https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Terima Kasih, REPUBLIKA! (Resign Kerja)


Lulus kuliah 2010 alhamdulillah gak pake nganggur, saya langsung bekerja di Agroedutourism (AET), Direktorat Bisnis dan Kemitraan IPB (sekarang namanya Direktorat Pengembangan Bisnis dan Kewirausahaan). Dunia terasa sangat indah #Eaaa Maklum, saya paling junior dan umurnya paling kecil waktu itu.

Saya merasa diterima dan disayang banget sama teteh, mba, dan mas di sana. Ada Mba Wina, Mba Noni, Teh Ulfah, Mba Ana, Mas Anton, ditambah pimpinannya baik-baik banget masya Allah, ada Pak Meika Syahbana Rusli dan Pak Heri Ahmad Sukria. Pembimbing AET idola saya, Bu Harini dan Pak Bambang. Pokoknya betaaaaah banget.

Sebagai sarjana anyar dan umur masih muda (uhuk! uhuk!), mendadak pisah dari lingkungan kampus jelas berat banget. Apalagi harus keluar dari Bogor. Makanya begitu ada tawaran kerja di rektorat langsung saya terima. Kenapa harus ditolak jika saya tetap bisa ngekos dekat kampus, biaya hidup murah, bisa ketemu teman dan sahabat yang masih berkeliaran di kampus, ke rektorat juga bisa jalan kaki. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?

Hampir satu tahun mengembangkan AET, barulah saya terpikir ingin mencoba tantangan baru. Waktu itu saya mengajukan lamaran kerja ke International Animal Rescue (IAR), sebuah NGO yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar dilindungi di Indonesia. Cocok lah sama background saya kuliah, Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (KSHE) di Fakultas Kehutanan, IPB.

Cuma selisih dua hari setelah apply kerja di IAR, saya membaca iklan lowongan menjadi reporter di Republika. Impian lama menjadi pekerja media muncul lagi.

Sebelum masuk IPB, saya sempat minta izin ayah berkuliah ambil jurusan komunikasi. Sebagai anak pertama waktu itu, ayah keberatan. Ayah saya yang notabene seorang petani tetap ingin anaknya kuliah di kampus pertanian, masuk Fakultas Pertanian atau Fakultas Kehutanan. Ayah bilang, “Kamu udah pintar nulis, buat apa kuliah lagi? Jadikan itu sekadar hobi. Kuliahnya tetap di pertanian ya…”

Hal pertama terbayang di benak saya mendengar Republika adalah salah satu harian nasional terbesar, selain Kompas dan Tempo yang terkenal banget waktu itu. Hal yang membuat media ini istimewa adalah salah seorang pendirinya, putra terbaik bangsa, Bapak BJ Habibie. Koran ini citranya pun melekat dengan komunitas Muslim di Indonesia.

Saya pun mohon izin ke Pak Meika untuk mencoba peruntungan di IAR juga Republika. Pak Meika merestui, bahkan bapak bilang saya tak perlu buru-buru resign. Jika saya diterima di salah satunya, saya boleh keluar dan mencarikan calon pengganti saya. Jika belum beruntung, saya bisa lanjut lagi bekerja seperti biasanya. Masya Allah baiknya si bapak.

Beberapa kali saya izin kantor untuk ikut tes dan wawancara di Kantor IAR di Jalan Curug Nangka, Sinarwangi, Bogor. Saya juga bolak balik Bogor-Jakarta untuk mengikuti serangkaian tes di Republika.

Republika menghubungi dan menyatakan saya lulus syarat administrasi, dan diminta mengikuti tes psikologi di Wisma Pertanian Ragunan. Lulus, saya berikutnya mengikuti tes TOEFL di LIA Pasar Minggu. Lulus, lanjut tes kesehatan di Rumah Sakit Lakespra Dr Saryanto, Jalan MT Haryono. Lulus, saya sampai juga ke tahap wawancara akhir di kantor pusatnya di Jalan Warung Buncit Raya Nomor 37, Pejaten.

Itu pertama kalinya saya bertemu jajaran redaksi Republika. Saya berkenalan dengan Pak Irwan Ariefyanto (Kang One), Pak Subroto (SBT), Pak Irfan Junaidi (Kang Irfan), dan Ismail Lazarde (Kang Mail). Pengalaman diwawancara mereka ngeri-ngeri sedap. Kadang bercanda, kadang serius.

Saya masih ingat Pak SBT sempat bertanya, “Jika suatu saat kamu menikah, kamu akan memilih tetap bekerja di sini atau menjadi ibu rumah tangga?” Saya yang masih polos waktu itu dengan pede-nya menjawab, “Saya tetap berkomitmen bekerja di sini. Saya yakin saya bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.”

Sungguh jawaban saya polos sekali. Sekarang saya tahu jawaban dari pertanyaan itu amat sulit. Mungkin kalo bapak baca ini, beliau tertawa. Hehehe.

