https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Mengapa Harus ABA? Metode Terapi untuk Anak Autis


Applied Behavior Analysis (ABA) adalah metode terapan yang menggunakan prosedur perubahan perilaku untuk mengajarkan seseorang – dalam hal ini penyandang autisme atau autisi – supaya menguasai berbagai kemampuan dengan ukuran dan nilai-nilai standar yang ada di masyarakat.

Sampai saat ini belum ada metode selain ABA yang melalui penelitian ilmiah panjang bisa menyembuhkan anak autisi tanpa bekas. Mau secanggih apapun katanya metode barunya, mau siapapun yang mengklaimnya, mau sekeren apapun nama terapinya, mulai dari terapi wicara lah, terapi sensori integrasi lah, terapi okupasi lah, terapi perilaku lah, terapi berkuda lah, terapi keterampilan sosial lah, terapi apapun itu, belum ada yang seefektif dan seefisien ABA.

Mungkin terapi-terapi tersebut bisa memperbaiki sedikit perilaku anak autisi kita, tapi itu butuh waktu lama, bahkan bertahun-tahun tanpa kepastian, tidak bisa menyembuhkan secara keseluruhan.

Kenapa harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk terapi berkuda? Kalo ada yang tanya saya, pengen Rashif bisa ngomong dulu atau pengen Rashif pintar naik kuda dulu? Jelas saya pilih yang pertama dong. Meski mungkin ada juga orang tua yang pengen anaknya pintar naik kuda dulu, baru pintar bicara.

Kenapa harus terapi perilaku? Terapi perilaku hanya untuk anak keterbelakangan mental. Anak autisi bukan anak dengan keterbelakangan mental.

Kenapa harus terapi wicara? Anak autisi itu bukannya tidak bisa bicara, hanya saja dia bermasalah pada kognitif, reseptif, dan ekspresifnya, sehingga membuat komunikasinya terhambat. Perbaiki dulu kognitif anak autisi kita, nanti pasti dia akan pandai berbicara dengan sendirinya.

Ini hanya sentilan kecil saja bahwa betapa waktu kita banyak dihabiskan untuk shopping therapy yang gak perlu untuk anak autisi kita. Padahal, kita berkejaran dengan waktu, sebab menyembuhkan mereka tanpa bekas itu perlu setidaknya 1,5-3 tahun.

Metode ABA bekerja dengan cara memecah berbagai aktivitas kompleks menjadi bagian-bagian kecil sesuai kemampuan anak. Anak kemudian dilatih intensif secara sistematis, terstruktur, dan terukur dengan melakukan intervensi dan modifikasi yang diperlukan.

Apa maksudnya sistematis?

Dimulai dari program atau aktivitas yang paling sederhana dan termudah bagi anak, sesuai dengan kemampuannya saat itu. Setelah anak menguasai aktivitas paling sederhana, berikutnya anak diajarkan gabungan beberapa program atau aktivitas lain untuk membentuk kemampuan lebih kompleks.

Rashif ketika usia 18 bulan mulai diterapi dengan Smart ABA. Mula-mula putera saya hanya diajarkan satu aktivitas motorik kasar, yaitu pegang kepala.

Namun, hingga lebih 30 sesi atau satu bulan dilatih, Rashif tak kunjung menguasainya. Akhirnya instruksi pegang kepala diganti dengan pegang paha dan dia berhasil menguasainya.

Sampai saat saya menulis ini, Rashif baru menguasai beberapa gerakan motorik kasar, seperti pegang paha, tepuk meja, salam, dan tepuk tangan. Sisanya dia masih belum bisa memahami instruksi. Memang benar, kita harus bersabar sebagai orang tua anak autisi dan mensyukuri sekecil apapun kemajuan yang ditunjukkan anak kita.

Dalam Metode Smart ABA, setelah anak menguasai beberapa gerakan motorik kasar, barulah aktivitas tersebut diparalelkan dengan aktivitas lain, misalnya identifikasi (warna, bentuk, huruf, angka, gambar, dan benda) atau mencocokkan (benda identik dan gambar identik).

Rashif awalnya hanya bisa mengidentifikasi satu bentuk saja, yaitu hati. Setelah diterapi dua bulan, Rashif sudah bisa mencocokkan lima bentuk, yaitu hati, bulat, persegi, belah ketupat, dan bintang.

