https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Bukan Harta, tapi Pendidikan Investasi Terbaik untuk Anak Perempuan Kita.


Indonesia masih didominasi paham patrialisme. Suka atau tidak suka, fakta ini masih sering kita jumpai di lapangan, meski pemahamannya semakin bergeser ke arah lebih baik.

Selama ini saya melihat perempuan itu kesannya kok memiliki masa expired alias batas waktu untuk bekerja, apalagi untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, misalnya kuliah sarjana, master, atau doktoral.

Perempuan dihadapkan pada banyak pilihan. Bisa sekolah sampai SMA saja sudah luar biasa. Jika ingin melanjutkan pendidikan tinggi, apabila anak perempuan tersebut berasal dari keluarga tidak mampu, kuliah dipastikan sebatas impian.

Apabila anak perempuan berasal dari keluarga kurang mampu, tapi memiliki orang tua dengan pemahaman baik tentang pendidikan, maka kuliah bisa diusahakan. Apalagi jika si anak berasal dari keluarga mampu, sudah lah pasti pendidikan menjadi prioritas utama.

Oktober 2018 lalu saya berkesempatan menjadi satu dari sekian banyak peserta yang beruntung mengikuti seminar bertajuk Empowering Women in the Workplace dalam rangkaian Pertemuan Tahunan Bank Dunia (World Bank) – Dana Moneter Internasional (IMF) 2018 di Nusa Dua, Bali. Saya ingat betul waktu itu curhatan Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan kita.

Beliau mengatakan perempuan harus menghadapi banyak pilihan yang membatasinya untuk mengembangkan diri dan bekerja. Perempuan akan menikah, berkeluarga, mengandung, dan mempunyai anak. Jika perempuan tetap bekerja setelah menikah, maka kegiatan mengurus keluarga ini dianggap sebagai beban tambahan untuk mereka.

Ibu Sri Mulyani menilai sekiranya institusi, perusahaan, lingkungan kerja secara keseluruhan menciptakan ruang untuk perempuan dapat bekerja dengan nyaman, beliau percaya perempuan Indonesia dapat menunjukkan seluruh potensi yang dimiliki.

educenterid

Saya sepakat dengan pernyataan beliau. Tanpa dukungan dan kebijakan yang meringankan beban perempuan di rumah dan di lingkungan kerja, saya rasa sia-sia saja kita selama ini menggaungkan kesetaraan gender dalam pendidikan dan angkatan kerja. Percuma saja kita memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret setiap tahunnya.

Di tengah-tengah diskusi, Ibu Sri Mulyani kemudian menantang Ibu Christine Lagarde yang masih menjabat Direktur Pelaksana IMF kala itu terkait pemberdayaan perempuan. Beliau mengusulkan sekiranya pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan di rumah bisa dimasukkan ke dalam komponen produk domestik bruto (PDB) setiap negara alangkah potensialnya memajukan ekonomi bangsa di masa mendatang.

Gayung bersambut, Ibu Lagarde pun mempertimbangkan hal tersebut dan berencana mengumpulkan berbagai usulan untuk diinput ke dalam statistik IMF pada kesempatan berikutnya. Sejauh mana kemajuannya sampai sekarang? Tampaknya saya, kita semua yang membaca artikel ini masih harus bersabar.

Pendidikan adalah Investasi

Investor sekaligus filantropis asal AmerikaSerikat, Warren Buffet berulang kali mengatakan investing in youself. Perempuan bergelar sarjana tentu berpeluang lebih besar meraih pendapatan tinggi ketimbang perempuan yang hanya lulusan SMA atau SMK. Pendidikan dalam hal ini bisa meningkatkan level ekonomi perempuan.

Pendidikan juga bisa meningkatkan peran intelektual perempuan di masyarakat. Riset Bank Dunia secara global menunjukkan perempuan berpendidikan rendah lebih mungkin menikah pada usia dini, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hidup dalam kemiskinan, dan tidak bisa mengatur pengeluaran rumah tangga dengan baik.