Puncak kebahagiaan saya adalah beberapa hari setelah wawancara terakhir, sekitar jam 10 pagi, saya ditelepon Mas Eman Sulaeman, staf di sekretariat Republika yang belakangan saya ketahui beliau dulunya juga almamater IPB. Mas Eman mengabarkan saya diterima sebagai calon reporter (carep). Saya diminta mulai mengikuti orientasi Senin depannya.

Kebahagiaan saya tak berhenti sampai di situ. Di hari yang sama, sekitar pukul 16.00 WIB sepulang dari rektorat, pihak IAR pun menghubungi dan menyampaikan kabar baik bahwa saya diterima bekerja di sana.

Tidak ada keraguan dalam diri, sebab dari awal saya sudah berniat, siapa yang lebih dulu menghubungi, saya akan bekerja di sana. Saya pun mantap hijrah ke ibukota.

Pindahan dari Bogor ke Pejaten tak begitu sulit sebab Mas Eman sangat membantu. Beliau mencarikan saya rumah kosan yang sangat dekat dari kantor. Setiap harinya saya cukup jalan kaki sekitar lima menit, nyampe deh.

Niners

Republika mempertemukan kami, sembilan orang carep angkatan 2011. Saya berkenalan dengan Nawang, Nita, Ria, Ocha, Rosita, Sahlan, Irfan, dan Reza. Kami menyebut diri kami Niners, sebab kami bersembilan.

217339_1702587728175_7368292_n.jpg
Kiri ke kanan (Irfan, Sahlan, Ocha, Muthe, Nawang, Ria, Rosita, Nita, Reza)
196570_174816782569476_4763717_n.jpg

Kami berasal dari latar belakang kampus dan jurusan berbeda. Ada yang lulusan Undip, UGM, UMY, Unpad, IPB. Ada yang anak pertanian, kehutanan, hukum, sampai sejarah.

Selayaknya geng baru, kami begitu kompak. Roti Bakar Eddy adalah tempat nongkrong wajib kami di Jalan Warung Buncit Raya. Di sana kami sering makan malam bareng, jam 19.00-21.00 WIB sebelum pulang ke rumah atau kos masing-masing. Warung sederhana itu menjadi tempat kami bertukar cerita, saling curhat, bahkan kami sering disamperin reporter yang lebih senior di kantor untuk sekadar gabung makan atau menceritakan pengalaman mereka awal-awal orientasi di Republika.

247030_188400784544409_1788909_n
Ngumpul di Roti Bakar Eddy
254131_191852414199246_5892220_n.jpg
Nawang berulang tahun (kualitas kamera BB pada zaman itu gak kayak sekarang yaaa, muka bisa diedit. Hehehe)
20620791_10213747499550651_4890704498909770409_n.jpg
Seleksi alam dan satu per satu dari kami pergi mencoba tantangan baru. Setelah saya, sekarang hanya tersisa Ria (kanan) dan Ipeng (kiri)

Kami juga sering ngumpul di Inul Vista Pejaten Village (Penvil) Mall yang lokasinya kebetulan persis di seberang kantor. Kang One, Kepala Newsroom waktu itu paham betul kami menjalani masa-masa berat di awal orientasi lapang. Kang One dan beberapa ‘dewa’ di kantor sering mentraktir kami makan di sana.

Akhirnya kami tahu angkatan kami ini semuanya punya suara bagus dan pintar nyanyi (cieee pe-de amat), terutama Ria alias Kokom, juga Irfan alias Ipeng. Lagu wajib yang gak pernah absen mengisi ruangan VIP Inul Vista itu adalah Friday I’m in Love (The Cure), Sweet Child of Mine (Guns N’ Roses), Beautiful Day (U2) favoritnya Kang One, Love of My Life (Queen), sampai soundtrack film Mendadak Dangdut ‘Jablay.’ Hahaha.

Di ruangan VIP Inul Vista itu pula kami tahu gak ada redaktur galak di Republika. Mereka semua hanya bekerja profesional. Di luar kantor mereka adalah rekan kerja yang menyenangkan.

Momen bersejarah lainnya bersama Niners adalah ketika kami diminta mengisi acara Lukmanul Hakim Award 2011. Kami bingung waktu itu mau menampilkan apa. Akhirnya tercetus ide parodi lagu SMASH yang judulnya I Heart You. Boyband Suju KW ini konon katanya lagi populer banget waktu itu. Rosita pun mendadak jadi instruktur tari kami.

250904_1829285329960_7075160_n.jpg

Karena masih bau kencur, jujur kami sangat malu tampil ke depan. Apalagi kami bakal ditonton orang sekantor. Ada Pak Daniel Wewengkang pula. Ya ampuuuuun.

246705_1829261729370_8096679_n.jpg
248414_1829274569691_5666568_n.jpg
197142_1723508845614_3746967_n.jpg
Saya pakai topeng Pak SBT mentor idolaaaaa.

Tiba-tiba anak-anak bilang, kenapa kita gak pake topeng aja? Topengnya redaktur pembimbing masing-masing. Gila ya? Itu berarti saya harus memakai topeng Pak SBT. Habis lah saya. Alhasil hingga acara berakhir dan hari-hari esoknya penampilan kami jadi bahan lucu-lucuan para redaktur di kantor.

