https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Hati-Hati! Masalah Keluarga Ini Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak.


Bukan cuma orang tua saja yang rentan stres dalam berumah tangga, anak-anak juga. Hanya saja cara anak memahami masalah keluarga yang terjadi di antara kedua orang tuanya berbeda. Mereka bisa menunjukkannya dalam bentuk emosi atau perilaku.

Ketika anak melihat kedua orang tua tersayang bertengkar misalnya, banyak hal bisa terjadi. Pertama, anak menyalahkan diri sendiri atas konflik orang tuanya. Kedua, anak bisa menunjukkan perilaku antisosial, cuek, tak mau tahu, dan melarikan diri ke hal-hal yang berisiko, seperti rokok dan narkoba. Ketiga, anak depresi dan mengalami masalah emosional lainnya.

Masalah Keluarga yang Pengaruhi Kesehatan Anak

Masalah keluarga dalam bingkai kehidupan keluarga modern masa kini bentuknya sangat banyak. Tentu saja ada berbagai sebab pasangan menikah bertengkar, berdebat, dan bertikai. Namun, sadarilah, anak-anak kita juga menanggung risikonya.

Berikut adalah bentuk-bentuk masalah keluarga paling sering terjadi yang memengaruhi langsung kehidupan anak.

1. Perpisahan atau perceraian

Anak yang dibesarkan di rumah bak istana megah sekali pun, ketika rumah tangga orang tua didera perceraian dan perpisahan, emosional dan mental anak langsung terpukul. Anak-anak diserang rasa bersalah, khawatir akan masa depan, takut akan bayangan-bayangan buruk yang akan terjadi, mereka juga bisa menyalahkan diri sebagai penyebab perpisahan ayah ibunya. Masalah kesehatan mental yang mungkin berkembang adalah depresi, kecemasan, dan gangguan makan.

Tak peduli seberapa pintarnya kita memasang mimik wajah bahagia, anak-anak tetap bisa membaca orang tuanya tengah bersandiwara dan menipu diri sendiri. Tidak ada yang namanya ‘baik-baik saja’ dalam perceraian.

Betapapun baiknya orang tua bercerai, betapapun keduanya berkomitmen mengurus anak berdua, yang namanya perceraian tetap tidak baik di mata anak.

Anak-anak dari pasangan bercerai lambat laun belajar beradaptasi dengan kehidupan baru kedua orang tuanya. Hal-hal menjadi rusak apabila kedua orang tuanya yang bercerai terus berkonflik dan melukai hati anak-anaknya.

2. Kematian

Kematian, apakah itu kepergian ayah, ibu, nenek, dan anggota keluarga lain yang disayang bisa memengaruhi psikologis anak. Sebagian besar anak-anak baru mengenal konsep kematian setelah berusia lima tahun.

Jika anak menghadapi kematian orang tersayang saat usianya masih kurang dari lima tahun, dia mungkin mengalami kesedihan atau depresi dalam jangka waktu lama. Gejala umum terjadi adalah nafsu makan berkurang dan tidur tidak nyenyak.

Anak bisa mungkin menyangkal kepergian dari orang yang disayanginya. Mereka tidak terima jika ayahnya, ibunya, atau neneknya pergi meninggalkannya. Jika ini terjadi, keluarga yang masih ada perlu mempertimbangkan mencari bantuan medis segera.

Tunjukkan dukungan kita dengan mendengarkan emosi dan perasaan anak. Coba mencari konselor atau bantuan dokter jika diperlukan.

Kematian orang tua adalah peristiwa kehidupan paling menegangkan bagi anak. Setelah orang tuanya meninggal, beberapa anak tinggal bersama orang tua yang tersisa. Beberapa lain tinggal bersama ibu tiri, ayah tiri, kakek nenek, om tante, saudara kandung, atau orang tua angkat.

Beberapa anak yang kehilangan orang tua berada dalam kondisi traumatis. Mereka bisa mengalami gangguan kesedihan berkepanjangan. Anak sulit menerima kepergian orang tuanya dan sulit melanjutkan hidup. Anak merasakan pahitnya kehidupan dan merasa hidupnya semakin tak berarti.

3. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT bisa dialami anak pada usia masih sangat muda. Anak bisa jadi bukan obyek penderita, namun dia menjadi orang yang menyaksikan hal itu terjadi pada orang tuanya, seperti ayah yang mengasari ibunya.

Kekerasan dalam rumah tangga tak ubahnya seperti pola perilaku yang dibangun bertahap dari waktu ke waktu. Anak-anak yang tinggal di rumah penuh kekerasan lambat laun akan mengalami kekerasan dengan berbagai cara.

Kadang anak terluka fisik, merasa dilecehkan secara verbal, atau merasa diintimidasi. Anak mendengar teriak kesakitan setiap harinya, melihat orang tuanya berkelahi, melihat ibunya menangis, mendengar suara-suara orang terluka. Semua ini mengancam kesehatan, menimbulkan ketakutan, dan stress anak.

Ada banyak cara membantu anak-anak terhindari dari dampak kekerasan dalam rumah tangga. Pastikan saja kita baik-baik menjaga diri kita, sehingga kita pun akan baik-baik saat merawat anak kita.

4. Kemiskinan

Kemiskinan berdampak banyak pada kesehatan fisik dan mental anak. Bukti yang menghubungkan kemiskinan dengan gizi buruk anak sudah sangat banyak.

Faktor kemiskinan bisa mendorong anak lahir dengan berat badan rendah. Anak menderita gizi buruk, obesitas karena lebih sering makan makanan tak sehat, dan orang tua tidak mampu memberikan nutrisi cukup untuk anak.

Kondisi perumahan kurang memadai, orang tua yang tunawisma, stres, makanan sedikit, semua memengaruhi kesehatan fisik dan mental anak-anak dengan berbagai cara. Keluarga kurang mampu membutuhkan uluran tangan sekitarnya. Ketika keluarga berpenghasilan rendah memiliki sedikit uang lebih, mereka biasanya akan membelanjakan uangnya untuk hal-hal baik, seperti pakaian layak untuk anak, buah-buahan, sayuran, susu, dan obat-obatan.

5. Uang

Konflik keluarga yang dipicu uang tak melulu berpangkal dari faktor kemiskinan. Uang di sini mulai dari memperebutkan warisan, konflik tentang siapa yang akan membiayai hidup orang tua yang sudah lansia, atau membiayai tagihan rumah sakit mereka.

Keluarga yang berkonflik karena uang memang paling menyakitkan dan bisa sangat menghancurkan. Tanpa sadar mereka mempertontonkan perselisihan tak sehat di depan anak-anak. Itu sebabnya mengapa masalah seperti ini harus ditangani dan diselesaikan secepat mungkin.

6. Problem mertua menantu

Konflik ini sepatutnya tak ada. Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa problem dengan mertua tekanannya terlalu nyata dan susah berakhirnya. Bentuknya mulai dari konflik ibu mertua dengan menantu perempuan, konflik menantu laki-laki dengan ayah dan ibu mertua, bentrokan kepribadian, dan sebagainya.

Menikah dengan orang yang kita cintai tentu saja membawa kebahagiaan tersendiri. Namun, kita bukan hanya menikah dengan pasangan kita, melainkan juga dengan keluarganya. Ketika hubungan pernikahan tak lagi harmonis karena konflik dengan mertua, anak biasanya ikut terimbas ketidakharmonisan itu.

Anak mulai merasakan ada yang aneh dengan kedua orang tuanya dan mencari tahu sebabnya. Mereka akan semakin bingung ketika mengetahui ibunya cekcok dengan neneknya, atau ayahnya cekcok dengan kakeknya.

7. Hidup dengan orang tua tiri

Adopsi anak sudah sering dilakukan keluarga-keluarga masa kini, terutama pasangan yang sudah lama menunggu kehadiran buah hati. Namun, bagaimana dengan anak yang karena kondisi tertentu harus belajar menerima kehadiran ayah atau ibu tiri? Ini tentu saja hal serius dan emosional.