Sekitar 65 persen perempuan yang hanya tamat pendidikan dasar lebih mungkin mengalami hal-hal merugikan di atas dibanding lima persen perempuan lulusan sekolah menengah.

educenterid

Satu dari lima anak perempuan di negara-negara berkembang hamil sebelum berusia 18 tahun. Artinya, jika kita ingin mengakhiri kemiskinan dan memastikan kesejahteraan penuh untuk perempuan, maka berinvestasilah pada pendidikan perempuan sejak mereka masih anak-anak.

Berikut saya akan memaparkan sederet fakta menarik yang menunjukkan betapa mirisnya nasib perempuan di dunia, termasuk Indonesia yang tidak dapat mengakses pendidikan layak. Fakta-fakta berikut sebagian besar saya kutip dari penelitian global Bank Dunia 2014.

1. Kesehatan dan gizi anak

Di Etiopia, anak yang lahir dari ibu lulusan sekolah dasar 39 persen berisiko lebih rendah mengalami gangguan pertumbuhan. Di Vietnam, anak yang lahir dari ibu berpendidikan menengah 67 persen berisiko lebih kecil mengalami gangguan pertumbuhan. Artinya, semakin tinggi pendidikan perempuan, semakin baik tingkat kesehatan anak yang dilahirkan.

Data Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) 2013 menunjukkan ibu dengan pendidikan rendah berisiko 42,7 persen melahirkan anak stunting, yaitu kondisi gizi buruk pada anak berusia di bawah lima tahun. Ibu dengan pendidikan menengah ke atas, atau pernah duduk di bangku SMP, SMA, hingga perguruan tinggi berisiko lebih kecil, sekitar 33,8 persen melahirkan anak stunting.

2. Hak seksual dan reproduksi

Hampir sepertiga wanita di 33 negara berkembang tidak dapat menolak aktivitas seksual dengan pasangan. Kasus serupa dihadapi 7 dari 10 perempuan di Nigeria, Mali, dan Senegal.

Lebih dari 41 persen perempuan di 33 negara berkembang ternyata tidak dapat meminta pasangan mereka menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Ini akhirnya meningkatkan jumlah kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk tak terkendali di sejumlah negara.

Sebanyak 700 juta perempuan tinggal di berbagai belahan negara di Benua Afrika. Satu dari tiga perempuan di sana pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Umumnya itu dilakukan suami atau kekasih mereka.

Rata-rata satu dari lima anak perempuan berusia di bawah 18 tahun di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia setiap tahunnya hamil dan melahirkan anak. Negara-negara berkembang di Asia Selatan menyumbang hampir 50 persen kehamilan usia remaja.

Dari persentase tersebut, hampir 70 ribu anak perempuan dengan rentang usia 15-19 tahun meninggal dunia saat menjalani kehamilan. Semua karena apa? Salah satunya tingkat pendidikan yang rendah.

3. Pendidikan dan lapangan kerja

Jumlah anak perempuan yang mengakses pendidikan tinggi di 33 negara berkembang semakin meningkat. Namun, pilihan pekerjaan untuk mereka tetap terbatas. Norma sosial dan norma hukum seakan berhak menentukan pekerjaan apa yang pantas untuk perempuan.

Kesan yang saya dapat adalah pegawai perempuan baru bisa mendapat posisi bagus setara pegawai laki-laki jika kinerjanya di tempat kerja dua kali lebih baik. Stereotipe seperti ini banyak dipraktikkan secara tak tertulis oleh perusahaan-perusahaan tempat bekerja.

4. Akses teknologi

Jumlah perempuan yang bisa mengakses internet di Afrika 32 juta jiwa lebih sedikit dibanding pria. Asia Selatan mencatat gap antara laki-laki dan perempuan yang bisa mengakses teknologi, khususnya internet mencapai 25 juta jiwa, sedangkan Timur Tengah mencapai 18 juta jiwa.