Smart ABA berisi lebih dari 1.500 program untuk dikuasai anak selama menjalani terapi. Jumlah ini tiga kali lipat lebih banyak dari program versi dr Lovaas, profesional pertama di dunia yang memperkenalkan Metode ABA pada era 1960-an.

Jumlah program Smart ABA lebih banyak karena disesuaikan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang ternyata lebih kompleks dari sistem pendidikan di luar negeri. Makanya anak-anak autis di Indonesia sudah gak relevan lagi diterapi dengan Metode ABA yang lama versi dr Lovaas.

Anak yang diterapi dengan Smart ABA terus dilatih hingga bisa mencapai kemampuan sesuai standar yang ada di masyarakat, khususnya dunia sekolah, supaya mereka bisa hidup mandiri dan berkarya di masyarakat.

Apa maksudnya terstruktur?

ABA itu sudah baku dan terstruktur sesuai respons anak atas berbagai stimulasi atau instruksi yang diberikan, mulai dari aktivitas paling sederhana hingga paling kompleks.

Teknik ABA harus disampaikan dengan benar, supaya program dan aktivitas yang dijalankan anak bisa efektif dan efisien. Anak akan jauh lebih cepat menguasai suatu kemampuan dalam tempo relatif singkat jika terapisnya betul-betul paham ABA dengan benar.

Apa maksudnya terukur?

ABA itu ada penilaian dan kriteria penilaian yang terkuantifikasi. Jadi, ada kriteria kelulusannya, seperti saat kita mengikuti ujian nasional di sekolah. Kita bisa menyatakan anak sudah menguasai suatu aktivitas atau belum.

Anak autisi dinyatakan lulus menguasai suatu aktivitas jika tiga sesi berturut-turut nilainya lebih atau sama dengan 80 persen. Misalnya, aktivitas tepuk meja yang dijalankan Rashif, selama tiga sesi berturut-turut minimal nilainya harus benar 80 persen. Jika kurang dari itu, Rashif dinyatakan belum lulus, sehingga latihan menguasai aktivitas tersebut tetap dilanjutkan.

ABA penilaiannya kuantitatif, bukan kualitatif. Di KIDABA, tempat Rashif terapi, setiap harinya saya menerima laporan tertulis tentang perkembangan Rashif hari itu. Progress-nya jelas dan terukur.

Contohnya nih, Rashif kan dilatih oleh tiga terapis. Apabila penilaiannya gak kuantitatif, bisa saja terapis pertama dan kedua menyatakan Rashif sudah lulus dan bisa memahami instruksi tepuk meja, tapi terapis ketiga menyatakan Rashif belum lulus dan belum bisa memahami instruksi tersebut.

Saya sebagai ibu bingung dong, pernyataan terapis mana yang benar dan bisa saya pegang? Makanya terapis yang benar-benar menjalankan ABA dengan benar, mampu menguasai teknik penilaian yang benar pula.

Contoh lainnya, ada anak autisi yang belum bisa mengucapkan kata mobil dan menyebutnya dengan mobi. Terapis ABA profesional akan memecah program imitasi suku kata menjadi mo dan bil.

Apabila masalahnya terletak pada pergerakan ujung lidah anak saat mengucapkan -il, terapis akan menggunakan bantuan cermin supaya anak bisa melihat pergerakan ujung lidah terapis, kemudian membandingkan dan menyamakan pergerakan lidahnya dengan pergerakan lidah terapis.

Sekiranya anak tetap belum bisa, terapis mungkin perlu melatih anak meletakkan ujung lidah di belakang gigi seri atas, kemudian setelah anak mampu menguasainya dilanjut dengan bantuan mendorong ujung lidah anak menggunakan tongue-spatel. Setelah anak bisa, dilanjut kembali dengan program imitasi suku kata.

Smart ABA oleh dr Rudy Sutadi

Smart ABA yang dikembangkan dr Rudy Sutadi mengikuti pakem yang telah disusunnya selama puluhan tahun. Saya gak mungkin terlalu spesifik membahas urutannya karena buku Smart ABA karya dr Rudy itu tebalnya lebih dari 600 halaman, ngalah-ngalahin tebalnya buku Kalkulus. Hehehe.