Masa orientasi

Seminggu pertama kami habiskan mengikuti orientasi di kantor. Kami diajak berkenalan dengan keluarga Republika, mulai dari satpam, HRD, awak redaksi koran dan online, reporter-reporter yang sudah lebih dulu bekerja di media ini, hingga kunjungan ke pabrik percetakan di Pulo Gadung.

Gedung Buncit 37 – demikian kami menyebutnya – sangat unik dari sisi penataan ruang dan tampilan luar. Kantor kami mirip gedung antik khas bangunan Belanda yang saat ini sudah direnovasi, namun masih mempertahankan bentuk aslinya.

Kami diajarkan dasar-dasar jurnalistik, gaya penulisan Republika, hingga nonton bareng film All the President’s Men, film thriller politik yang menceritakan Skandal Watergate di Amerika. Kata Kang Setan Martabak alias Kakak Stevi Maradona – salah seorang redaktur yang mendampingi kami waktu itu – film produksi 1976 ini adalah film wajib wartawan. Film ini dengan apik mengisahkan jurnalisme investigasi dari sudut pandang dua orang wartawan Washington Post bernama Bob Woodward dan Carl Bernstein.

Beres orientasi kantor, tiba saatnya orientasi lapang. Masing-masing kami diarahkan oleh seorang redaktur pembimbing. Waktu itu saya kebetulan kebagian Pak Subroto. Setiap ada reporter senior bertanya, “Siapa pembimbingnya?” Kemudian saya jawab, “Pak SBT,” mereka mendadak langsung pasang muka kasihan ke saya. Lah emang kenapa? Konon katanya Pak SBT itu redaktur galak. Semua bimbingannya selalu dapat penugasan berat, rata-rata pasti pernah nangis, bahkan ada yang mutusin resign setelah dibimbing dia.

Omaigat. Saya pun waktu itu ikutan bergidik. Perasaan waktu wawancara beliau orangnya asik-asik aja. Apa iya sehoror itu? Saya pun bertanya sama reporter-reporter senior di kantor, salah satunya Bang Hafil. Baru deh dapat pencerahan. Bang Hafil gak memungkiri Pak SBT salah satu redaktur paling ‘ditakuti’ di kantor. Tapi, rata-rata bimbingannya pasti ‘jadi’ dan tahan banting di Republika. Dia mencontohkan Bang Blek (Fitriyan Zamzami) yang pada waktu itu masuk ke dalam deretan redaktur termuda di lantai empat. Bismillah saja, ujar saya dalam hati. Toh yang saya hadapi itu manusia, bukan warewolf. Hihihi.

Saya pun naik ke lantai empat Gedung Buncit 37 yang katanya isinya semua dewa-dewa Republika. Hahahaha. Begitu saya ketemu meja Pak SBT, saya langsung ngobrol sama beliau. Singkat cerita, ‘ospek kedua’ saya setelah lulus kuliah pun dimulai.

Pak SBT setiap hari mengharuskan saya mengenal minimal tiga orang baru di kantor. Orangnya bebas, mau itu redaktur desk, editor bahasa, satpam, sekret, siapa aja deh yang penting berkantor di gedung itu. Kenalannya gak cuma nama loh. Saya harus tahu dia bekerja di bagian apa, siapa nama lengkap dan panggilannya, juga asalnya dari mana. Pokoknya saya udah kayak petugas sensus BPS.

Hari pertama saya langsung mengajak kenalan seorang teteh cantik yang lagi sibuk ngedit berita dan duduknya persis di depan meja Pak SBT. Namanya Teh Ririn Liechtiana, yang sampai hari ini detik ini awet menjadi kakak perempuan sekaligus sahabat saya 🙂

Seminggu pertama Pak SBT menugasi saya pergi ke terminal-terminal bus di Jakarta, mulai dari Terminal Pasar Minggu, Kampung Rambutan, Rawamangun, sampai Lebak Bulus. Tak lupa saya diminta wawancara pengunjung, pengguna jasa terminal, pedagang kaki lima, kepala terminal, sampai calo tiket. Setiap hari saya diminta membuat setidaknya 5-10 judul berita dan satu paragraf awal berita tersebut.

Karena baru hijrah ke Jakarta, dan waktu itu belum begitu banyak busway ber-AC, alhasil saya harus naik angkot sana sini, panas-panasan, jalan kaki, sampai hampir jadi korban copet di Kampung Rambutan. Sungguh pengalaman luar biasa.

Beres urusan terminal, berikutnya saya diminta menulis feature tentang kehidupan pemulung pancing di bawah jembatan Kali Sentiong. Kali Sentiong pas 2011, pasti tahu kan kotornya gimana, baunya gimana. Sementara saya gak boleh pake masker karena saya harus membaur dan wawancara pemulung di sana.