5. Penguasaan tanah dan lahan

Sekitar 80 persen tanah dan lahan di Afrika dikuasai oleh pria dan bersertifikat atas nama mereka, sementara lebih dari 70 persen perempuan di berbagai pedesaan Afrika bekerja di atas lahan-lahan tersebut.

Bagaimana kondisinya di Indonesia? Data validnya mungkin belum ada, tapi saya mencoba memberikan contoh sederhana.

Ketika saya dan suami memutuskan memiliki rumah 2017 lalu, kami membelinya dengan uang penghasilan kami dalam bentuk investasi bersama. Memang, jumlah uang yang saya miliki sangat sangat kecil dibanding penghasilan suami selama kami menikah.

Saat membuat sertifikat rumah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), notaris tanpa bertanya menuliskan semuanya atas nama suami. Saya pribadi memang tidak mempermasalahkan hal itu, toh kami ini pasangan menikah. Namun, itu hanya contoh kecil bagaimana perempuan masih dinomorduakan dalam berbagai hal.

Pendidikan adalah investasi terbaik bagi anak perempuan. Tak ada yang lebih berharga dari itu. Lewat pendidikan, anak perempuan bisa mengaktualisasi diri sesuai potensi masing-masing.

Memotivasi Perempuan untuk Berpendidikan

Pendidikan itu memang bukan cuma baca, tulis, berhitung saja. Namun, ketiga faktor tersebut bisa mengindikasikan kualitas pendidikan suatu bangsa.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menunjukkan masih ada 3,29 juta penduduk Indonesia yang buta aksara. Angka ini setara dengan 1,93 persen total penduduk Indonesia. Sebagian besar atau dua per tiga dari penduduk yang buta huruf adalah perempuan.

Itulah sebab mulai dari sekarang kita harus memotivasi perempuan, khususnya anak-anak kita untuk berpendidikan. Bagaimana caranya?

1. Menghadirkan sosok panutan atau role model

Kita perlu memastikan anak-anak perempuan kita memiliki sosok panutan yang memotivasi mereka untuk berpendidikan tinggi. Saya pribadi memiliki orang tua yang hanya lulusan SMA dan SMP. Namun, ayah ibu saya selalu mendorong anak-anaknya bersekolah hingga kuliah.

Kita harus lebih sering menceritakan kisah sukses perempuan-perempuan juara untuk memotivasi anak-anak perempuan kita. Ibu Sri Mulyani misalnya, perempuan Indonesia pertama yang bisa menduduki kursi direktur di Bank Dunia. Saya juga mengagumi sosok Malala Yousafzai, pejuang hak pendidikan untuk anak- anak perempuan di Lembah Swat, Pakistan.

Setiap hari Malala menyembunyikan buku-buku pelajaran di balik selendangnya dan tetap berjuang pergi ke sekolah. Ia hampir meregang nyawa saat melawan aturan ketat Taliban yang melarang anak perempuan mengecap pendidikan.

Perempuan-perempuan juara ini tidak harus bergelar sarjana, doktor, atau profesor. Banyak perempuan yang berpendidikan karena keterampilan dan leadership yang dimiliki. Mereka juga bisa menginspirasi anak-anak perempuan zaman sekarang.

Sebut saja Ibu Susi Pudjiastuti, mantan menteri kelautan dan perikanan kita yang lulusan SMA. Ada juga perancang busana kebaya Indonesia, Ibu Anne Avantie yang hanya bersekolah hingga SMA.

educenterid

Semakin sering kita menampilkan sosok perempuan sukses dan berpendidikan, semakin banyak kelak anak perempuan kita ingin menjadi seperti mereka. Secara langsung kita mengelilingi puteri-puteri kita dengan sosok yang membawa energi positif dalam kehidupannya.

2. Meningkatkan jejaring pegiat pendidikan

Saya tahu banyak orang pintar di negara ini. Saya yakin sudah banyak yang memulai menguatkan jejaring untuk memperluas akses anak perempuan bisa berpendidikan. Banyak pegiat pendidikan juga masyarakat bisa membangun jejaring taman bacaan, rumah baca, perpustakaan keliling, dan sebagainya.