Saya ingin cerita sedikit tentang cara dr Rudy mengawali metode Smart ABA untuk seluruh pasiennya. Menarik banget nih.

Semua anak autis yang menjadi pasien dr Rudy pada tahap pertama masuk terapi harus menguasai Program Analisa Kepatuhan, yaitu latihan duduk, latihan kontak mata, dan latihan patuh.

Rashif selama dua minggu pertama terapi sejak 18 Agustus 2020 itu dia hanya menangis sepanjang empat jam. Iya, empat jam nonstop.

Orang tua mana yang tahan lihat anaknya menangis empat jam Senin-Jumat selama hampir dua minggu? Mungkin cuma orang tua keras kepala seperti saya. Orang yang gak ngerti mungkin sudah mencap saya orang tua durhaka. Hehehe. Terserah deh.

Ini pula alasan saya tidak memperkenankan papa mama mertua saya ikut melihat Rashif terapi di KIDABA di hari-hari pertama. Kebayang gak gimana reaksi mereka melihat cucu kesayangannya menangis empat jam? Bisa-bisa baru 15 menit cucunya nangis, Rashif sudah dibawa pulang.

Ayah ibu saya pernah suatu hari melihat foto CCTV Rashif duduk di teaching room, kondisinya perut diikat kain jarik supaya duduknya bisa patuh dan gak ndlosorin badannya melulu. Melihat itu saja ayah ibu saya udah kayak cacing kepanasan.

Jujur, tiga hari pertama melihat Rashif menangis terus di ruang terapi, saya dan suami pun ikut menangis di luar. Keraguan itu ada. Godaan untuk berhenti dan gak ngelanjutin terapi juga ada. Namun, bismillah, saya dan suami kembali lagi ke niat awal kami, yaitu mencari jalan kesembuhan bagi Rashif. Kami jalani dan komitmen dengan semua prosesnya.

Alhamdulillah wa syukurillah semua paid off setelah dua minggu. Bayi 18 bulan itu akhirnya bisa duduk manis dan memerhatikan terapisnya di kelas sampai memasuki bulan ketiga saat ini.

Kenapa sih anak autis harus dilatih duduk mandiri?

Direktur KIDABA, Ibu Arneliza Anwar yang mendampingi dr Rudy menyusun kurikulum Smart ABA mengatakan sepanjang usia sekolah anak, hanya lima persen saja aktivitas anak tidak menggunakan kursi.

Anak autisi perlu diajarkan duduk mandiri supaya dia mampu mengikuti program atau aktivitas selama teaching session di kelas. Saat bersekolah di sekolah reguler kelak, bukankah anak kita dari pagi sampai siang harus duduk di kelas? Pas anak kita les, dia juga duduk di kelas kan?

Bayangkan kalo anak kita yang autisi, hiperaktif pula, gak fokus. Begitu disekolahkan kerjaannya mondar-mandir di depan kelas, mengganggu anak lain, atau lari-larian kesana kemari.

Bagaimana mungkin anak autis bisa menangkap pelajaran yang diterangkan guru-gurunya di depan kelas jika dia gak fokus? Makanya anak kita harus belajar betah duduk dalam waktu lama.

Kenapa sih anak autis harus dilatih kontak mata?

Ya gak mungkin dong anak kita bisa memerhatikan terapis jika kontak matanya gak fokus? Anak autis itu justru masalah utamanya pada kontak mata. Makanya Rashif sebelum diterapi, mau dipanggil puluhan kali pun anaknya gak mau noleh. Cuek bebek aja. Bebek asli aja mungkin kalo kita panggil berkali-kali mau menoleh. Hehehe.

Program dan aktivitas tidak akan bisa dikuasai anak ketika anak melihat kesana kemari, menggeliatkan badan, tidak betah duduk, malah berontak saat didudukkan.

Rashif mengalami kemajuan kontak mata secara bertahap. Mula-mula terapisnya melatih kontak mata satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, hingga maksimal lima detik. Kontak mata Rashif bertahan lima detik dengan nilai 100 persen itu memasuki bulan ketiga terapi di KIDABA.

Begitu kontak matanya sudah lima detik, terbukti program demi program yang diajarkan bisa dipahami Rashif dengan baik. Awalnya dia cuma bisa fokus membedakan satu bentuk, satu warna, satu benda, berkembang menjadi lima bentuk, lima warna, lima benda, dan begitu terus hingga bertambah banyak jumlahnya.