Anak-anak cenderung tidak suka tinggal serumah dengan orang tua tiri, terlebih jika anak sudah bisa membedakan konsep orang tua kandung dan orang tua tiri. Apalagi jika orang tua tirinya membawa serta anaknya dari pernikahan sebelumnya.

Jika masalah semakin memburuk, kakek nenek, om tante, dan pihak keluarga lain yang ikut campur bisa menciptakan konflik lebih lanjut antara anak dan orang tua tiri dan orang tua biologisnya.

Jauhkan Anak dari Masalah Keluarga

Tak ada solusi mudah untuk masalah keluarga. Siapapun pasti akan mengusahakan penyelesaian secara internal. Jika cara ini gagal, akan lebih bijaksana melibatkan seorang profesional untuk menemukan resolusi konflik. Bagaimana cara menjauhkan anak-anak kita dari masalah keluarga yang berujung konflik?

1. Terbukalah

Masalah keluarga semakin mudah dihindari ketika semua orang mau belajar merasakan perasaan orang lain. Sekiranya kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan dan mengomunikasikan apa yang kita rasakan kepada pasangan, konflik-konflik kecil tak akan berubah menjadi konflik lebih besar.

Jangan lari dari masalah. Jangan menghindar ketika diajak berdiskusi. Ketika dua hal itu kita anggap tabu, tidak akan ada yang namanya solusi. Anak-anak akan semakin lama menyaksikan ketidakharmonisan kedua orang tuanya.

2. Sensitiflah

Setelah kita belajar mendengarkan dan mengomunikasikan perasaan kita, penting juga menjadi seorang yang peka dan sensitif. Tetapkan aturan dasar saat kedua belah pihak bersepakat menyelesaikan masalah, misalnya tidak ada yang berteriak-teriak, tidak ada yang menangis histeris, tidak ada yang menyalahkan salah satu pihak, tidak berdebat di depan anak. Beri sedikit jeda untuk diskusi dan tekankan pentingnya menyelesaikan konflik secara damai.

3. Jadilah tim

Jangkau solusi sebagai sebuah tim. Cobalah untuk bernegosiasi dan terbuka untuk solusi baru. Setiap orang harus mengidentifikasi langkah dan tindakan apa yang diambil untuk menyelesaikan masalah. Masing-masing orang bertanggung jawab atas masalah dan mau melakukan perubahan bersama.

4. Bicara dengan anak

Studi menunjukkan hanya lima persen orang tua yang benar-benar mau duduk, menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa kedua orang tuanya sudah berpisah atau bercerai. Sisanya orang tua memilih tidak mengatakan apa-apa, memilih membiarkan anak-anak dalam kebingungan.

Beri tahu anak dalam bahasa sangat sederhana, apa arti perceraian, dan bagaimana perpisahan itu kelak memunculkan perubahan. Ketika orang tua memilih tidak menjelaskan apa-apa pada anak, anak-anak akan merasa cemas, kesal, kesepian, dan semakin sulit menerima perceraian kedua orang tuanya.

5. Jadilah orang tua baik di mata anak

Di tengah rasa marah dan sakit hati, ibu atau kaum wanita akan aktif menjauhkan anak-anaknya dari ayah kandungnya. Ketika ibu terluka, memang wajar berpikir tak ingin meliat mantan suami lagi, namun pilihan ibu belum tentu pilihan terbaik buat anak. Anak justru semakin membutuhkan sosok ayahnya ketika kedua orang tuanya berpisah.

Ketika hubungan anak dan ayah tetap berjalan sesuai koridor, anak-anak kita akan tumbuh menjadi remaja yang baik hingga mereka menikah dan membentuk keluarga sendiri. Keterlibatan ayah ini bukan hanya kehadiran fisik, namun juga terkait dengan fungsi akademik, teman bermain, teman curhat. Jadilah ayah yang hadir untuk anak-anaknya secara fisik dan emosional.

6. Jaga kesehatan mental kita

Jika depresi, cemas, marah terus membanjiri hati kita, minta bantuan profesional. Ingat, kesehatan mental kita berdampak pada kesehatan mental anak-anak kita.