Di Bali, saya sering berkunjung ke Taman Baca Kesiman, salah satu taman baca yang misinya bukan cuma menumbuhkan minat baca masyarakat, tapi juga meningkatkan literasi masyarakat secara umum. Ada lebih dari 2.500 koleksi buku berbagai genre bebas dibaca pengunjung di sini.

Bali juga menggagas Gerakan Bali Membaca, dipelopori salah satu tokoh perempuan yang saya kagumi, Ni Putu Suaryani. Beliau memayungi lebih dari 50 ribu anak seluruh Bali dengan rentang usia 7-12 tahun.

Selain mendorong minat baca, Ibu Ani juga memotivasi anak-anak asuhnya untuk terus belajar dan berbudi pekerti baik. Gerakan ini melingkari anak-anak sejak usia dini dengan mencerdaskan mereka lewat bacaan-bacaan informatif.

3. Kebijakan lebih fleksibel untuk perempuan bekerja dari rumah

Setuju tidak jika perempuan layak bergaji setara pegawai laki-laki, meski harus bekerja dari rumah? Saya membayangkan seperti apa yang diidamkan Ibu Sri Mulyani bahwa pekerjaan rumah tangga kelak dapat dimasukkan ke dalam komponen PDB.

Saya bersyukur dulu pernah bekerja di perusahaan yang memberi fleksibilitas tinggi untuk karyawan perempuan. Ini pula yang membuat saya betah bekerja hingga sembilan tahun di perusahaan sama.

Perusahaan tempat saya bekerja dulu memberi kelonggaran bagi karyawan perempuan yang hamil, menyusui, datang bulan, sedang sakit, atau ada keperluan mendadak, misalnya suami atau anak sakit.

Karyawan perempuan bahkan diperkenankan membawa anak ke kantor selama yang bersangkutan tetap bekerja optimal. Pihak kantor menyediakan ruang ibadah yang nyaman, termasuk di dalamnya ruang menyusui.

Perempuan membutuhkan lebih banyak opsi karena menjalankan banyak peran sekaligus. Perempuan selain bekerja, juga menjadi istri dan ibu rumah tangga. Sesekali mereka menjadi kurang aktif karena kewajiban di rumah.

Dunia bisnis dan dunia kerja perlu memberikan opsi lebih fleksibel bagi perempuan untuk memotivasi mereka tetap bekerja secara profesional dan berkelanjutan. Perempuan demikian akan melahirkan anak-anak cerdas, dan secara bersamaan membantu menopang ekonomi keluarga.

4. Peningkatan pekerjaan bergaji tinggi bagi perempuan

Perempuan layak dipromosikan posisi tinggi level manajemen dan eksekutif di semua jenis pekerjaan. Bukankah diversifikasi kepemimpinan justru menguntungkan perusahaan? Diversifikasi ini dalam jangka panjang akan berkontribusi mengidentifikasi isu-isu diskriminasi di tempat kerja.

Kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan. Perempuan bukan cuma obyek pasif, melainkan subyek pembangunan. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan dan diperbanyak lagi pekerjaan-pekerjaan bergaji tinggi untuk perempuan.

Perempuan didorong aktif bekerja di berbagai sektor, apakah itu ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Saya tahu pemerintah serius membahas ini di berbagai lini diskusi, tapi bagaimana dengan implementasinya di lapangan?

5. Dukungan lembaga pendidikan

Kita perlu menjamin kesempatan untuk anak perempuan mengenyam pendidikan setara anak laki-laki. Anak perempuan harus mendapatkan pendidikan minimal 12 tahun.

Anak-anak perempuan perlu didukung untuk ikut serta dalam kegiatan di luar sekolah yang biasanya lebih banyak diikuti anak laki-laki. Mereka bisa kok memiliki keterampilan menerbangkan pesawat, jago matematika, bermain musik, berenang, memahami coding, dan sebagainya sebagaimana anak laki-laki.