Kenapa sih anak autis harus dilatih patuh?

Patuh itu syarat anak kita bisa memahami program atau aktivitas yang diajarkan padanya. Kalo anak gak patuh, gak mungkin dong materi yang diajarkan bisa masuk di kepala.

Satu hal perlu diingat, Smart ABA tidak menggunakan hukuman (punishment) dalam bentuk apapun, tidak sekecil apapun, bahkan pura-pura mengacam, seperti gerakan seperti ingin menampar atau memukul pun tidak sama sekali.

Alasannya, hukuman-hukuman seperti itu hanya akan menimbulkan kekebalan pada anak. Mula-mula anak kita mungkin saja takut terhadap ancaman akan dipukul atau ditampar, tapi lama-lama anak akan santai saja dan tidak takut lagi.

Kalo sampai ada tempat terapi yang mengaku memakai metode ABA, tapi praktiknya menghukum anak, itu berarti mereka menggunakan metode ABAL-ABAL, bukan ABA.

Oleh sebab itu sebagai orang tua kita patut curiga mana kala mengantarkan anak kita ke tempat terapi di mana kita tak bisa melihat anak kita langsung. Kesannya seolah praktik di ruangan terapi tertutup.

Carilah tempat terapi yang memungkinkan orang tua tetap bisa memantau kondisi anaknya, tanpa mengganggu berjalannya terapi. KIDABA, tempat Rashif terapi misalnya menyediakan kamera CCTV dan monitor yang memungkinkan saya bisa mendengar dan melihat apa saja yang terjadi di dalam ruangan saat Rashif diterapi.

Nyaris tidak ada program dan aktivitas anak yang luput dari Smart ABA. Anak diajarkan seluruh aspek dalam kehidupannya, bahkan sesederhana teknik ritual tidur pada autisi, mengajarkan anak autisi cara menyeberang jalan, hingga toilet training.

Hasil akhir Smart ABA bukan sekadar anak yang tadinya tidak bisa bicara menjadi pandai bicara, tapi jauh lebih luas dari itu. Anak diajarkan membaca, menulis, bahkan menguasai pelajaran persis sama seperti yang diajarkan gurunya di sekolah. Ini semua bisa tercapai tentunya ketika anak kita ditangani oleh terapis dan dokter konsultan yang benar-benar memahami teknik ABA, bukan ABA-ABA-an.

Sejarah ABA (Metode Lovaas)

Ole Ivar Lovaas adalah seorang profesor, doktor, dan psikolog pertama di dunia yang berhasil membuktikan bahwa autisme bisa disembuhkan. Artikel ilmiahnya berjudul, Behavioral Treatment and Normal Educational and Intellectual Functioning in Young Autistic Children yang diterbitkan 1987 mendapat perhatian luas di seluruh dunia.

Akademisi University of California, Los Angeles (UCLA) ini dalam hasil penelitiannya melaporkan anak-anak autisme yang diberikan terapi intensif mampu bersekolah di sekolah reguler, bahkan mengejar ketertinggalan dari teman-teman sebayanya. Anak-anak autis tersebut pada akhirnya bisa berinteraksi dengan baik di rumah dan masyarakat.

Era 1960-an ketika Lovaas memelajari autisme, orang-orang waktu itu masih berkiblat pada Teori Freudian. Psikolog dan psikiater yang mengikuti teori ala Sigmun Freud ini percaya bahwa perburukan perilaku anak autis merupakan hasil hubungan buruk antara anak dan orang tua, terutama ibu dan anak.

Freud percaya anak menjadi autis karena kurang perhatian dan kurang kasih sayang dari orang tua. Akhirnya salah satu cara menyembuhkan anak-anak autis pada masa itu adalah memisahkan anak-anak autis dari orang tuanya dan menempatkan seluruh anak autis tersebut di satu tempat yang kurang lebih mirip rumah sakit jiwa.

Anak autis pada era 1940-1950-an seperti ‘dikutuk’ menjadi anak berpenyakit mental dan psikosis yang sulit membedakan dunia nyata dengan dunia imajinasi. Kurang lebih mirip lah dengan orang gila. Mereka tidak diperkenankan sering-sering bertemu dengan orang tuanya, bahkan ada yang hanya boleh dijenguk sekali dalam 2-3 tahun.