Orientasi di sini gak kalah serunya. Pertama kali ke Kali Sentiong dan jalan ke bawah jembatannya, semua pemulung yang saya temui pada lari. Mereka kira saya ini dari dinas sosial atau petugas Satpol PP yang mau mengusir mereka. Saya juga salah, salah kostum maksudnya. Mau liputan pemulung tapi pakai pakaian kayak PNS, pake batik, celana bahan, plus sepatu. Ya gimana merekanya gak lari lihat saya. Hahahaha.

Hari kedua dan ketiga saya baru bisa melakukan pendekatan dengan dua orang pemulung di sana. Namanya saya lupa karena sudah sangat lama. Yang jelas, mereka sangat ramah. Pakaian lebih disederhanakan, kaos panjang, celana jins, sandal gunung, plus jilbab sorong. Saya pun dapat izin boleh merekam percakapan kami selama wawancara. Siapa sangka di akhir wawancara salah satu narasumber saya memberi kode minta uang. Yaaa hitung-hitung sedekah, saya memberikannya uang Rp 50 ribu. Mereka senang banget.

Pemulung pancing ini cara kerjanya mereka mengambil sampah menggunakan pancing kayu yang dipasang jaring penangkap di bagian ujungnya. Jadi, pas musim banjir di Jakarta misalnya, sampah-sampah yang terbawa arus sungai akan melintas di bawah jembatan Kali Sentiong. Pemulung-pemulung ini akan menangkap sampah-sampah yang mereka bisa jual lagi dengan alat pancing jaring itu.

Singkat cerita saya begitu terharu dengan kisah hidup mereka yang tinggal di rumah-rumah kardus bawah jembatan. Saya sama sekali tak menyangka tulisan saya tentang pemulung pancing ini bisa muncul di halaman satu Republika edisi akhir pekan. Tulisan ini tentunya sudah menjalani proses editing oleh Pak SBT. Itu pertama kalinya karya saya dengan kode carep C-07 muncul di halaman satu koran. Saya sangat senang, bangga, terharu. Terima kasih bapak.

Setiap hari level orientasi lapang dari bapak semakin horor. Kelar urusan di Kali Sentiong, saya diminta investigasi calo SIM dan oknum petugas yang ikut bermain dengan denda tilang kendaraan bermotor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Gambir. Busetttt dah sampai di sana lihat antrian sidangnya seperti lihat kumpulan emak-emak berebut sembako gratis. Rameeeee banget. Saya harus pura-pura jadi pemilik kendaraan yang ditilang dan ingin mengambil kembali SIM saya yang ditahan. Kebayang kan? Saya harus berakting layaknya artis sinetron di Indosiar. Hahaha.

Puncak penugasan saya adalah berkunjung ke kamar mayat RSCM. Di sana saya disuruh menghitung berapa mayat yang masuk dalam semalam. Mayat-mayat itu korban apa saja, korban kecelakaan, pembunuhan, penjahat yang ditembak polisi, banyak deh. Saya juga diminta wawancara keluarga jenazah yang ada di sana.

Subhanallah, beneran, sampai sekarang saya masih ingat bau kamar jenazah itu. Tiap ada bandeng – istilah untuk mayat di kalangan reporter kabar kota – datang, saya langsung baca doa-doa. Saya sampai gak bisa tidur dua malam berikutnya karena terus kebayang jasad tak bernyawa, darah, dan aroma khas kamar jenazah.

Kabar kota

Kabar Kota adalah desk pertama saya di Republika, demikian juga anggota Niners lainnya. Kami bersembilan disebar ke sembilan daerah di Jabodetabek. Saya kebagian pegang Tangerang Selatan. Kata Kang One, kami akan ditempatkan di daerah maksimal satu tahun sampai resmi diangkat sebagai reporter. Dari sini saya mulai benar-benar merasa lelah. Belum kelar capek orientasi liputan di Jakarta, saya sudah dilempar ke daerah baru.

Untungnya ada Bang Amri Amrullah, carep angkatan sebelum saya yang sudah ditarik ke Jakarta lagi. Kita cuma beda beberapa bulan aja diterima di kantor. Bang Amri banyak membantu, mulai dari mencarikan saya kosan, mengenalkan saya dengan bagian humas Pemprov Tangsel, juga mengenalkan saya dengan teman-teman reporter media lokal. Bang Hafil sebelumnya ternyata juga ngepos di sini, jadi saya bisa tanya banyak ke dia.

Saya masih ingat saya bawa seli alias sepeda lipat ke Pamulang, tempat saya ngekos waktu itu. Rumah kos saya sangat dekat dengan kantor humas pemprov. Saya sering liputan sambil gowes sepeda. Seminggu pertama pengenalan lapang dulu, mulai dari catatin rute angkot dari Pamulang ke Ciputat, Pamulang ke Serpong, Pamulang ke Bintaro, dan seterusnya.