Anak harus merasa mereka tak sendirian di dunia ini. Ada orang tua yang selalu hadir menjadi sistem pendukung terbaik. Semua ini akan mengantar anak-anak kita tumbuh sehat secara fisik dan psikologis.


26 responses to “Hati-Hati! Masalah Keluarga Ini Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak.”

  1. Setiap keluarga memang pasti ada masalahnya masing-masing ya, Mbak Mutia. Dan di sinilah peran orang tua untuk tetap ada di samping anak untuk memberikan pengertian dan sebagai teman. Karena masalah-masalah di atas itu, solusinya bisa dari memberikan rasa pengertian dan semangat. Misalnya masalah kurang mampu. Dengan memberi pengertian, anak akan mengerti dengan kondisi ekonomi orang tuana juga.

    Like

  2. Saya belajar banget dari orangtua saya kalau berantem sama pasangan ga boleh didepan anak-anak karena akan pengaruh banget. Makasih ya mb udah kasih tips-tipsnya juga jadi makin tau deh gimana caranya jadi keluarga yang nyaman untuk perkembangan mental anak-anak

    Like

  3. Yg paling menarik perhatianku poin 5, Menjadi Orang Tua Baik di Mata Anak. Rasanya ini adalah cita-cita semua orang tua ya mba. Kadang, ada kecemasan tersendiri, apa kita udah jadi orang tua yg baik bagi anak? Terlepas dari orang tua divorce atau enggak ya..

    Like

  4. Saya sering menemukan kasus seperti disebutkan dalam artikel ini di sekitar saya. Apakah itu dikarenakan menikah saat belum siap ya.

    Like

  5. Masalah orang tua tiri ini memang sangat susah diterima anak mbak. Apalagi orang tua tiri karena orang tuanya bercerai bisa 10 kali lebih susah daripada orang tua tiri karena salah satu orang tuanya meninggal.

    Like

  6. Di dalam film dan novel terpampang nyata keadaan psikologis anak pasca orangtua cerai, gak harmonis,
    Aku belum pernah nemu langsung sih di dunia nyata, semoga nggak karena suka gak tegaa.
    Sama dul aja aku suka kasihan, pas zaman drama antara dani-mulan-maya dulu, pas si dul pernah di hipnotis uya kuya, dan dia pengen ayah bunda nya bersatu.
    Mungkin dulu karena dia masih kecil dan lihat bundanya sendiri, sekarang mungkin gak kekgitu lagi tapi siapa yg tahu luka di hati nya
    Semoga dijauhkan dari hal hal kekgini pas aku udah berumah tangga nanti
    *panjang mulu komen aing kalau di blog mbak mute 🤣

    Like

  7. Memang masalah keluarga akan sangat mempengaruhi kesehatan anak, jadi lebih baik jangan di depan anak kalau ada permasalahan dibicarakan jauh dari anak . Apabila memang anak harus tahu maka diberi sedikit pengertian ke anak sehingga tidak sampai terganggu kesehatan anak, karena melihat permasalahan orangtua

    Like

  8. Wah bener banget kak apalagi kalau anak melihat kdrt didepan mata yg dilakukan kedua ortunya..waduh traumanya sampe besar itu dan susah ngelupainnya. Jadi ortu itu ga gampang ya apalagi klo dikasih titipan anak ..harus bisa jadi contoh yg baik supaya anaknya mentas dengan selamat .

    Like

  9. Masalah selalu hadir dalam kehidupan. Dari masalah yang muncul kita dan anak-anak bisa belajar tentang lika liku hidup dan cara menghadapinya. Selalu mengajarkan anak untuk dekat dengan Tuhan dan menyikapi segala sesuatu dengan mengambil hikmah positif di dalamnya adalah cara bijak agar anak tidak terpapar hal negati yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya. Intinya komunikasi yang baik dengan anak sih ya.

    Like

  10. Saya mengenal keluarga yang penghasilan pas-pas bahkan terkadang nggak ada penghasilan. Tapi begitu dikasih job, si ayah langsung membeli minuman keras dan rokok, sisanya hanya sedikit diberikan pada isteri. Sang isteri protes ke pemberi kerja karena upah yang terlalu kecil, tanpa ia tahu kalo upah yang diberikan suami udah nggak utuh. Akhirnya, orang-orang malas ngasih job ke suaminya. Kejadian gini banyak saya temui di lapangan..