Lovaas sebaliknya mengambil pendekatan behavioris, yaitu analisis perilaku terapan atau ABA. Metode Lovaas menekankan perlunya pengulangan intensif di mana anak autis diterapi selama 35-40 jam seminggu oleh guru atau orang tua yang dilatih dengan metode tersebut.

Jadi, pada Metode Lovaas, orang tua justru dilibatkan dalam proses penyembuhan anaknya. Lovaas menemukan intervensi dini, ketika anak berusia di bawah 3,5 tahun menunjukkan keberhasilan penyembuhan terbesar.

Inti dari Metode ABA atau Metode Lovaas pada mulanya adalah pemberlakuan reward dan hukuman. Tujuannya supaya anak mempertahankan perilaku baik dan menghilangkan perilaku tidak baik dari dalam dirinya.

Profesor berdarah Norwegia – Amerika ini memecah keterampilan sosial anak menjadi aktivitas-aktivitas lebih kecil dan dapat dipelajari. Misalnya, keterampilan mencuci tangan diajarkan dalam rangkaian kegiatan yang lebih mudah dipahami, mulai dari menyalakan keran, menggunakan sabun, membasuh tangan, dan terakhir mengeringkan tangan.

Anak autis mula-mula diajarkan tugas sederhana, seperti duduk manis di kursi, kemudian melakukan kontak mata, dan pada akhirnya diajarkan berbicara.

Memang, ABA versi Lovaas era 1960-an pernah dikritik karena kesannya terlalu menghukum. Pada 1965, Majalah LIFE memuat artikel yang melaporkan dugaan Lovaas dan rekan-rekan penelitinya memberlakukan hukuman fisik terhadap anak-anak autis yang menjadi pasiennya.

Hukuman fisik tersebut diberikan untuk mencegah anak autis yang berperilaku melukai diri sendiri, seperti membenturkan kepala, dan atau menjerit-jerit. Majalah tersebut memberitakan Lovaas dan peneliti lainnya mungkin menampar anak-anak tersebut, bahkan memberi hukuman berupa sengatan listrik.

Seiring waktu, praktik-praktik seperti itu dihilangkan. Kini, Metode ABA atau Metode Lovaas hanya menggunakan penguatan positif berupa pemberian reward dan tanpa punishment. Reward yang diberikan berupa makanan, kasih sayang, dan gelitikan kecil untuk mengapresiasi anak autis yang menunjukkan perbaikan perilaku.

applied behavior analysis

Artikel Profesor Lovaas yang diterbitkan dalam The Journal of Consulting and Clinical Psychology (1987) melaporkan hasil penelitian terbaru terhadap 19 anak autis berusia 2-3 tahun yang menjadi obyek penelitian sejak 1970.

Anak-anak tersebut menerima terapi 40 jam seminggu selama beberapa tahun. Pada saat mereka berusia 7 tahun, sembilan dari 19 anak berhasil bersekolah di SD reguler dan IQ-nya meningkat 30 poin.

Sisanya adalah anak-anak yang hanya mendapatkan terapi 10 jam seminggu. Mereka hanya menunjukkan sedikit perbaikan intelektual dan sosial.

Pada 1993, Lovaas memantau lagi sembilan anak yang dinyatakan sembuh yang usianya sudah 13 tahun. Hasilnya, delapan dari sembilan anak masih bersekolah di sekolah reguler dan mempertahankan tingkat IQ-nya yang tinggi.

Lovaas menghabiskan biaya puluhan ribu dolar setahun untuk penelitiannya. Pada 1995, dia mendirikan Lovaas Institute di Los Angeles. Di sini para guru, profesional, dan orang-orang yang ingin belajar Metode ABA dilatih. Sampai saat ini belasan ribu anak autis di Amerika dinyatakan sembuh setelah menerima terapi Lovaas atau ABA.

rudy sutadi
dr Rudy Sutadi bersama Profesor Lovaas (dokumen pribadi dr Rudy)

Nah, salah satu murid Profesor Lovaas adalah dr Rudy Sutadi. Dokter yang dikenal sebagai Bapak ABA Indonesia ini pada mulanya belajar Metode Lovaas untuk menyembuhkan puteranya yang lahir 1994 dan didiagnosis autism spectrum disorder (ASD) pada usia dua tahun.