Allah Maha Baik, saya berkenalan dengan Mba Nopi Revo, wartawan Suluh Bali yang juga baru pindah penugasan dari Palembang ke Tangsel. Mba Nopi kebetulan punya motor. Jadi, kami sering liputan bareng setiap hari. Istilahnya tandem. Kami sering diskusi tentang isu-isu perkotaan yang layak diangkat setiap harinya. Kadang Mba Nopi libur, tapi tetap mau nemenin saya liputan. Bisa dibilang kami militan, tidak bergerombolan mengikuti wartawan-wartawan media lain.

Kami boleh berbangga hasil tulisan kami sering eksklusif. Pulang dari lapang, saya kerap numpang ngetik berita di rumah Mba Nopi karena deadline kabar kota di Republika maksimal jam 3 sore.

Tulisan-tulisan Nita, teman saya di Bekasi kerap menjadi HL Kabar Kota. Ya, Bekasi itu sangat luas dan banyak topik menarik bisa diangkat di sana. Saya menjadi semangat dan termotivasi oleh Nyit2, demikian panggilan sayang kami untuknya. Alhasil kami bersembilan pun bersaing sehat supaya tulisan kami menjadi HL keesokan harinya. Tulisan saya sempat beberapa kali jadi HL di kabar kota, bahkan beberapa kali dicomot sama redaktur nasional. Redaktur saya waktu itu Mba Maghfiroh Yenny.

Hidup sangat melelahkan selama di Tangsel. Kulit menghitam karena setiap hari harus panas-panasan. Adik saya bahkan prihatin dan menelepon ayah ibu menyuruh saya berhenti kerja jadi wartawan, saking si adik sangat kasihan melihat saya yang sudah berubah menjadi itik buruk rupa. Kakakaka.

Setiap Jumat malam, kami bersembilan wajib mengikuti evaluasi kerja di Buncit 37. Saya pun harus naik bus dari Pamulang ke Pejaten. Lelah sangat, namun saya juga bersemangat karena Jumat malam berarti kami bersembilan akan bertemu.

Beres evaluasi jam 20.30 malam, seperti biasa kami lanjut nongkrong cantik ke Roti Bakar Eddy, bahkan pernah main agak jauh ke Taman Suropati di Menteng. Bertukar cerita salah satu pengobat lelah kami, bonus candaan-candaan khas Ipeng versus Rosita, atau Reza versus Kokom. Seketika energi kami full kembali untuk berburu berita keesokan harinya.

249817_188401287877692_5939829_n
Momen saya dikerjain Newsroom dan Niners pas ulang tahun
249817_188401291211025_6600380_n
249817_188401297877691_4257898_n

Saya masih ingat di tiga foto di atas saya dikerjain teman-teman karena sedang berulang tahun. Kang Mail dan Kang One malam itu habis-habisan mengkritik saya. Mereka bilang saya kok makin malas, kirim beritanya sedikit, kualitas penulisan menurun, kurang kritis, babibu blablabla. Performa saya juga menurun, ngirim berita sering lewat waktu deadline, tulisan makin berantakan.

Pada zaman itu masing-masing kami diharuskan mengirimkan minimal tiga berita setiap harinya, dengan jumlah narasumber minimal 2-3 orang, tulisan 2.500-3.000 karakter. Jika ingin jadi HL, narasumber lebih komplit, dan tulisan 3.500 karakter atau lebih. Eeeeh, pas saya udah nangis, ruangan langsung gelap, lampu dimatiin dan teman-teman datang bawa kue ulang tahun 🙂

225908_1713783205425_579772_n.jpg

Suatu hari kami pernah mengikuti lomba futsal cewek khusus media yang diadain Soho Group. Demi apa? Tanding pertama kami langsung dapat lawan anak-anak Tabloid Bola. Alhasil habis lah kami dibantai di lapangan. Ngakak banget pokoknya.

221752_1713778085297_2403126_n
Kiri ke kanan (Muthe, Teh Nap, Ria, Nyit2, dan Teh Ririn)
224370_1713785565484_7044258_n
225297_1713785045471_6769522_n
226213_1713786125498_1686466_n
Paling depan itu Uni Pipit (Fitria Andayani), reporter senior di desk ekonomi yang kemudian menjadi redaktur saya.
225745_1713787965544_4601375_n

Meski kalah dan pulang dengan badan pegal-pegal, kami sangat senang. Itu karena teman-teman kantor sengaja datang menyemangati kami. Mereka gak malu kami kalah. Kami merasa disupport banget.

Desk ekonomi

Saya termasuk carep yang hanya menghabiskan waktu enam bulan saja di Kabar Kota. Suatu malam saya ditelepon Kang One untuk datang ke kantor yang belakangan saya sadari itu adalah pengumuman rolling reporter. Saya ditugaskan kembali ke Jakarta dan ngepos di Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Koperasi UMKM, dan Kementerian Kehutanan. Teman-teman saya ikut bahagia akhirnya saya terlepas dari jeratan kabar kota.