    Like

  11. Saya ditinggal almarhum papa udah usia 29 tahun saja, rasanya masih trauma, apalagi yang masih kecil. Setiap kali mendengar anak-anak yang kehilangan orang tua, saya merasakan kesedihan mendalam mereka sama seperti yang saya rasakan 15 tahun yang lalu.

    Like

  12. Jangankan kok sampai berbagai masalah rumah tangga yang level parah seperti yang mb Muti sampaikan, ketika anak melihat orang tua berantem karena hal sepele saja sudah ngedrop kok si anak. Lanjutannya, anak bisa susah makan dan kualitas istirahatnya tidak optimal.

    Like

  13. Setiap keluarga pasti punya masalah dengan tingkat kerumitan yang berbeda. Gimana cara penyelesaiannya itu tergantung dari orang tuanya. Ada yang dengan cara kekerasan, kelembutan, bijaksana, bijaksini dan lainnya. Tapi yang pasti, ketika kita menyelesaikan sebuah masalah yang cukup pelik dan serius, sebaiknya jangan libatkan anak-anak yang masih kecil, karena mereka belum ngerti apa-apa.

    Like

  14. Setiap keluarga pasti punya masalah dengan tingkat kerumitan yang berbeda. Gimana cara penyelesaiannya itu tergantung dari orang tuanya. Ada yang dengan cara kekerasan, kelembutan, bijaksana, bijaksini dan lainnya. Tapi yang pasti, ketika kita menyelesaikan sebuah masalah yang cukup pelik dan serius, sebaiknya jangan libatkan anak-anak yang masih kecil, karena mereka belum ngerti apa-apa.

    Like

    • Bener nih mba. Sebisa mungkin kita memposisikan diri sebagai teman dan sahabat bagi anak kita ya mba. Jadi bisa lebih terbuka dan bisa mencari jalan keluar terbaik dari setiap permasalahan yang ada

      Like

  15. Seperti pada umumnya dlm berumah tangga, terjadi pertengkaran itu sangat wajar. Namun dlm rumah tangga kami, jika terjadi pertengkaran tidak pernah lama.

    Dan jika terjadi pertengkaran hebat, kami tidak pernah di depan anak-anak. Karena hawatir dapat mengganggu mentalnya

    Like

  16. Memang harus menyadari sih tanggung jawab sbg orang tua itu besar, terutama utk anaknya. Titipan Tuhan pula, harus dijaga dgn sebaik-baiknya, tar terkecuali urusan mental dan traumatis anak. Pasang surut hubungan mungkin biasa, tp sebisa mungkin menganggu pertumbuhannya

    Like

  17. Sikap terbuka dari orang tua terhadap anak adalah hal yang sangat diperlukan. Kalau boleh cerita nih Uni, saya anak pertama, sebagai anak pertama tentu punya tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kedua orang tua. Dan sulitnya kalau orang tua menutup-nutupi dan memiliki versinya masing-masing, akhirnya jadi susah menentukan pendekatan yang bagaimana.

    Like

  18. Kekerasan dalam rumah tangga iya banget Ni mempengaruhi kesehatan anak. Apalagi kl sampe dipukul dan meninggalkan bekas aduhh parah ya… itu gak perlu alat bukti lain pelakunya wlwpun orang tua kandung kl dilaporkan dilangsung ditanggapi yg berwajib deh

    Like

  19. Nah kalau kata mamaku, sebisa mungkin masalah di dalam keluarga, jangan sampai anak tahu, terutama anak-anak yang masih berusia di bawah 10 tahun agar mereka tak terkena dampaknya. Bahkan pertengkaran orangtua, sebaiknya anak ya tak perlu tahu juga. Dampak ke anak itu bisa terbawa nanti sampai mereka besar lho

    Like

  20. Aku ga kebayang sama anak yang orang tuanya sudah lama berpisah, pasti dibenak pikiran anak akan terbawa hingga dewasa.

    Like

Leave a reply to Bambang Irwanto Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.