Berkat ketekunan dr Rudy, sang putera sembuh dan sekarang sukses menjadi dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Masya Allah.

Saya selalu percaya, Allah senantiasa menyertakan kemudahan di balik kesulitan. Apapun jalan berbatu yang harus saya tempuh demi mengantar Rashif ke Negeri Kesembuhan, saya akan lalui itu semua demi dia. Insya Allah, Rashif akan sembuh tanpa bekas. Amin Ya Rabbana.


26 responses to “Mengapa Harus ABA? Metode Terapi untuk Anak Autis”

  1. Setiap kali baca postingannya mba Mutia, selalu kayak belajar lagi ke sekolah. Kupas tuntas. Saya baru tahu kalau ABA yg terbukti ilmiah bisa menghilangkan autis tanpa bekas. Begitu juga dengan pentingnya membenahi kognitif anak. Informasi yang bagus banget, bakal saya ingat nanti kalau sudah menikah dan punya anak mbak.

    Like

  2. Caption IG-nya bikin meleleh. Sabar dan tetap semangat ya, Mbak, Semoga Dedek terus menunjukkan perkembangan yang positif. Bagi orangtua ABK satu perkembangan pada anak adalah anugerah ya Mbak, gak perlu dibandingkan. Apapun kemajuannya adalah prestasi. Keep positif. Sehat selalu buat Dedek Rashif.

    Like

  3. Memilih metode yg tepat memang wajib ya mba. Artikelnya jg komplit sekali. Semoga Rashif semakin menunjukkan perkembangan yang positif, dan semoga jg artikel ini bisa membantu para org tua lain yg sedang di situasi yg sama

    Like

  4. subhanallah mba mutia, apalah artinya saya dibanding mba mutia. sabar, ikhlas dan rela melepas semua hingar bingar me time demi kesembuhan anak. saya gak bisa nahan nangis nih, soalnya saya lagi stress juga ngadepin anak saya ang 4 tahun taoi tiap hari rewel terus. thanks for sharing this amazing story ya mba, insyallah kisah mba mengincourage ( menyemangati) kami para emak yang kadang letih dan pengennya kabur kalau anak sudah tantrum gak jelas. semoga Allah melancarkan segala usaha dan memberi kesembuhan pada Rashif. hug virtual

    Like

  5. Ikut merasakan apa yang dirasakan mbak Mutia semangat ya mbak pasti ada hikmah yang luar biasa..aku ngikutin lho perkembangan adik Rashif tiap mbak Mutia posting di IG . Alhamdulillah ya sudah banyak kemajuan ..semangat dan sehat selalu ya adik Rashif

    Like

  6. Betah duduk lama juga harus dipelajari ya, noted. Saya pikir gak cm untuk autisi, buat semua anak2 juga relate ini. Ah, nambah lagi pengetahuan tentang Applied Behavior Analysis (ABA) ini. Nice share, Muthe…^^

    Like

  7. masyaAllah tabarakallah,. setiap baca artikel autisi dari mbak mutia itu meningkatkan ilmuku banget deh mbak. aku selalu keingetan sepupuku yang sudah kadung autis tidak diobati belasan tahun lalu dan orang tuanya pun menutup diri dari ssekeliling. u are so strong ibun, bisa menghadapi semua dan tetap berbagi di blog..lanjutkan semakin banyak orang tua yang mudah2an aaware sm anaknya…aku jadi suka ngeliatin anak2 yang ga mau kontak mata jadinya..tetannggaku ada

    Like

  8. Baru tahu kalau anak autis bukan golongan keterbelakangan mental. Padahal mereka kayak punya dunia sendiri ya. Berarti peran orang tua dan orang sekitar nih yang harus dominan. agar mereka bisa hidup normal bersama kita.

    Like

  9. Mendidik anak autis menjadi tidak sulit setelah membaca ulasan kak mut… namun membutuhkan kesabaran dan melatih diri utk menjadi orang tua yg lebih baik… dan bener banget kak..jangankan utk anak autis…anak yg normal saja kalau dibanding2kan dengan anak yg lain pastinya akan merasa sebal dan jengkel ya kan…

    Like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.