10492038_10204322053560392_1116130527605260254_n.jpg
Diskusi bareng Pak Djoko Kirmanto, Menteri PU era SBY

Saya sekarang mempunyai tim baru di desk ekonomi Republika. Ada reporter yang lebih senior, seperti Uni Pipit (Fitria Andayani) yang pegang BI, perbankan nasional, BUMN, dan ESDM; Bang Ikhsan (M Ikhsan Shiddieqy) yang pegang Kemenko Perekonomian, Bapepam, Bappenas; Sefti Oktarianisa yang pegang perbankan syariah dan BEI; dan Mas Ichsan Alamsyah yang pegang Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bulog, dan KKP. Redaktur kami waktu itu Kang Firkah Fansuri, Kang Irwan Kelana, Kang Zaky, dan Mba Una. Waktu itu baru ngetren yang namanya BlackBerry, jadi kami bikin grup khusus untuk pembagian tugas liputan setiap harinya.

Teman-teman jurnalis di desk ekonomi pertama saya ini sangat berkesan. Ada Daniel Wesly dari Media Indonesia, Rosalina (Ocha) dari Tempo, Tria Dianti dari Jurnal Nasional, Mba Alina, Daddy Sugi, Mba Fenty, Mas Asep, Mas Qayuum, Mba Eko, Panda, banyak lagi.

10347234_10204042196204133_4148042343584129915_n.jpg
Kiri ke kanan (Muthe-Tria-Ocha-Daniel)
10294317_10203863083566429_5323357088045532191_n
Surprise ultah dari Tria dan Daniel

Liputan luar kota seperti menjadi rutinitas setelah saya setelah bergabung di desk ini. Saya mengawal agenda Menteri Pertanian (Pak Suswono) dan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan). Sesekali saya nyeberang ikut agenda Menteri Perdagangan, Ibu Mari Elka Pangestu atau Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Fadel Muhammad.

Hal paling menyenangkan di desk ini? Saya ikut seluruh agenda Menhut waktu itu. Bisa dibilang, di mana ada Pak Zul, pasti ada Muthe. Kami berkeliling Indonesia, seluruh Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Saya juga pernah ngerasain naik jet pribadi bersama sang menteri (Emangnya Syahrini doang yang bisa naik jet pribadi? Kekekeke). I love this job.

Saya jadi akrab dengan kiriman agenda menteri dari Pak Cucung. Kalo si bapak SMS, semua hurufnya pasti kapital. Yang belum kenal Pak Cucung pasti mengira si bapak lagi MARAH. Hahaha. Saya juga senang bisa berteman dekat sama Mba Diany, Mas Setyadi, Uda Firdaus. Mereka semua staf humas yang sangat membantu kami di lapangan. Background saya sebagai sarjana kehutanan bisa diaplikasikan selama liputan di Kemenhut. Alhasil, ini adalah pos terlama saya, lebih dari satu tahun.

Carep-carep baru berdatangan di Republika. Rotasi reporter kembali dilakukan. Saya masih bertahan di ekonomi. Sempat dua bulan menggantikan Mas Ichsan di Kemendag dan KKP. Berikutnya saya geser pegang BUMN, ESDM, dan Kementerian Perhubungan. Isu dan berita yang ditulis semakin sulit, semakin strategis, dan semakin mengerikan bagi saya. Hehehe.

Meski demikian, semua kesulitan itu teratasi karena saya berkenalan dengan teman-teman baru yang menyenangkan di pers room BUMN. Beberapa dari mereka adalah Feby Dwi Sutanto (Detik), Fiki Aryanti (Liputan6), Bang Roy (Antara), Bowo (Media Indonesia), Kak Susan Silaban (IMQ), Kak Linda, Idris, dan Keykey (Inneke Lady).

Paling enak itu ngumpul di pers room BUMN. Namun, bukan berarti pos energi dan perhubungan tidak menarik bagi saya. Hanya saja waktu itu Menteri BUMN-nya Pak Dahlan Iskan. You know kan? Betapa populernya si menteri era SBY yang satu ini. Pak Dahlan itu kalo gak ‘ditongkrongin’ tiap hari maka berita kita bisa bobol sama media lain. Hallah. Ujung-ujungnya redaktur BBM sambil kasih link berita Detik, Antara Merdeka, atau apalah, tulisannya, “Muthe, kamu dapat statement Pak Dahlan yang ini gak? Tolong difollow up dong.” Hahaha. Alhasil saya baru geser ke pers room ESDM kalo Pak Dahlan lagi ke luar kota, atau kalo ada agenda bagus, misalnya mengawal kasus Freeport yang sampai sekarang alhamdulillah udah ada kemajuan yaaa.

Di ESDM, saya bertemu teman-teman asik yang ternyata penggemar K-Pop, seperti Gusti, Wilda, Ayu, Mba Fitri, Dedeth (teman saya di Pertanian yang udah dirolling), ada juga Rangga, Maikel, Saugy. Setiap ngetik di pers room Medan Merdeka, backsoundnya pasti lagu-lagu Suju, SNSD, 2PM, atau TVXQ. Kadang teman-teman sibuk streaming drama-drama korea. Meski mereka rata-rata mengidolakan artis-artis SM dan JYP, sementara saya fans YG kelas berat, namun pertemanan kami tetap erat. Gak seperti fandom-fandom sekarang yang entah kenapa lebih banyak musuhan dan caci makinya satu sama lain. Hehehe.