Indonesia punya regulasi lengkap yang mendukung kesetaraaan pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan. Posisi paling atas nih, ada pasal 31 UUD 1945 yang tidak membedakan hak mengenyam pendidikan antara perempuan dan laki-laki.

Ada juga UU Nomor 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU Nomor 7/ 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Penguatannya sampai ke level instruksi presiden loh. Ada Inpres Nomor 9/ 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.

Lagi-lagi saya bertanya, bagaimana dengan implementasinya di lapangan?

EduCenter Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak

Perluasan pendidikan untuk anak perempuan memerlukan kerja sama tiga pihak (tripatrit), yaitu keluarga/masyarakat, sekolah/ lembaga pendidikan, dan pemerintah pusat/ daerah. Kali ini saya akan membahas dari pihak sekolah atau lembaga pendidikan secara umum.

Ada tiga hal yang bisa dilakukan pihak sekolah dan lembaga pendidikan. Pertama, membuka akses pendidikan untuk siapa saja tanpa memandang gender. Hal ini perlu tersosialisasi dengan baik untuk seluruh siswa di lembaga pendidikan tersebut.

Kedua, menyiapkan kurikulum dan bahan pelajaran sekolah yang responsif gender, bukan malah bias gender. Ketiga, menyiapkan iklim lingkungan sekolah yang peka terhadap gender awareness, sehingga pendidikan yang menyetarakan seluruh gender bisa terlaksana dengan baik.

Keempat, sekolah atau lembaga pendidikan perlu memiliki statistik pendidikan yang berwawasan gender di ruang lingkup tersebut.

educenterid

Educenter merupakan mall edukasi pertama di Indonesia yang mengusung konsep one stop excellence of education. Keempat hal penting yang saya paparkan di atas semuanya terpenuhi di lembaga pendidikan satu pintu ini.

Apa keistimewaan EduCenter?

Lebih dari 20 institusi/ lembaga pendidikan, tempat kursus, dan satu pre-school berada di sini. Kita mengetahui orang tua zaman sekarang tak hanya sekadar menyekolahkan anak-anaknya saja. Waktu luang anak dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kegiatan bermanfaat dan menyenangkan, misalnya kursus.

Studi EduCenter menunjukkan seorang anak atau murid sekolah dasar rata-rata mengikuti 2-3 kursus setiap hari sepulang sekolah. Pilihannya beragam, mulai dari kursus bahasa Inggris, bahasa Mandarin, musik, matematika, menggambar, balet, dan berenang.

Murid SMP rata-rata mengambil 1-2 kursus setiap hari, khususnya bahasa inggris, mandarin, matematika, fisika, dan musik. Terakhir, muris SMA rata-rata mengambil 1-2 kursus setiap  hari, mulai dari matematika, fisika, kimia, bahasa inggris, dan mandarin.

Gedung bertingkat tujuh yang berada di Kawasan BSD City ini menaungi sejumlah tempat kursus, di antaranya Apple Tree Pre-School, Shane Learning Centre, Flamingo Studio, FlyBest, Wow Art Studio, Nutty Scientist, Binary Kiddo, Calculus, Farabi Music School, dan CMA Mental Arithmetic.

Di EduCenter, orang tua dan anak bisa menghemat waktu untuk menjalani segala bentuk pendidikan dan kursus yang disukai, tanpa membeda-bedakan gender. Anak laki-laki mau kursus balet? Bisa. Anak perempuan ingin menjadi pemain drum dengan kursus di Farabi Music School? Bisa. Anak perempuan ingin terampil menerbangkan pesawat? Boleh ikut kursusnya di FlyBest. Semuanya responsif gender.

Pendidikan terintegrasi satu atap membuat orang tua dan anak lebih banyak memiliki waktu berkualitas. Macet di jalan tak lagi menjadi alasan. Orang tua juga tak perlu waswas sebab bisa mengawasi buah hati. Anak-anak pun pada akhirnya mendapat pengalaman belajar terbaik.

educenterid

Jadi, siapa bilang warisan terbaik untuk anak perempuan kita sebatas harta? Harta bisa habis, tetapi yang namanya ilmu pendidikan tetap abadi bahkan setelah kita mati.