Setiap ada konpers, mewawancarai seorang Jero Wacik adalah tantangan tersendiri buat kami. Statement-statement si bapak kadang sangat biasa, normatif, bapuk, atau apalah apalah. Mau dirongrong pertanyaan kayak apapun, si bapak banyakan gak oke jawabannya, atau ujug-ujug langsung ‘kabur,’ dengan alasan dipanggil presiden, rakor, atau ratas. Hanya karena kedudukan beliau orang nomor satu di kementerian itu, maka mau gak mau namanya harus ada di tubuh berita. Seringnya kami wawancara beliau sekadar memenuhi syarat doang. Setelah itu kami lebih suka nyamperin dirjen-dirjennya.

Tiga bulan bertugas di BUMN dan ESDM, saya langsung dilempar ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bapepam (yang sekarang menjadi OJK). Sumpah, ini pertama kalinya saya merasa perlu kuliah lagi karena harus belajar saham dan mengenal dunia asuransi. Hahahaha. Untungnya di sana saya ketemu lagi Daniel, sahabat saya di Pertanian yang juga digeser ke BEI.

Selain Daniel, saya bertemu lagi dengan Kak Linda, berkenalan dengan Kak Feifei, Kak Melani, Nia, Ino, Suchi, Mas Feri, Mas Nung, Mas Ayub, banyak lagi. Mereka semua seketika menjelma menjadi guru saya yang ngajarin saya baca indeks harga saham gabungan (IHSG), fluktuasi indeks, baca keterbukaan informasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi emiten, baca laporan keuangan triwulan, kuartal, dan tahunan, mengenal kode-kode emiten blue chip, asuransi, investasi dan isu-isu yang mengikutinya.

Teman-teman reporter bursa gak kalah serunya. Pembukaan indeks awal tahun, IPO perusahaan, dan laporan akhir tahun emiten-emiten besar selalu menjadi momen paling ditunggu. Biasanya kita banjir berita. Undangan konpers padat merayap. Untungnya mereka rata-rata gelar pertemuan di seputaran SCBD atau Mega Kuningan.

Republika emang sesuatu pokoknya. Baru aja kita nyaman di satu pos, baru aja akrab sama teman-teman di sana, eeeh udah lagsung dirolling lagi ke pos baru. Kang One bilang saya sudah khatam di BEI tiga bulan, jadi saya langsung digeser ke Bank Indonesia (BI) dan liputan perbankan konvensional. Ya ampun, ndak tahu deh saya musti ngomong apa.

Lagi lagi di BI saya nyaman, sebab saya kembali join sama Daniel, sahabat sejati banget ini orang pokoknya. Daniel lebih dulu digeser dari BEI ke BI. Saya akhirnya menyusul.

Pers room BI itu istimewa. Luas, banyak colokan, makanan banyak, ada TV, CCTV, bisa karaoke, main game, ada komputer, buka sampai malam, pokoknya nyamaaaan banget. Saya kira sepadan lah dengan materi-materi liputan di sini yang juga berat. Tiap hari harus mikirin inflasi, moneter, BI rate, kurs rupiah, kebijakan ekonomi pemerintah, pertumbuhan ekonomi nasional, dan tetek bengeknya.

Kak Grace, Bang Bulus, Bang Roy, Maikel, Satria, Tassia, Nina, Rika, Ghea adalah beberapa teman asik yang saya kenal selama ngepos di sini. Tak jarang kami liputan luar kota bersama. Seringnya ke Bandung dan Yogya, ikut kelas pelatihan jurnalis BI, ngekorin Pak Darmin Nasution, lanjut penggantinya, Pak Agus Martowardojo. Perpisahan sama Pak Darmin paling mengharukan waktu itu.

Dua tahun saja didapuk jadi reporter ekonomi di koran, saya ditarik ke Republika Online (English Version). Bye bye liputan lapang. Saya akhirnya ‘ditanam’ di kantor. Mba Yenny redaktur saya yang cantik dan forever young dengan sabarnya membimbing saya, terutama memperbaiki gaya penulisan saya yang masih acakadut. Terima kasih Mba Yeyen, jasamu tiada tara 😀

10576974_10204369170498286_2667579768815491152_n
Bareng teman-teman ROL
1688389_10203354661296190_989689329_n
10001494_10203354661256189_1412699763_n
1978783_10203354661336191_27488864_n
1660762_10203714956063334_3572013572530069778_n
1509055_10203650921302505_1323627163344606324_n.jpg
10444561_10204271231129863_2330658638106566798_n
10492597_10204271230609850_9210336590012229049_n
10492363_10204256220794614_3429177290309747790_n

Stay di kantor bikin saya punya banyak waktu untuk buka laptop dan nonton TV (nonton berita maksudnya). Sejak nulis berita berbahasa inggris untuk ROL yang dalam satu harinya hanya dibebankan lima hingga enam berita, saya punya sedikit waktu untuk menulis kolom lain.