114 responses to “Bukan Harta, tapi Pendidikan Investasi Terbaik untuk Anak Perempuan Kita.”

  1. Aku terinspirasi dengan teman-teman yang bisa membuka taman bacaan dan ibu di Bali tadi yang membuat gerakan Bali Membaca. Sekitar 2016, aku pernah menerapkan taman bacaan di Sekayu, tapi kepentok dana dan kami yang nomaden. Semoga suatu saat nanti bisa memulai kembali.

    Like

  2. sebagai anak perempuann tertua di keluarga, aku mulai belajar menerima posisi ini bagaimana di keluarga, selain itu memahami kodrat wanit sesungguhnya di keluarga kecilku sebagai ibu dan istri. Hanya, cara aku mendapatkan ilmu pengetahuan dan agama bisa tetap dilakukan, misal ikutan kelas online, gabung komunitas, nonton di youtube dll

    Like

  3. sama seperti kata orang pinter jaman sekarang. jangan beri ikan tapi berikanlah pancingnya. ini juga sama, dengan pendidikanyang cukup dan tinggi mereka dapat gunakan untuk bekal bekerja kelak

    Like

  4. bener banget mba, perempuan adalah peradaban. anak dididik dari seorang ibu. kalau ibunya cerdas insyaallah anakpun juga. jadi sebisa mungkin ibu ya harus sekolah dan harus berpendidikan. dari kecil bener ya harus ada pendidikan biar pas dewasa nanti sudah menjadi perempuan yang cerdas. makasih mba pengingatnya.

    Like

  5. setuju sista, aku jg ngerasa bhw ortu aku sangat memberikan pelajaran dan memberikan pendidikan dr kecil hingga kuliah. Trnyta benar itu adalah warisan yg paling terbaik dbnding yg lain (Gina)

    Like

  6. Perempuan itu memang istimewa. Perannya saat menjadi Ibu tidak hanya melahirkan dan menyusui, tetapi jadi pendidik, koki handal, manager keluarga juga bendahara yang super. Jadi pendidikan untuk anak perempuan tetap penting dan mendukung masa depan kelak.

    Like

  7. Beberapa role model perempuanku juga salah satunya mendapatkan pendidikan tinggi dan menyukai hal2 dlm pendidikan, kurasa memang penting sekali untuk jumlah perempuan dlm pendidikan lebih dibanyakin sekarang

    Like

  8. Wah menarik nih mba membahas pendidikan untuk anak perpuan. Menurutku jan now pendidikan penting banget buat anak perempuan kita. Saya juga msh cari2 nih yg cocok dgn minat dan bakat anak perempuanku. Cb nnti aku browsing edu center ya mba. Mksh infonya ya…

    Like

  9. aku pernah baca artikel bahwa kecerdasan anak berasal dari genetis ibunya, artinya jadi seorang wanita itu harus cerdas termasuk berpendidikan tinggi untuk melahirkan generasi yang cerdas

    Like

  10. Secara kemampuan, wanita tidak kalaj dengan laki-laki. Hanya saja secara kodrat memang ada bedanya. Setinggi2nya karier perempuan, ketika dihadapkan dengan pilihan harus di rumah untuk mengurus anak memang tidak bisa mengelak. Tapi memang sangat berbeda antara perempuan yang memiliki kesempatan mengeyam pendidikan tinggi dengan yang tidak, meskipun sama2 tinggal di rumah. Banyak yang meskipun tinggal di rumah tetap bisa mengaktualisasikan diri dengan bekal ilmu yang dimiliki. Dan benar, pendidikan adalah kunci.

    Like

  11. Setuju! (Sambil berdiri dan berteriak). saking semangatnya aku nih mbak kalau baca tentang perempuan gini. Kemarin aku juga baru baca buku tentang gender. Memang perempuan itu satu-satunya jalan untuk menghadapi bias gender dimasyarakat adalah dengan jalan pendidikan.

    Like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.