Hal paling menyenangkan saya berkesempatan menonton LIVE, meliput, dan menulis satu halaman konser idola-idola saya, yaitu L’Arc en Ciel, BigBang (Bad Boy Concert), dan konser solo G-Dragon. Konser Laruku waktu itu juga berdekatan dengan hari ulang tahun saya. Duh hepinya sampai bikin nangis. Di saat yang lain mungkin harus nabung dulu buat beli tiket konser mereka, saya justru bisa nonton gratis. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? 🙂

Sekitar 2013, saat masih pegang desk ROL EV, tiba-tiba saya berkenalan dengan Rifki Muhamad Bogara yang alhamdulillah sampai hari dan detik Anda membaca tulisan ini pria yang sama masih berstatus suami saya. Kekeke. Kisah lengkap perkenalan, perjumpaan, pertunangan, hingga pernikahan kami pernah saya tuliskan di blog sebelumnya. Setiap harinya kami komunikasi lewat chat dan skype, bahkan sampai setahun pertama menikah. Sungguh LDR Jakarta – Kupang ini membunuhku. Eaaaa.

Bali

Akhir 2014, Pak Ink (Nasihin), pemimpin redaksi Republika waktu itu merestui saya pindah dan ikut suami ke Bali. Awalnya pengen resign, namun alhamdulillah Pak Ink memberi saya kesempatan menjadi reporter nonbiro di sana. Kebetulan Pak Ahmad Baraas, wartawan senior Republika di Bali segera purnatugas, sehingga saya bisa menggantikannya.

Di Bali saya bertemu sahabat lama, Mas Feri Kristianto. Dulu saya menjulukinya master karena selalu ada di pers room Bapepam yang sekarang sudah berubah nama menjadi OJK. Doi hebat banget di bidangnya. Udah khatam ilmu asuransi dan dunia investasi. Gak ada narasumber yang gak kenal dia. Gak ada narasumber yang berani nolak panggilan telepon dia. Super banget kan? Hehehe.

Nah, saya sama sekali tak menyangka Mas Feri ini sekarang ada di Bali, bahkan sudah berkeluarga dan punya satu anak. Bedanya, kalo dulu Mas Feri nulis buat Kontan, sekarang doi nulis buat Bisnis Indonesia. Saya juga jumpa lagi Bang Donald, teman saya sewaktu masih liputan di BEI. Ternyata Bang Donald sudah naik jabatan menjadi Kepala Perwakilan Bisnis Indonesia Bali. Dahsyattt abang kita ini.

Berkat Mas Feri pula saya gak perlu waktu lama beradaptasi dengan suasana liputan di Bali. Dari beliau saya bisa kenal teman-teman daerah yang gak kalah serunya. Liputan di Bali jauh lebih menantang dari liputan di pusat. Namun, suasana khas Pulau Dewata membuat saya betah, meski saya harus mengcover sembilan kabupaten dan kota.

Lima tahun di Bali akhirnya perjalanan karier saya berhenti di sini. Tiba saatnya saya mengabdi penuh untuk keluarga kecil saya, suami dan tiga buah hati saya. Semua pengalaman dan cerita yang saya punya selama bersama media ini akan selalu abadi di hati dan pikiran saya.

Tidak mudah melupakan sembilan tahun kebersamaan di Republika. Selama sembilan tahun itu pula saya setia untuk media ini. Susah senang, tangis tawa pernah saya bagi di perusahaan yang lebih senang saya sebut rumah kedua ini.

1441252_10202678782759649_590268310_n
1655892_10203080609725072_1160427049_n
28166830_10215473171491371_1932639787847715371_n
Wartawan tanggap bencana bersama BPBN
28377895_10215473172051385_4275327600050307899_n
10462767_10204100763308274_748410181325333838_n
10334293_10204056903971818_6755515928072509459_n
10306255_10204057112177023_3381231914393935742_n
10489705_10204100764508304_1232454743256329463_n
20620954_10213747501670704_4520786549685154987_n
10373829_10204100761068218_6433063193652046089_n
1655909_10203067744563451_647471746_n
10260022_10203660730227722_7544503154871487680_n
Tokoh Perubahan Republika 2013
10289848_10203661532247772_5282328561704802337_n
Bersama Pemimpin Redaksi Republika, Pak Nasihin Masa
10250305_10203661516247372_3051977681883162810_n

Republika adalah kampus terbaik tempat saya belajar banyak hal baru. Republika juga yang menjadikan seorang sarjana kehutanan melek ilmu ekonomi, melek ilmu perbankan, melek investasi, melek politik, dan tentunya menjadikan saya insan yang lebih baik lagi. How lucky I am to have something that makes saying goodbye so hard. Terima kasih, REPUBLIKA.


9 responses to “Terima Kasih, REPUBLIKA! (Resign Kerja)”

  1. […] kantor pusat. Hehehe. Tapi, apa daya, apa mau dikata, sampai detik terakhir saya mengajukan surat pengunduran diri, semua sebatas […]

    Like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.